Keberadaanmu adalah momentum paling tepat ketika hidupku demikian hancur lebur. Di antara lajur waktu yang cepat kita bersua dalam versi digital. Aku melihatmu di sana, tanpa sapaan dan tanpa ada identitasmu di kepalaku sebelumnya. Aku tidak mengenalmu, baik nama maupun rupa. Kau asing saat itu, tetapi ternyata kau tahu aku lebih dulu.
Aku menyimpan banyak cemas di kepala. Ketakutan, ragu, inkonsisten, dan kerapuhan yang tampak nyata di raut wajah. Tidak ada yang kau tawarkan selain, "Boleh telepon dulu nggak?" Aku tertawa mendapatimu langsung menelepon melalui seluler dan berkelakar kalau biaya telepon adalah bagian tanggungan dari kantor. Caramu menarik dan unik. Sebab, tidak ada yang mau berbincang berjam-jam dengan telepon seluler sejauh ini karena dianggap menghabiskan pulsa.
Malam-malam dan harapanku kian melangit sewaktu keberadaanmu menggeser segala duka di dada. Yang tadinya sunyi atau riuh dengan tangisan, kini berisi tawa dan cerita-cerita dari sisimu yang kusuka. Aku menahan diri untuk tidak beranjak terlalu cepat atau berpikir bahwa kita akan terikat.
"Aku rasa, aku belum bisa."
Batas itu muncul dari sisimu, tepat setelah harapanku menyentuh ujung awan dan kemudian jatuh bebas.
"Baiklah, tidak mengapa. Aku juga...belum siap."
Membuka lembar baru memang menyulitkan, terutama untukku. Kubagikan segala yang pernah menjadi racun padamu, detail. Poin per poin. Setelahnya aku tidak ingin membahas itu lagi karena sama saja mengulangi fase yang sama dengan yang dilakukan mantanku kepadaku. Saat itu, aku hanya ingin kau tahu ketakutanku, traumaku, dan semua yang membuatku hancur berserakan. Dan kau tidak perlu merasa harus menolongku karena itu tidak perlu.
Kita berjalan terus... terus... dan terus....
Dunia tetap pada porosnya, tetapi kita mencobanya di pertemuan pertama. Rasa percaya yang kemudian tumbuh melekat seiring waktu. Telepon-telepon berdering seminggu tiga kali. Pesan-pesan berhamburan hampir setiap hari. Dan kita belum akan berhenti.
Aku takut kehilanganmu, walau aku tahu kau memberiku batas aman untuk tidak melangkah lebih jauh padamu. Tetapi, kita sudah sejauh ini dan aku masih terlalu takut untuk membagikan apa yang ada dalam kepalaku. Aku tahu kau tetap di sana, membagikan pikiranmu padaku. Menceritakan apapun padaku. Apakah ini mulai terasa tidak adil bagimu?
Kita pernah saling mengisi dan mengatur jarak sedemikian rupa agar tak saling menyakiti. Tetapi, selama langkah kita masih beriringan, aku tidak ingin kau berubah arah.
Sungguh, terima kasih. Aku akan berusaha lagi. Semoga setidaknya kita bisa menuju suatu tempat bersama. Tanpa mengulangi banyak kesalahan di belakang. Setidaknya, kita bisa mencoba lagi untuk saling mengutarakan apa yang kita inginkan dari masing-masing.
Far from you,
Februari 2021.