Bahagia Itu Soal Mensyukuri Kehidupan


Apa yang selalu saya harapkan adalah kebahagiaan, begitupun doa-doa saya kepada orang lain. Bahagia, seperti sebuah kata yang menaruh banyak harapan pada kehidupan. Menangkupkan segala jenis gelisah di masa depan.

Saya tidak tau apakah hari ini saya sudah berhasil menjadi orang yang bahagia atau belum. Kadar bahagia pun tidak pernah bisa saya ukur dengan alat apapun di dunia. Saya selalu memikirkan hal-hal menyenangkan agar bisa merasa bahagia, tapi kenyataannya rasa senang tidak sama dengan bahagia. Ketika perasaan senang atau gembira menghampirimu, biasanya itu cuma bertahan sesaat. Sebab ada momentum tertentu yang membuat perasaan senang itu muncul saat itu juga. Tapi bagi saya, rasa bahagia itu lebih besar daripada perasaan senang.

Kalau saya boleh cerita, perasaan senang di kehidupan saya memiliki andil yang cukup banyak. Saya senang ketika naskah cerpen atau puisi saya masuk ke dalam daftar antologi. Saya senang ketika saya berhasil memenangkan lomba cipta puisi se-kabupaten. Saya senang saat akhirnya saya lulus. Saya senang ketika masuk perguruan tinggi di luar kota. Saya senang menjadi anak rantau. Dan saya senang bisa mendaki gunung. Tapi semua kesenangan itu nyatanya belum tentu membuat saya bahagia. Ada bagian-bagian yang membuat kesenangan itu lewat begitu saja.

Saya ingat, meski saya senang bisa mewakili sekolah dalam lomba cipta puisi, saya harus bertengkar dulu dengan sahabat baik saya. Merasa tidak mau kalah. Merasa sayalah yang paling berhak dalam urusan ini. Saya tidak memikirkan bagaimana perasaan dia ketika saya ngotot dan marah serta tidak mau lagi mendengar apapun darinya. Saya ingat kejadian itu ketika saking marahnya saya meninggalkan dia sepulang sekolah hingga esoknya malah dia yang datang memberi selamat dan meminta maaf kepada saya. Saya bahagia? Tentu tidak. Saya cuma senang bisa memenangkan lomba itu, tapi tidak bahagia karena hubungan saya dengan sahabat saya jadi berantakan.

Sama seperti halnya ketika saya dinyatakan lulus seleksi perguruan tinggi di luar kota. Saya senang, amat senang akhirnya bisa pergi dari kota yang terasa membuat saya tak berkembang. Tapi di sisi lain, kesedihan orangtua saya merambati perasaan juga. Ketidakinginan orangtua melepas anak gadis pertamanya ke luar kota membuat saya tidak bahagia, lagi. Saya pergi dengan memanggul beban batin yang saya sadari sebagai bentuk kelemahan dari diri saya. Kesenangan itu demikian cepatnya pudar, berganti dengan rindu-rindu yang kesedihan yang meracau di pikiran saya. Momentum gembira atas diterimanya saya di perguruan tinggi negeri hilang dalam sekejap.

Bukan cuma itu, kesenangan-kesenangan yang saya rasakan mungkin cuma jadi euforia sesaat. Pada hampir di setiap kesempatan di semester akhir kuliah kemarin, saya menekankan pada diri saya bahwa setelah ini saya masih jadi beban negara. Orang-orang melihat bahwa wisuda adalah kebahagiaan, bagi saya itu cuma kesenangan belaka. Orang-orang menyalami saya dengan gembira, tapi otak dan pikiran saya terus berputar: apa yang akan saya lakukan setelah ini? Saya belum tau. Orang-orang tidak tau bahwa yang mereka beri selamat hari itu sedang mengelana jauh ke masa depan yang belum jelas arahnya. Saya mungkin senang, tapi belum bahagia.

Apa bahagia itu lekat dengan senyuman?

Kalau kamu melihat saya tersenyum hari ini, mungkin saya sedang senang atau bisa jadi sedang mengenang. Ada banyak hal yang bisa ditampilkan oleh wajah manusia yang maha dusta ini. Senyuman saya salah satunya. Saya tidak tau apakah manusia lain punya ragam senyuman yang sama seperti saya atau tidak. Saya diatur untuk tersenyum ramah ketika bertemu dengan setiap orang. Saya dipaksa tersenyum bahagia meski sedang kalut. Saya mencoba tersenyum baik-baik saja ketika sedang marah ataupun kesal Sebuah simbol yang membuat saya harus selalu menampilkan keadaan "saya baik-baik saja. Jangan khawatir."

Saya sungguh mau melabeli diri saya seorang pendusta yang baik. Meski hampir di setiap keadaan saya tidak selalu merasa bahagia. Saya hanya ingin orang-orang tidak terpengaruh pada apapun keadaan dan suasana hati saya. Saya ingin setiap orang tetap ceria, kalaupun mereka dalam keadaan yang buruk, saya tidak mau jadi salah satu penyebabnya. Saya mau jadi sumber bahagia atau minimal sumber kegembiraan orang lain. Ini mungkin alasan terklise yang pernah orang-orang dengar, tapi begitulah saya sampai hari ini.


