Let Them Be, Let It Go

It's almost the end of September and I feel good at all.

Ketika masuk bulan September, saya merasa pikiran saya mulai awur-awuran lagi. Ya takut, ya kecewa, ya nggak berani berharap lebih sama apa yang sudah terjadi sekitar dua bulanan ke belakang. Beberapa catatan saya di September isinya selalu soal kesedihan karena memang lagi nggak ada hal-hal baik menurut saya yang bisa dibagikan di blog ini. Tahun ini pun saya nggak banyak nulis postingan, padahal tahun lalu bisa lebih banyak.

Salah satu temen saya bilang gini, "Gapapa, kamu lagi bahagia. Nikmati aja," pas saya ngeluh kenapa belakangan saya susah nulis dan isi blog kuantitasnya menurun jauh.

Saya menyadari ada beberapa hal yang menjadi distraksi selain soal saya yang lagi bahagia karena nemu partner yang melampaui ekspektasi saya. Juga ada banyak hal yang pengen banget saya syukuri walaupun ada juga sesuatu yang saya susah ikhlas. September kali ini memang isinya lebih banyak perencanaan dan sesuatu yang bikin jengkel tapi yaudah aja gitu.

Pertama, kerjaan saya lagi settle. Ini hal yang bisa saya syukuri sejak pandemi. Sebelumnya saya pernah dicut off dari kerjaan pasca pulih dari covid bulan Februari lalu. Kemudian masuk ke kantor ini dengan posisi yang memang sesuai dengan saya. Setidaknya saya jadi bisa belajar dan memperdalam ilmu juga di sini. Kalau dibandingkan sama pekerjaan sebelumnya, tentu ada kenaikan yang cukup signifikan dan saya harus benar-benar bersyukur akan hal ini.

Beberapa orang bilang, semakin banyak kamu kerja, tentu upah yang kamu dapat akan semakin besar. Tapi prinsip diri saya sejak dulu bukan cuma soal mengejar gaji besar, tapi juga soal work life balance. Saya nggak ingin pekerjaan saya menyita terlalu banyak waktu di hidup saya sampai nggak punya waktu buat sekadar ngobrol sama keluarga atau hangout sama teman. Hal ini kemudian merambat jadi penyebab pertanyaan lain di hidup saya, "Kapan punya pacar?"

Saya mah ketawa-tawa aja ditanya begitu. Soalnya walaupun nggak punya waktu diluar jam kerja, saya sempat aktif di akun dating apps demi cari teman ngobrol yang syukur-syukur bisa dijadikan teman hidup yang serius. Saya nggak iri sama orang yang punya pacar karena saya juga sadar belum bisa sepenuhnya mengurusi diri sendiri, gimana mau ngurusin orang ye kan? Satu alasan lain yang bikin saya nggak pengen buru-buru juga karena saya takut ketika terlalu cepat menyimpulkan sesuatu yang bahkan saya nggak tahu kebenarannya.

Jadi, ketika ada yang bertanya, "Target nikah kapan, Tiw?" Ya saya akan jawab, "Saya nggak ada target, sedatengnya jodoh saya aja."

To be honest, itu saya bilang depan muka partner pas awal makan bareng. Ketika saya tanya balik, dia jawab dengan tegas, "Tahun ini atau tahun depan."

Saya cuma tersenyum. Bukan waktu yang lama, tapi mari sama-sama kita rencanakan.

Kedua, beberapa kali saya sadar ada orang yang keluar dari lingkaran hidup saya. Seharusnya tidak apa-apa. Seharusnya saya bisa ikhlas, tapi ternyata susah sekali. Perkara siapa yang toxic di antara saya dan orang tersebut seringnya jadi bahan bakar overhinking saya setiap malam. Benar, kita selalu berengsek dalam cerita orang lain.

Saya banyak dinasihati oleh teman-teman lain. Rata-rata jawaban mereka hampir serupa, "Biarin aja. Kamu berhak hidup damai tanpa pikiran-pikiran khawatir." Atau "Jangan takut kehilangan teman, kamu baik dan mereka punya hak untuk memilih dengan siapa mereka berteman, kamu pun."

Sempat denial karena saya amat sangat nggak suka kalau orang jadi membenci saya karena suatu hal. Padahal, sudah pasti kita nggak bisa mengontrol pikiran dan sikap orang lain, yang perlu kita perhatikan adalah pikiran dan sikap kita. Tapi rasanya tetap saja menyebalkan karena saya nggak berhasil membuat orang-orang tersebut tentram berada di sekitar saya sampai akhirnya memilih pergi.

Beberapa kali juga saya meributkan hal-hal tersebut dengan diri sendiri dan merasa gagal menjadi teman yang baik, tetapi ternyata saya juga gagal menjadi baik untuk diri saya sendiri dengan selalu mementingkan orang lain sebelum saya. Teman-teman saya yang lain nggak bosan selalu bilang, "Udah Tiw, cuekin aja. Biarin aja, kamu juga berhak hidup damai. Kalau dia sudah nggak mau ada di circlemu yaudah jangan maksa."

Pun halnya dengan partner saya yang nggak segan akan langsung cut-off orang yang dianggapnya toxic. Saya juga sempat apresiasi dengan keberaniannya. Saya juga ingin bisa seperti itu tanpa harus terbebani perasaan bersalah karena tidak mampu mempertahankan circle pertemanan. Kadang saya masih berharap bisa mengobrol baik-baik alih-alih langsung menghilang begitu saja. Kadang saya butuh closure buat menegaskan bahwa sudah tidak perlu ada hubungan apapun hanya supaya sebuah permasalahan jadi lebih clear.

Alih-alih seperti itu, mungkin lebih baik mengikuti aturan mainnya saja. Saya tidak lagi akan memaksakan kehendak secara sepihak. Let them be. Let it go. Dan semuanya akan berjalan tanpa bersinggungan lagi.
___

September kali ini masih berusaha menghilangkan rasa mager untuk membuat konten dan merencanakan hal-hal yang perlu direncanakan. Jangan lagi overthinking, jangan lagi terlalu baik, jangan lagi sering merasa bersalah. Orang akan datang dan pergi sesuai waktunya. Tetap bergerak pada realita dan sering-sering berdoa dan bersyukur.

Semoga tetap bahagia selalu.
Sekian.

Post a Comment

0 Comments