Depok Rasa Rumah Nenek dan Kehidupan Baru di Sebuah Rumah Tinggal

Mula-mula aku bertanya pada diri sendiri, "Di manakah aku akan tinggal setelah ini?" Beberapa kota muncul di pikiranku, tetapi tak mudah untuk pindah ke sana. Beberapa pertimbangan mengharuskanku menetap di kota yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Aku selalu ingin tinggal di desa, yang udaranya jernih seperti pikiran anak bayi, atau karena pemandangan-pemandangan lain yang tak bisa kudapatkan di sini.

Setelah berbincang beberapa lama sebelum menikah, suamiku berkata, "Kita pindah ke Depok."

Aku tak menolak, tapi tak juga menyetujui. Depok adalah tempat dimana keluarganya tinggal. Namun, syaratku cuma satu: di manapun itu kita harus tinggal berdua, jangan membersamai orangtua kita. Kita harus mandiri dan menyadari bahwa kehidupan rumah tangga tak boleh ada campur tangan orang lain, termasuk orangtua masing-masing.

Di hari kepindahan, ibu dan bapakku menangis. Dua puluh tahun lebih aku tinggal bersama mereka, minus ketika kuliah di luar kota, dan kini aku harus pindah selamanya. Hanya saja, pindah bukan berarti tak bertemu. Pindah bukan berarti memutus hubungan. Aku dan suamiku tetap akan berkunjung meski tidak setiap hari. Tetapi tangis ibu bapak tetap pecah malam itu. Katanya, aku; si anak perempuan pertama ini akhirnya meninggalkan mereka untuk hidup mandiri lagi, mengemban kehidupan baru yang entah bisa atau tidak kujalani.

Di hari kepindahan itu pula, orangtua suamiku, yang kini menjadi orangtuaku juga, menyambutku dengan hangat. Tak ada julid-julid manja ala sinetron televisi, tak ada sindiran-sindiran halus kala aku tak mengerjakan pekerjaan rumah. Aku benar-benar seperti berada di rumah nenek. Keponakanku yang lain memanggil ibu dan bapak mertuaku dengan sebutan "Nenek" dan "Kakek", sehingga begitulah yang aku rasa ketika akhirnya tinggal sementara di rumah ibu mertua.

Rumah ibu mertua mengingatkanku pada kampung halaman. Jalanan kecil, wangi sprei dan bantal, udara pagi, dan cerita-cerita masa kecil sampai remaja milik ibu mertua. Aku seperti dibawa nostalgia dalam kehidupan ibu mertua yang sedikit kualami ketika berkunjung ke rumah nenekku dulu. Tak jarang, aku merasa familiar dengan semua kehidupanku sekarang. Yang berbeda hanya soal waktu.

Dalam doa-doa panjangku sebelum menikah, aku selalu berharap punya mertua yang akan menyayangiku tanpa menuntutku macam-macam. Aku tak bisa memasak, tak peka pada pekerjaan rumah, tak juga bisa mengobrol dengan luwes. Namun, setiap kali hanya berdua di rumah denganku, ibu mertua akan banyak bercerita padaku, padahal beliau aslinya pendiam. Dengan mendengarkan, aku berharap bisa menjadi teman cerita yang baik walau hanya menanggapi beberapa kalimat, itu pun kadang sembari bermain game di ponsel.

Saat tinggal di rumah mertua, aku tidak pernah memasak. Kadang aku hanya membantu atau seringnya melihat dan menemani ibu mertua memasak. Beruntungnya, itu tidak membuatku lantas diomeli karena tidak bisa memasak atau tidak dibilang, "Nanti suaminya dikasih makan apa kalo kamu nggak bisa memasak?". Suami dan bahkan ibu mertuaku justru memaklumi, "Kalau masih berdua, makan itu soal gampang. Bisa beli lauk, yang penting masak nasi. Kalau mau belajar masak, di Youtube banyak."

Aku sungguh-sungguh bersyukur memiliki ibu mertua yang memandangku sama seperti anak-anaknya, tidak membeda-bedakan antara menantu dan anak sendiri. Bapak mertua pun sama, setiap kali beliau ada di rumah, aku selalu disuruh makan, padahal beliau sudah melihat piringku baru saja tandas. Prinsipnya, mau makan tinggal ambil, mau goleran ya tinggal goleran, mau nggak ngapa-ngapain pun boleh. Hanya saja, aku sebagai anak harus tahu diri, hidup bersama di rumah itu punya tanggung jawab, baik merawat atau membersihkan rumah. Dan begitulah aku belajar.

Setelah tinggal berdua hanya dengan suami, tentu aku semakin sadar, bahwa mengurus rumah tangga adalah tugas bersama. Beruntungnya lagi, suamiku mau untuk bersama-sama merawat rumah tinggal kami saat ia libur bekerja di akhir pekan. Walau kadang kesal kalau dibangunkan tengah malam hanya untuk masak mi instan oleh suamiku, aku tetap bersyukur bahwa ia tak seperti kebanyakan orang yang menuntut hal domestik ini itu padaku.

Jadi, berumahtangga sampai hari ini masih kunikmati sebagai komitmen kerjasama sepanjang hidup.

Semoga apa yang menjadi doa bisa dikabulkan Tuhan dan segala kehidupan yang sedang dijalani dipermudah, dilancarkan, dan menjadi sesuatu yang membahagiakan. Aamiin.


Depok, Oktober 2022.

Post a Comment

1 Comments

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?