[Book Review] Rumah Tepi Danau by Banana Yoshimoto

Judul: Rumah Tepi Danau | Pengarang: Banana Yoshimoto | Alih Bahasa: Dewi Martina | Penerbit: Odyssee | Tebal Buku: 163 hlm. | Tahun Terbit: Cetakan kedua, Juni 2020 | ISBN: 978-1-0121-9089-1

Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Banana Yoshimoto. Saya tidak tahu berapa banyak buku karya beliau, sehingga dalam ulasan kali ini saya tidak punya pembanding selain buku Gadis Minimarket yang saya beli berbarengan dengan buku Rumah Tepi Danau. Kendati dua buku tersebut berasal dari dua penulis yang berbeda, saya harap bisa mengulas dari segi keduanya adalah penulis sastra perempuan dari Jepang.

Buku dengan judul asli The Lake (みずうみ—Mizūmi) yang diterbitkan pertama kali pada Desember 2005. Sampai tahun 2021 ini, buku Rumah Tepi Danau sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.

Perkenalan saya dengan Banana Yoshimoto melalui buku Rumah Tepi Danau membawa saya pada suatu kisah tentang penderitaan dan keinginan untuk keluar dari keadaan tersebut. Di awali dengan cerita dari sudut pandang orang pertama, yang kemudian saya ketahui si tokoh ini bertama Chihiro dari potongan dialog oleh ibunya. Di awal, Chihiro menempatkan posisinya sebagai seorang anak yang merindukan ibunya yang telah wafat. Ia terus bercerita bagaimana ia merawat ibunya di rumah sakit, pertemuan ibu dengan ayahnya di klub malam, sampai keengganan dirinya hidup di desa tempat tinggalnya.

Keluar dari rumah adalah pilihan Chihiro untuk tidak berlarut dan stuck di desanya yang membuatnya tidak nyaman. Ia merasa selalu mengingat ibunya walaupun ia juga merindukannya. Saat membaca ini, saya merasa ada titik jenuh yang dihadapi Chihiro saat harus merawat ibunya di rumah sakit, namun rindu terus bertumpuk usai ia menghadiri pemakaman ibunya.

Menggunakan sudut pandang orang pertama, Banana Yoshimoto berusaha terus menggambarkan dan menarasikan apa yang ada di pikiran Chihiro sampai ke titik terdalam di mana hal-hal remeh turut serta dalam buku ini. Saya pun jadi tergelitik untuk membacanha lebih lanjut, sebab dalam buku ini kita bisa diajak membaca isi pikiran Chihiro bahkan yang terkecil sekalipun.

Jika boleh dibandingkan dengan gaya penulisan milik Sayaka Murata dalam Gadis Minirmaket, rasanya tidak berbeda jauh. Mereka sama-sama menjelaskan secara detail apa yang menjadi pikiran si tokoh utama. Perbedaannya hanya ada pada segi sudut pandangnya.

Menjauhi urusan gaya penulisan, inti dari cerita Rumah Tepi Danau terbongkar di puluhan halaman menjelang akhir. Tetapi meski cerita dibangun dengan apik dan perlahan-lahan, saya jadi kehilangan esensi efek misterinya. Ada apa sebenarnya dengan rumah tepi danau?

Nah, kalau boleh spoiler dikit, rumah tepi danau ada kaitannya dengan lelaki di seberang apartemen Chihiro yang bernama Nakajima. Penggambaran Nakajima yang punya trauma dan Chihiro yang mulai memiliki perasaan terhadap lelaki itu, mau tidak mau mulai masuk ke kehidupan terkelam milik Nakajima. Saya pikir Chihiro adalah orang yang introvert dan tidak begitu ingin mengetahui apapun tentang orang lain yang bukan urusannya. Saya bisa paham mengapa ia pada akhirnya turut andil dalam hidup Nakajima. Ia jatuh cinta.