Bahagia lebih dari sekadar tersenyum di depan orang lain, tapi bahagia adalah soal bagaimana kamu mensyukuri apa yang kamu punya, kamu dapat, dan kamu lakukan.

Baru-baru ini saya baru menyadari bahwa kehidupan saya sungguh bisa bahagia jika saya berhasil mensyukurinya. Allah Maha Baik memberikan saya hidup yang bergelimang kesejahteraan sampai usia saya hari ini. Memberikan rezeki yang tidak putus sampai hari ini. Mengasihi dan memberikan kemudahan pada segala keinginan saya sampai hari ini. Saya tidak bisa lagi menghitungnya, tapi saya mengingat hal-hal kecil yang membuat perubahan di hidup saya. Saya cuma bisa tersenyum kecil dan kadang merutuki kebodohan bahwa saya amat tidak bersyukur dengan nikmat yang kemarin-kemarin.

Saya bukan lagi patah hati atau galau sehingga bisa menuliskan hal-hal bijak semacam ini. Saya cuma sedang ingin berkaca kembali, apa yang saya dapatkan perlu disyukuri. Kenikmatam yang sungguh saya syukuri dan membuat bahagia adalah berada di antara orang yang menyayangi saya. Saling menyayangi mungkin hakikat semua orang, kan? Bahkan tidak ada orang yang tidak mau disayang dong?

Jujur saja, disayang orang itu rasanya menyenangkan, tetapi lebih membahagiakan ketika tau bahwa mereka yang tulus menyayangimu itu juga turut mendoakanmu. Saya nggak akan pernah lupa kepada orang-orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja mendoakan saya. Seperti ketika saya masih berjuang menyelsaikan tugas akhir, saya selalu meminta pada siapapun itu untuk mendoakan saya lulus dengan nilai yang baik. Mulai dari cuma ucapan sampai sebuah tulisan di puncak gunung. Sebagian dari mereka mungkin mendoakan secara formalitas karena saya memintanya, tapi tidak ada yang bisa melawan kekuatan doa, kan? Dan semua doa itu saya aamiin-kan dengan baik. Termasuk soal pekerjaan yang baru saya dapatkan kemarin.

Beberapa kejadian menyakitkan nyatanya juga membuat saya bersyukur. Entah kenapa meski rasanya sakit, tapi saya bahagia melebihi ketika saya senang. Jadi begini cara Allah menyampaikan pada saya bahwa jalan yang saya ambil salah?

Saya patah hati, tapi saya bersyukur. Tulisan ini ujungnya memang akan kesini. Namun, saya akan menyoroti bagaimana saya bisa bertahan dalam keadaan super menyakitkan dengan dukungan orang-orang di sekitar saya. Bahwa sampai hari ini masih banyak orang-orang yang menyayangi saya dengan tulus ketika saya sibuk mengejar satu orang yang berusaha mati-matian saya sayangi. Tetapi, sampai hari ini juga ada banyak orang yang terus menerus berada di lingkaran saya dan selalu menasehati saya macam-macam.

"Tiw, kamu itu baik. Jangan kamu nggak pantas dijahatin."

"Tiw, kamu masih punya banyak mimpi untuk diwujudkan."

Sampai yang teraneh sekalipun.

"Kamu itu jangan jadi orang yang terlalu baik. Jadilah yang jahat sekali-kali."

Terlepas dari itu semua saya merasa bahagia masih ada orang yang mau repot-repot menasehati saya dan peduli pada saya. Kata-kata mama pun tergiang, "Kalau orang masih cerewet nasehatin kamu ini itu, tandanya mereka sayang sama kamu. Kalo udah diem aja, berarti udah nggak peduli."

Ya, mama benar. Saya cuma harus membuat diri saya bahagia dengan beryukur. Bahwa dunia ini akan selalu jadi baik ketika kita memandangnya seperti itu.

Jadi, siapapun kamu dan dimanapun kamu, jangan lupa bahagia.


Cileungsi, sedang khawatir pada seseorang.
29 Oktober 2017. 22:08.

Post a Comment

4 Comments

  1. Makasih kak sharingnya.. Uuuwwwgh banget, sepakat pokokny

    ReplyDelete
  2. Emang wajar sih, gelisah abis wisuda. Apalagi buat mereka yang ngak tahu setelah ini mau ngapain, Orang kira habis wisuda benab selesai, padahal malah sebaliknya yak. Bener-bener welcome to the jungle, deh.

    Btw selamat udah wisuda, dan semoga menemukan kebahagian yang hakiki itu secepat mungkin. Cheers.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, kak. Habis wisuda yang ada makin pusing. Duit gak ada, mau minta ortu udah malu. Hehe.

      Terima kasih. Doa yang sama untuk kakak juga :)

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?