Last Day Will Never Be The Last

Seperti kutu loncat, saya mencari sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

Bekerja menjadi kegiatan harian yang saya labeli sebagai kewajiban. Saya ingin bercerita bagaimana awal mula akhirnya saya bekerja setelah lulus dari kuliah pada waktu itu. Supaya cerita ini terlihat runut, saya berharap apa-apa yang ditulis hari ini menjadi refleksi utuh kalau saya lagi gila atau malas bekerja. Karena kadang saya berharap bisa ongkang-ongkang kaki, tapi mau mendapatkan uang dengan cuma-cuma.

Berawal dari diterima di sebuah media online bahkan sebelum lulus dari kampus, saya termasuk yang beruntung masuk dalam 100 besar dari 24ribu orang yang mendaftar pada waktu itu. Sayangnya, saya hanya bertahan 7 hari setelah onboarding karena mental cupu yang belum apa-apa sudah menyerah, padahal pekerjaan ini termasuk bagian dari cita-cita dan harapan banyak orang yang ingin masuk kesana.

Semoga Allah tidak lantas menunda doa-doa saya yang lain.

Setelah memilih melepaskan kesempatan bekerja di media online impian banyak orang, saya akhirnya melamar pekerjaan di sekitar rumah. Tentu saya masih enggan untuk bekerja pabrikan. Alasan pertama tentu saja gengsi, alasan kedua saya nggak punya tenaga lebih untuk bekerja di sektor produksi pabrik yang menyita banyak waktu saya. Maklum, waktu itu masih sombong inginnya jalan-jalan terus. Jadi kepikiran nanti nggak punya weekend untuk dihabiskan jalan-jalan.

Padahal ya, waktu akhir pekan pun saya nggak kemana-mana. Dan setelah diterima bekerja di sebuah brand hijab, saya bekerja sampai Sabtu, dimana akhirnya saya merasa kekurangan waktu libur. Akhirnya setelah 4 bulan bekerja on-site, saya memilih untuk bekerja dari rumah seperti halnya admin whatsapp yang menerima orderan. Gaji saya jadi dikurangi 40% dari gaji awal karena memilih sistem kerja seperti itu.

Tapi di sisi lain, saya enjoy untuk melakukannya karena akhirnya saya bisa pergi jalan-jalan ke luar kota sambil tetap bekerja.

Dalam jeda waktu dari pekerjaan dua ke pekerjaan tiga punya jarak yang cukup jauh, sehingga saya memutuskan untuk tetap freelance menulis artikel walau dipikir-pikir bayarannya sangat minimalis. Tapi mau bagaimana lagi, agar tetap hidup harus bisa bekerja apapun kan?

Selama freelance, saya tetap mencari pekerjaan full time, namun ternyata memang benar kata banyak orang bahwa mencari pekerjaan itu sulit. Hingga akhirnya saya pindah ke sebuah startup, saya hanya menjadi pegawai magang dari yang awalnya saya ingin fulltime. Ketidakjelasan tentang posisi ini akhirnya membuat saya hanya bertahan satu bulan, juga karena merasa fee sebagai pegawai magang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam satu bulan.

Kemudian saya beralih mencari pekerjaan lain, dan mendapatkan pekerjaan part time sebagai content writer. Ya, tidak masalah juga selama saya masih bisa mendapatkan uang dengan benar. Sayangnya, di kantor yang ini pun saya dikelilingi orang-orang toxic. Banyak dari mereka yang akhirnya resign hanya karena ulah satu orang. Genap satu tahun, akhirnya saya juga memilih hengkang, dan berpindah ke pekerjaan selanjutnya.


Proses Pindah yang Terbilang Cepat

Dari pekerjaan part time ke full time sesungguhnya saya merasa jeda waktunya tidak terlalu lama. Hanya rata-rata dua minggu dan saya sudah berhasil masuk di kantor baru. Sayangnya, di kantor yang selanjutnya meski bukan sesuai karir yang saya mau, saya tetap di-PHK karena sempat terkena covid dan tidak masuk kantor selama 1 bulan. Di sisi lain, kantor saya tersebut tidak memberlakukan sistem WFH.

Jeda dua minggu kemudian saya sudah diterima di kantor lain dengan posisi full time dan jobdesc sesuai yang saya inginkan sebagai copywriter. Saya mensyukuri perpindahan yang terbilang cepat ini dengan banyak-banyak bersyukur karena akhirnya Allah memberi saya waktu untuk belajar di tempat baru tanpa harus menunggu yang lama.

Hingga beberapa bulan awal di kantor baru, saya tetap belajar dan beradaptasi di lingkungan kantor yang bergerak cepat meski masih banyak kurang di sana-sini. Saya paham, apa-apa yang saya pelajari hari ini akan berguna di kemudian hari. Saya juga menetapkan diri untuk fokus pada satu hal dan menjadi ahli di bidang tersebut.