Tak urung, dalam kutipan di bukunya,

"Saat ini memang bukan masalah, karena aku juga sedang menikmati diri sendiri, tetapi akan sangat menyebalkan jika hal itu terjadi setelah kami semakin jauh terlibat." (Hlm. 41)

Saat itu Chihiro berusaha untuk biasa-biasa saja menghadapi kenyataan bahwa Nakajima kini menjadi orang yang dekat dengannya. Meski lelaki itu mulai sering menginap di apartemennya, ia masih belum yakin pada perasaannya, juga pada perasaan Nakajima kepadanya. Itulah kenapa dia berpikir bahwa apapun yang terjadi dengan mereka saat itu bukanlah sebuah masalah.

"Aku tidak tahu apakah ini pantas, untuk menganggap hal-hal inu adalah bagian dari jatuh cinta, tetapi Nakajima dan aku tidak pernah berbicara tentang persiapan maupun rencana, begitu juga tentang impian-impian. Kami hanya menjalaninya begitu saja, di sini dan saat ini." (Hlm. 44)

Chihiro terus menganggap Nakajima aneh, terlebih sejak mereka tinggal bersama. Saya sendiri terpancing untuk menyadari betapa mudahnya mereka tinggal bersama tanpa dirusuhi oleh tetangga, dengan atau tanpa seks di dalamnya. Saya nggak akan membandingkannya dengan di sini, karena tentu beda budaya. Namun pemikiran saya lebih ke arah, bagaimana akhirnya orang-orang Jepang yang individualis bisa tinggal bersama tanpa merasa risih dengan keberadaan pasangannya. Di satu sisi, keberadaan pasangan akan menambah motivasi dan terbebas dari kesepian, tapi tidak ketika kita ingin punya me time. Akan sulit rasanya. Saya sendiri masih ingin tahu bagaimana rasanya tinggal dengan pasangan dalam satu apartemen.

Rumah Tepi Danau ternyata memang menyimpan misteri. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, ini ada hubungannya dengan trauma masa kecil Nakajima. Hanya saja porsi penjelasan untuk rumah itu sendiri dijelaskan detail dalam satu babak. Hal ini membuat saya jadi agak merasa bosan di awal, dan ketika tahu teka-teki itu sudah selesai, saya cuma bergumam, "Oh gini aja?".

Terlepas dari misteri yang tidak misteri-misteri banget, porsi romansa Chihiro dan Nakajima juga tidak begitu kentara karena saya yakin buku ini bukan soal romantika semata. Hubungan antara Chihiro dengan ibunya dan Nakajima dengan ibunya juga terus berulang sehingga terlihat bahwa kedekatan mereka begitu absolut sampai tak terpisahkan dari hidup mereka di masa dewasa. Hubungan Chihiro dengan ayahnya pun terbilang sedikit karena latar belakang Chihiro yang berusaha lepas dari bayang-bayang desa tempat tinggalnya.

"Ketika terjadi sesuatu pada orangtua, sesuatu dalam diri anak itu akan lumpuh, atau rusak, dan bahkan jika itu hanya baguan yang sangat kecil, hatus dibangun kembali." (Hlm. 48)

Selebihnya, yang menarik adalah profesi Chihiro sebagai muralis (apa ya namanya? Pokoknya penggambar mural). Saya begitu menyukai idealismenya menjadi muralis. Ia hanya akan menerima pekerjaan di mana ia boleh menggambar hal-hal yang ia suka.

Sisanya, saya suka gaya penulisan dalam buku ini. Luwes. Saya kayak membaca overthinking dalam deskripsi narasi yang menarik. Apakah kalau overthinking dituliskan memang jadi seperti ini, ya? Dan ketika saya membaca blurb dari buku ini barulah saya sadar...

"Dua tema besar dalam karya-karya Banana adalah 'kepenatan anak-anak muda Jepang kontemporer' dan 'bagaimana pengalaman yang mengerikan membentuk kehidupan seseorang'.

Tepat. Buku ini memang menggambarkan kepenatan sekaligus kegelisahan di banyak titik. 

Selamat membaca!

Post a Comment

0 Comments