Another Day Another Drama

Hari-hari bekerja freelance di sebuah kantor atau lebih tepatnya gudang fashion muslim bukan menjadi hal yang baru buatku. Tahun 2018 silam, aku pernah berada di situasi yang sama, bekerja di brand fashion. Bedanya hanya status kepegawaian dan kepemilikan brandnya. Sisanya kurang lebih sama dengan apa yang aku kerjakan saat ini.

Setelah menganggur selama hampir setahun dan belum menemukan pekerjaan baru lagi, mendapat panggilan pekerjaan freelance dengan lokasi yang cukup dekat dengan rumah tentu saja seperti oase di padang pasir. Aku cukup merasa bosan setiap hari di rumah, walaupun baru-baru ini aku baru saja menyelesaikan karya rajutan pertamaku. Tetapi, bekerja dan menghasilkan uang—juga bersosialisasi kembali dengan orang lain—membuatku excited. Rasanya seperti ada kegembiraan lain yang muncul setelah lama terkungkung di dalam rumah.

Tidak, aku bukannya tak suka berada di rumah, hanya saja sudah sampai di titik jenuh untuk tidak bertemu dengan siapapun. Dan ya, pekerjaan ini mengharuskanku berangkat ke kantor setiap hari. Sehingga, aku akan menghabiskan waktu 8 jam di luar rumah, berkutat dengan banyak paket returan, sekaligus bersosialiasi dengan orang lain lagi.

Punya tim yang solid walau hanya dua bulan bekerja saat ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Aku berusaha kooperatif untuk segala jobdesk yang diberikan. Simpelnya, aku membutuhkan uang, jadi apapun akan kulakukan selama aku bisa. Nyatanya, di kantor ini pun demikian. Aku bisa membuka ratusan paket retur setiap harinya, mengepak ulang beberapa paket yang harus dikirim balik ke customer, mengisi data paket yang datang ke dalam Google spreadsheet, mengambil barang dari gudang, mengatur stok barang di sistem gudang, sampai mendokumentasikan paket yang akan dikirim kembali. Terutamanya lagi, berkoordinasi dengan tim admin chat mengenai permasalahan retur milik customer.

Sialnya, kedamaian itu tak berjalan dengan semestinya. Ada beberapa waktu ketika kami—aku dan tim—kebanjiran paket retur di pertengahan ramadhan. Kami tentu fokus pada paket yang datang dan ada di depan mata. Karena jika tidak diselesaikan hari itu, paket akan menumpuk di kemudian hari dan kami bisa saja tenggelam dalan paket di ruangan 3x3m itu. Di hari-hari awal ramadhan, ruang kerja kami seperti gudang, penuh paket terbuka di dalam kardus-kardus besar yang bercampur dengan debu. Sedangkan saat itu, kami masih belum menerima arahan yang jelas untuk mengembalikan paket retur ke dalam sistem gudang.

Mulanya kami berusaha beradaptasi dengan itu, namun masalah cekcok dengan tim sebelah dimulai. Sebagai freelance profesional, atau orang yang sudah pernah bekerja secara palugada, aku tidak kaget dengan situasi kerja semacam ini. Namun, hal yang kusayangkan adalah tim sebelah tidak mau mengerti bahwa kami sedang kebanjiran paket dan tidak sempet menerima order request dari tim mereka. Saat kamu meminta bantuan, tim sebelah berdalih bahwa itu bukab jobdesk mereka. Lantas, apakah kami mengerjakan tugas sesuai jobdesk saat ini? Rasanya tidak. Kami semua saling membantu, tapi tidak merasa keberatan dengan tugas itu selama semuanya selesai tepat waktu.

Terakhir, aku terancam batal mudik cepat hanya perkara jadwal last day kami di kantor itu. Dan semua karena tim sebelah yang rewel. Mereka tak pernah tahu seberapa banyak paket yang datang setiap harinya karena mereka bekerja dari rumah. Mereka bilang, "Mengapa tim kalian libur lebih dulu daripada kami?" Padahal mereka tidak ke kantor dan bisa melakukan pekerjaan dari rumah dengan nyaman, sedangkan kami harus masuk sampai H-1 lebaran demi membuka paket dan mengerjakan order request mereka. Rasanya sangat-sangat tidak adil ketika mereka bicara soal dedikasi dan ketulusan. Tetapi ketika kami meminta bantuan, mereka dengan santai bilang, "Itu bukan jobdesk kami."

Hahaha. Rasanya aku cuma ingin tertawa bahkan ketika rekan satu tim-ku mulai berkata kasar melihat kelakuan mereka.

Alih-alih bergerak membantu agar semua order customer selesai tepat waktu, mereka memilih untuk melimpahkan semuanya pada kami dan terus rewel perkara kami tak boleh libur lebih dilu sebelum semua paket selesai. Padahal, semua bisa selesai tepat waktu bila saling membantu bukan? Rasanya sungguh jengah untuk bekerja dengan orang-orang semacam ini, yang hanya cari muka, sedikit bekerja, tapi merasa sudah banyak berkontribusi.

Sebagai orang waras, akhirnya kami mengalah untuk tetap masuk di hari Senin (H-2) lebaran untuk mengerjakan request mereka. Sedangkan mereka bisa asyik bekerja dari rumah. Maka, izinkan aku mengumpat sekali ini, ya.

Hah, kampret!

Maaf.

Post a Comment

0 Comments