Namun, ternyata takdir berkata lain. Ditinggal teman-teman satu tim rasanya sungguh berat. Saya harus mengambil alih semua pekerjaan mereka, mau tidak mau, harus berkoordinasi dengan divisi lain sampai kadang pekerjaan utama saya justru terbengkalai.

Saat sudah merasa tidak nyaman, hal itu akan berdampak pada proses penyelesaian pekerjaan. Bukan, bukan artinya pekerjaan saya tidak selesai, hanya saja proses pengerjaannya jadi setengah hati dan membuat yang tadinya sederhana jadi terasa beban berat. Hampir 3 bulan lebih saya merasakan perasaan semacam ini, terutama setelah ditinggal teman-teman satu tim. Tersisa hanya saya, dan lagi-lagi saya diberi tanggung jawab untuk mengerjakan semuanya sampai ada penggantinya, yang mana sampai hari saya resign pun tidak pernah ada yang datang.


Last day?

One month notice dan surat resign sudah saya kirimnya ke HR dengan berbagai pertimbangan dan persiapan menyelesaikan pekerjaan sebelum hari terakhir saya di kantor. Saya yang sudah tahu polanya akan seperti apa, tentu akan bersiap kalau-kalau ada kejadian tak terduga. Oleh karena itu saya mempersiapkan dengan matang apa-apa saja yang harus saya kerjakan dalam kurun satu bulan sampai hari terakhir.

Dan apa yang terjadi?

Hari terakhir saya dipenuhi dengan jobdesc-jobdesc tambahan yang sebelumnya tidak ada dari planning saya. Saya sempat ingin marah karena merasa dipermainkan. Saya sudah mengatur sedemikian rupa agar selesai tepat waktu, tapi akhirnya pekerjaan saya justru ditambah di last minute saya meninggalkan kantor dengan alasan tidak ada yang bisa mengerjakan hal itu selain saya. 

Saya menyelesaikan itu lewat dari jam kerja dan ternyata tidak bisa diperiksa hari itu juga sehingga ini berdampak pada gaji saya yang ditunda sampai seminggu kemudian. Saya benar-benar ingin marah, namun akhirnya saya mencoba negosiasi agar gaji saya bisa turun seperti semula. Dan keputusan berakhir dengan gaji saya ditransfer sebagian, sisanya akan dibayarkan setelah pekerjaan saya yang terakhir selesai diperiksa.

Jujur, saya menyayangkan ini semua terjadi. Sebab, saya merasa menahan gaji itu bukanlah hal yang baik untuk menghargai karyawan yang bahkan kalau boleh saya sombong, saya tidak pernah mengeluh bahkan meminta kenaikan gaji walaupun mengerjakan pekerjaan tiga orang.

Saya ingat bahkan bos saya bilang, "Iya, saya tau Tiw kamu mengerjakan pekerjaan 3 orang, tapi selama belum ada penggantinya, bisa tolong dihandle dulu, ya." Dan lewat dari 4 bulan, pengganti itu tak pernah ada. Dan saat saya memutuskan untuk resign pun, ternyata masih dipersulit begini? Saya tidak bermaksud buruk pada perusahaan, hanya saja, apa yang saya rasakan sekarang seharusnya tidak perlu ada.

Sempat berpikir tidak bisakah saya menerima gaji secara utuh dan tetap mengerjakan sisa pekerjaan dengan bayaran sebagai freelancer saja? Kenapa harus gaji saya yang ditahan padahal itu hasil kerja sebulan sebelumnya?

Bahkan sampai detik tulisan ini ditulis, saya masih berusaha menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya sudah tidak saya kerjakan. Baru saja salah seorang teman mengabari bahwa ia sempat "dimintai tolong" untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor kami, padahal ia sudah resign hampir satu bulan. Jangan sampai kalimat "tolong" ini jadi ajang memanfaatkan pegawai hanya karena kami merasa tidak enak untuk tidak menolong.

Jujur saja, saya kecewa, belum lagi alasan-alasan yang dikeluarkan bagi saya tidak masuk akal dan cenderung merugikan saya sebagai pegawai.

Saya nggak ada dendam secara personal, tetapi secara professional saya sangat kecewa bahkan merasa kantor tidak begitu peduli dengan karyawannya.

Meski saat ini sudah mendapat penggantinya, saya berharap ini bisa selesai dengan baik-baik dan semuanya akan tetap baik seperti sedia kala.


Jadi, apa itu last day? Nggak ada. Saya masih tetap begini-begini aja selama gaji belum cair.

Updated: gaji sudah cair. Bisa goodbye beneran sama kantor lama.

Post a Comment

0 Comments