Sabar

Aku dan pikiranku selalu kalut ketika menemui masalah. Hal-hal yang kupikir bisa dengan mudah kuhadapi, ternyata tidak demikian di kenyataan. Tubuhku tumbang, pikiranku runyam. Segala hal di sekitar jadi berantakan. Pola-pola yang kususun, benang-benang yang kurajut, berubah haluan jadi tak tentu arah.

Apa sebabnya? Kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang kuharapkan di awal. Kupikir ini akan berjalan sempurna, setidaknya sesuai jalur yang sudah ada tanpa mengubah banyak hal, tanpa menambah dan menambal di sana-sini. Apalagi menjadi 'backup person' tanpa punya kuasa lebih untuk menolak.

Burnout di akhir September ke Oktober sudah terlewati. Kupikir segalanya akan membaik dan kembali ke line awal yang sesuai. Ternyata November membuatmu berdiri di tepi jurang. Maju, kau mati. Mundur, kau sekarat.

Oh, tidak sih. Mundur masih bisa membuatmu mencari jalan lain dan berbalik arah ke yang lebih baik (atau lebih buruk?).

Pada hari-hari pikiranku yang rumit, aku selalu ingin menumpahkannya pada siapapun. Pada teman dekat, pada pasangan, pada siapapun yang mau mendengar. Soal apa yang harus kulakukan, soal saran yang mereka berikan, itu urusan lain. Aku cuma ingin didengarkan.

Suatu hari, ketika aku berkali-kali mengeluh dan mengeluh hampir setiap hari kepada pasangan, aku takut ia merasa bosan. Tidak ada saran yang keluar dari mulutnya. Hanya kata 'sabar' yang berkali-kali ia berikan padaku.

Aku tidak marah karena ia tidak memberi saran. Sebab, aku tau batasku juga. Ketika aku akan merasa selesai, aku akan pergi saat itu juga. Kalau aku masih sanggup, saran apapun dari siapapun tidak akan berlaku. Sehingga, apa yang dia lakukan sebagai pendengar, sudah cukup membuatku punya tempat untuk berkeluh kesah.

Terakhir kali ia memberiku saran yang memang benar-benar sudah aku butuhkan. Karena dia tau kondisiku seperti apa. Dan lagi-lagi karena aku tau ini sudah batasku sejak sebulan lebih menjadi 'backup person' tanpa dapat benefit apa-apa.

Dan kiranya aku berhenti sekarang pun, aku tetap punya backup plan. Sebab aku sudah tidak bisa menuntut apapun pada tempat lama yang memberiku naungan saat ini. Bukan sesumbar, apalagi takabur, hanya saja apa yang kuharap di awal tidak lagi kutemukan. Bukan karena tidak bisa menyesuaikan, tetapi semua ada batasnya.

Ini bukan soal hubungan romansa, ini tentang pekerjaan yang memaksamu berdiri di beberapa role, tanpa berniat memberi kompensasi apa-apa.

Post a Comment

4 Comments

  1. selalu dan selalu, saya dibuat merenung oleh tulisanmu. kadang-kadang saya bertanya, ketika kamu menulis, kamu membayangkan siapa?

    tidak perlu dijawab. biarkan saya tetap penasaran dan menebak-nebak — dan kembali lagi ke blog ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Gip! Saya membayangkan banyak hal, bukan cuma siapa, tetapi juga apa. Jadi, memang hasilnya sedikit berantakan dan tidak jelas akan kemana arahnya.

      Ya, begitulah pikiran yang rumit ini ketika dituangkan ke dalam tulisan.

      Justru saya berharap akan lebih banyak tulisan semacam ini karena saya nggak perlu repot memikirkan apakah orang mengerti atau tidak dengan isi tulisannya. Hahaha.

      Delete
  2. Hi mba Afrianti,

    Memang nggak asik kerja dengan banyak role tapi yang didapat nggak seimbang. Karena bagaimana pun yang namanya kerja, pasti ingin dapat imbalan. Kan bukan sedang charity ceritanya 😅 Hehehehe. Jadi saya bisa membayangkan betapa burn out~nya mba Afrianti namun merasa bingung harus ambil langkah apa ~

    Well, semoga mba Afrianti bisa segera dapat jawaban paling tepat dari rasa gelisah yang mba rasakan sekarang yah, baik itu stop atau lanjutkan, dan semoga jika akhirnya pilih stop, mba akan dapat pengganti yang lebih baik lagi ke depannya 😍

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?