Sebuah Nostalgia dan Dua Anak Kecil di Dalam Kereta

Sumber gambar: Pixabay. (dengan editan oleh saya)
Aku terduduk di kursiku, gerbong 3 nomor 17B. Terbiasa pergi sendiri membuatku seringkali merenungi banyak hal, termasuk hari ini. Ini perjalanan pertamaku ke Semarang. Berbekal undangan dan tawaran seorang teman untuk menginap di rumahnya, aku berangkat. Tidak ada dalam bayanganku soal hal-hal buruk yang akan terjadi. Aku selalu optimis, atau terlalu optimis lebih tepatnya. Karena aku yakin, lebih banyak orang baik dibandingkan orang jahat. Semoga saja itu benar.


19.42
Di depanku ada seorang ibu muda dengan anak perempuan kecil berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Di sebelahnya lagi ada ibu muda lain dengan anak laki-laki berusia hampir sama dengan anak perempuan tadi. Pada pemandangan semacam ini, biasanya aku akan berpikir bagaimana asiknya punya anak sendiri dan bepergian ke luar kota hanya berdua dengan anak. Ya, tidak ada yang salah kok. Bagiku, bepergian berdua dengan anak itu romantisme yang berbeda. Meskipun bisa dipastikan kalau setiap hari sang ibu akan terus bersama dengan sang anak.

Aku kerap memperhatikan keduanya. Si anak perempuan terlihat ceria, bercanda dengan sang ibu. Gadis kecil itu memperlihatkan pola tingkah yang lucu dan ibunya dengan ceria pula menanggapi celotehan anaknya. Berbeda dengan si ibu muda satunya. Entah apa yang kupikirkan ketika ia sibuk dengan ponselnya, meskipun sesekali menanggapi pertanyaan anak lelakinya.

"Ma, mau ke sana..."

"Nggak boleh, nanti diomelin masinisnya. Emang mau dibawa pak polisi?"

Kenapa semua orangtua seringkali menjawab hal semacam itu kepada anaknya? Hanya agar anaknya tidak berlari kemana-mana dan tetap diam di sampingnya. Kenapa pula orang tua sering melarang anaknya bermain di gerbong kereta? Aku tau, alasan utamanya mungkin keselamatan, tapi keingintahuan dan rasa penasaran apakah harus dibatasi?

Sementara aku ingin bernostalgia. Ada hari dimana aku pergi ke kampung halaman bersama keluarga. Waktu itu aku masih berusia 7 tahun. Keadaan kereta tidak seperti sekarang. Masih ada pedagang asongan yang mondar-mandir di dalam gerbong. Juga masih ada penumpang yang duduk di bawah beralaskan koran. Sungguh pemandangan yang berbeda jika dibandingkan dengan sekarang. Aku pun pernah tidak membayar tiket karena tubuhku yang kecil. Hari ini aku bisa menertawakan hal itu. Bukan, bukan karena orangtuaku tak sanggup membayar uang tiket, tapi lebih menganggap kalau aku masih kecil dan dirasa tidak perlu membayar tiket.

Kejadian di dalam gerbong terasa menyenangkan. Aku selalu suka naik kereta. Meskipun dulu, aku juga diperingatkan untuk tidak bermain jauh-jauh dari tempat duduk. Kondisi yang ramai memang rawan; entah hilang atau terdesak oleh pedagang yang lalu lalang. Kekhawatiran itu mungkin akan aku anggap berlebihan, meskipun pikiranku bilang kalau memang semua orangtua punya kewajiban menjaga anaknya. Sampai suatu hari, aku diberi sebuah minuman kaleng bersoda oleh penghuni kursi tetangga. Sebelum menerima, aku sempat melirik ke bapakku, meminta persetujuannya.

"Lho, itu ditawarin. Kamu mau nggak?" Aku mengangguk dan meraih minuman itu. "Bilang apa sama mbah?"

"Makasih, Mbah."

Apa kalian tau kenapa kebanyakan anak kecil akan melirik dulu ketika diberi sesuatu oleh orang lain? Yup, karena kita pernah diperingatkan agar tidak menerima apapun dari orang tidak dikenal, kan? Peringatan itulah yang muncul di pikiranku saat hendak menerima minuman bersoda. Padahal jelas, Mbah yang memberiku minuman itu terlihat tulus dan tidak punya niat jahat apapun. Mungkin akan berbeda konteksnya kalau orang itu bukan Mbah. Dan sesungguhnya peringatan itu benar-benar membuatku sadar harus tetap waspada di segala keadaan.

Dua anak kecil di gerbong kereta tempatku duduk sedang anteng. Yang laki-laki duduk di pangkuan ibunya, yang perempuan sibuk minum susu dari botol sambil memperhatikan penumpang lainnya. Sementara aku yang baru saja bernostalgia, mendapatkan sedikit renungan.

Hari ini dan hari dulu adalah masa yang berbeda, tetapi setiap ucapan, setiap peringatan yang keluar dari mulut orangtua kita adalah hal turun-temurun. Sekalipun bahasanya tidak sama, tetapi mereka punya maksud yang sama. Sekalipun terlihat membatasi, tetapi mereka punya maksud mengatasi. Apa yang kupikir omong kosong, ternyata malah bisa menolong. Kenyataannya, aku masih baik-baik saja di sini selama aku percaya bahwa banyak orang-orang baik yang akan selalu hadir di hidupku.

Sebab, apa yang kamu alami adalah apa yang kamu inginkan dan bayangkan. Sementara kereta berjalan menuju pemberhentian akhir di Semarang, semesta mendukung pikiranku yang tetap.optimis.

Semoga kelak, kamulah salah satu orang baik yang bersedia menjadi teman hidup.

Di perjalanan Purwokerto-Semarang.
11 Maret 2017.

Post a Comment

2 Comments

  1. anakku kalo di kereta sukanya berdiri. kadang dibiarkan, kadang diingatin. tapi enggak sampe ditakut takutn polsi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe iya, kebanyakan kadang gitu kalo anaknya lari larian di gerbong.

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?