Suatu Sore di Penghujung April

Suatu hari di bulan April, ia mengunjungiku dua kali. Dengan catatan kepentingan urusan kami berdua, juga memenuhi jadwal temu buka puasa bersama. Sesudah hari-hari panjang terlewati, juga momen-momen salah paham yang sedikit membumbui cerita kami, kali ini cerita manis akan dimulai.

Ia datang seperti biasa di jam-jam rawan macet karena semua orang berhamburan memadati jalan demi bisa buka puasa di restoran favoritnya atau sekadar membeli jajan es kelapa dan gorengan di pinggir jalan. Ia selalu sampai di jam 5 sore, padahal aku sudah siap sejak pukul 4. Tapi tidak apa-apa, perjalanan jauh begitu melelahkan untuk ia yang sudah sukarela mengunjungiku.

Langit memberi penampilan yang menarik dengan cerahnya dalam dua kali pertemuan kami. Sehingga, meski dalam perjalanan ia sempat diterpa hujan, ia tetap melaju untuk sampai rumahku.

Aku selalu heran, kenapa ia mau-mau saja berangkat saat hujan masih deras. Dan jawabannya sungguh tak kuduga. 

"Hujannya cuma air, Yang. Kalau hujan duit, aku pasti milih buat nampung dulu buat modal kita nikah."

Aku yang hampir menangis karena ia baru saja sembuh dari flu dan batuk, malah jadi tertawa karena ia bilang tidak apa-apa. Kadang aku hanya khawatir kalau kondisi badannya sedang tidak baik, terkena hujan justru akan memperparah kondisinya.

___


Sejak awal, sejak aku memilih menyukainya, ia bukan tipe orang yang suka bersentuhan fisik. Bersalaman mungkin mau, tapi pernah suatu hari aku sengaja ingin salim padanya usai ia mengantarku sampai halte busway, yang dikatakannya hanya, "Apaan sih? Gue bukan suami lu."

Di waktu lain kata-katanya sudah berubah, "Nanti aja kalau sudah sah."

Bahkan beberapa waktu setelah ia mampir ke rumah, ia masih belum memperbolehkanku untuk salim dengannya. Meski beberapa kali aku sempat curi-curi kesempatan untuk memegang rambutnya, memegang lengannya, atau menyentuh tangannya. Di luar itu, ia membatasi kontak fisik kami berdua. Dan sejujurnya, aku menikmati fase-fase semacam ini. Kami bertumbuh untuk menemukan kenyamanan satu sama lain. Semakin nyaman, kontak fisik bukan lagi hal yang menggebu di pikiranku. Apalagi hanya untuk pamer semata. Kontak fisik yang kami lakukan jauh lebih nyaman karena saling sayang.

Pertama kali ia berani menggandeng tanganku di keramaian itu justru membuatku merasa nyaman dan aman. Ia bilang hal itu otomatis terjadi karena secara tidak langsung kami sudah semakin dekat dengan hari bahagia kami. Sehingga, kontak fisik semacam itu perlu dibiasakan. Jujur saja, sebelumnya kami berdua pun malu untuk melakukan hal semacam itu. Memeluk pinggangnya ketika berboncengan motor saja aku malu, apalagi harus bergandengan tangan di keramaian?

"Tapi kamu tau nggak? Aku udah merasa kayak suami kamu tadi. Satu tangan gandeng kamu, satu tangan lagi bawa totebag isi belanjaan. Hahaha."

___


Satu hal yang selalu aku mau dari pasanganku adalah mendapatkan afeksi. Akan berbeda rasanya ketika seseorang memelukmu dengan tulus. Aku sangat jarang dipeluk, karena aku merasa aneh jika orang lain memelukku. Beberapa teman yang memelukku secara spontan akan terasa tidak nyaman buatku. Tetapi aku mulai membiasakan diri. Sehingga ketika pelukan pertamaku dengannya waktu itu, yang kurasakan adalah... sesak napas. Hahaha. Tapi jujur saja, pelukan itu hangat dan nyaman sesuai yang aku inginkan. Dari pelukan itu pun aku tahu bahwa ia benar-benar menyayangiku dengan tulus.

"Aku bener-bener bersyukur banget ketemu kamu. Nikah sama aku, ya!"

Aku speechless. Ia bicara demikian sembari masih memelukku. Rasanya campur aduk. Bahagia, sedih, senang. Semuanya jadi satu. Ia benar-benar jadi orang yang kedatangannya tak pernah aku duga, lalu dengan gesit melakukan banyak progres bersamaku. Sungguh benar-benar tidak terduga.

Dan aku mensyukuri ketidakterdugaan ini. Jalan takdir Allah memang ajaib.

Bahkan sampai hari ini aku masih sering tidak menyangka bahwa aku akan hidup bersamanya. Aku akan mencintai laki-laki yang setiap hari bikin aku senyum terus. Laki-laki yang nggak gengsi buat minta maaf kalau dia salah. Laki-laki yang mau bertanggung jawab untuk hidupku nanti. Mungkin dia bilang dia bersyukur ketemu aku, tapi aku juga bersyukur ketemu dia di waktu yang tepat. Karena seperti yang aku bilang, semua kriteriaku ada di dia. Mulai dari sini kami akan sama-sama memantaskan diri, menjadi yang lebih baik, dan berjuang bersama untuk kehidupan yang lebih baik juga.

Kami sudah merencanakan banyak hal, semoga apapun itu bisa terwujud dengan baik. Semoga segalanya dipermudah, dilancarkan, diringankan jalannya. Semoga berjodoh sampai surga-Nya. Aamiin.

With love,

Tiwi.


Rumah, Mei 2022.

Post a Comment

0 Comments