Sahabat Pena dan Surat-Surat yang Menyenangkan

Hai! 

Sebulan lalu saya cuma menulis dua postingan, tentang salah satu series favorit saya dan ghibah buku. Setelah itu saya nggak nulis apa-apa lagi di blog ini. Bisa dibilang saya rehat. Dengan tidak membuka blog ini saya berharap bisa muncul rasa kangen untuk menulis lagi. Ya, memang ada sih pikiran untuk menulis, tetapi tulisan yang dihasilkan lebih seperti tulisan-tulisan pendek yang malas saya tayangkan di blog. Saya lebih memilih mengolahnya jadi microblog lantas diposting di instagram.

Hidup sedemikian rumit, tetapi saya cukup bahagia sampai detik ini. Saya sudah menemukan diri saya sendiri setelah kemarin-kemarin sempat merasa tercerabut. Tetapi, tak apa, saya sudah kembali.

Menulis panjang begini saya jadi ingat ada satu surel dari seorang teman yang belum saya balas. Sudah hampir tiga bulan dan saya belum membalasnya. Awal masa pandemi, ketika saya off bekerja, ada seorang teman di kontak WhatsApp yang membuat story tentang pendaftaran untuk mencari sahabat pena secara digital. Ya, biasanya kan sahabat pena atau sapen, akan saling berkirim surat, nah karena waktu itu kita diharuskan di rumah saja, jadinya sistem tersebut diubah melalui e-mail.

Saya mendapat sapen berdasarkan dari surat yang saya tulis, kemiripan isi, dan sedikit banyak kesukaan. Namanya Niki, perempuan  berzodiak Cancer. Secara rasi bintang dan ramalan-ramalan yang ada, saya yang berzodiak Aries akan sangat cocok berteman dengan orang berzodiak Cancer. Dan saya merasakan itu dengan Niki.

Kami bertukar surel dalam 3 hari sekali, karena begitulah aturan mainnya. Tetapi kadang saya membalasanya lewat dari seminggu sebab kesibukan tak bisa ditinggal. Kami tidak lagi mengikuti aturan mainnya, tetapi tetap saling membalas ketika ada waktu. 

Bertukar surel, meski berbeda sensasi dengan bertukar surat fisik, rasanya tetap menyenangkan. Isi e-mail saya jadinya bukan cuma broadcast dan kerjaan. Saya mensyukuri hal itu, mendapat kabar, membaca cerita dari Niki soal pekerjaannya di Jogja, bertukar referensi buku dan film, bicara soal tato, atau sharing tentang toxic relationship yang pernah kami alami masing-masing.

Saya lantas mengingat ketika terakhir kali punya sahabat pena sewaktu SMP. Setiap kali akan membalas surat, saya sudah merasakan sensasi menyenangkan untuk pergi ke kantor pos saat pulang sekolah, menempelkan perangko dan mengirimkannya dengan sukacita. Surat itu akan terbang ke kota lain yang belum pernah saya kunjungi.

Saat ini, saya masih tetap menyukai benda-benda old school semacam surat fisik. Meski saya terbilang sangat jarang menulis surat dan hal-hal semacamnya, saya tetap senang kalau ada teman yang memberi kiriman semacam itu. Seperti surat yang baru-baru ini saya dapatkan. Isinya sederhana, tapi perasaan menerima suratnya tidak sesederhana itu.

Dari zaman serba digital begini, jika ada orang yang masih mau menulis surat dan mengirimkannya melalui pos tentu effortnya sangat besar. Makanya, saya begitu kagum pada orang-orang yang masih menyenangi hal-hal demikian.

Surat, kartu pos, dan perangko itu benda-benda kecil yang dulu menyampaikan banyak kabar ke seluruh penjuru dunia. Saat sekarang keberadaannya digeser dengan gawai yang kita pegang setiap hari, justru benda-benda kecil itu punya nilai dan makna yang lebih tinggi, khususnya buat saya. Semakin langka, semakin jarang yang menggunakan, saya justru akan semakin mengapresiasinya dengan sepenuh hati.

Jadi, kalaupun ada yang mau berkirim surat atau kartu pos ke saya, silakan ya. Bisa tanya alamat melalui surel saya. Semoga nanti saya juga bisa membalasnya. Hehehe :)

Post a Comment

5 Comments

  1. Iya jadinya pinginnya ada Sapen gini, biar ada yang diceritakan setelah banyak sekali hal yang kita lalui.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bercerita panjang lebar, lalu menunggu balasan itu ternyata punya sensasi tersendiri.

      Delete
  2. Saya jadi ingat, pernah kenal seseorang lewat blog. Kami jadi akrab setelah beberapa kali bertukar sapa dikolom komen. Karena satu dan lain hal, dia pindah ke Jayapura.

    Kami sering bertukar kabar dan ngobrol lewat WhatsApp, hingga satu hari kami bertemu pada satu masalah dan membuat kami jadi bertengkar. Ia memblokir saya dan saya tidak masalah dengan itu. Beberapa waktu kemudian, ia menghubungi saya. Entah lewat apa, saya agak lupa, tapi obrolan kami pindahkan lewat surel.

    Jadi, tiap bertukar pesan rasanya selalu menarik menulis panjang. Beda dengan WhatsApp yang cenderung pendek. Dan benar, kami jadi seperti saling mengirim surat fisik. Bertukar referensi/preferensi, bertukar kabar, sampai bercerita tentang apa saja yang kami lalui sejak lost contact. Pertemanan hangat itu, cukup membekas untuk saya. Belakangan saya sudah jarang menghubunginya, kapan-kapan akan saya lakukan.

    Terimakasih ceritanya, ini benar-benar merapikan ingatan saya 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, samasama kak. Kadang menulis surel pun terasa beda dengan chat WhatsApp. Karena isi ceritanya lebih panjang dan detail seperti menulis surat fisik. Semoga nanti bisa segera berkabar dengan temannya ya :)

      Delete
  3. Baca tulisan ini, jadi inget dulu punya pacar yang tiap harinya kami kirim-kiriman email. Ya walaupun setiap hari berkomunikasi via pesan singkat, tapi biasanya malamnya, sebelum tidur nulis email. Cerita tentang semua kejadian hari itu dan hal - hal yang ingin diomongin.

    Rasanya beda banget dengan chat. Secara bahasa pun begitu. Jadi sedikit lebih rapi gitu. Itung - itung belajar nulis. Kayanya masih ada tuh emailnya tapi orangnya gak ada lagi. Hahaha

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?