[Book Review] Elang by Amy Djafar

Judul: Elang | Pengarang: Amy Djafar| Penerbit: Orbit | Tahun Terbit: Cetakan Pertama 2020 | Tebal Buku: 270 hlm. | ISBN: 978-623-7623-35-1

Akhirnya saya menyelesaikan novel ini juga. Belakangan minat baca saya terdistraksi ponsel terus. Sudah paling benar emang kalau bulan lalu ponsel saya rusak, jadinya bisa fokus untuk membaca buku tanpa gangguan.

Well, kali ini saya mau coba bahas novel Elang karya Amy Djafar yang merupakan teman saya dari Makassar. Saya pikir pas dapat novel ini, saya akan disambut dengan tandatangan di halaman depan juga quotes kecil dari Kak Amy. Ternyata enggak. Katanya sengaja biar saya balik lagi ke Makassar dan minta tandatangan langsung. Baiklah, semoga tahun depan sudah aman untuk saya berkunjung ke Makassar lagi.

----

Novel bersampul putih dengan gambar seorang gadis yang punggungnya ditumbuhi daun langsung bisa membuat saya membayangkan bahwa novel ini dekat dengan isu lingkungan. Atau setidaknya punya poin mengenai lingkungan yang akan membawa pembaca untuk memahami betapa lingkungan sangat penting bagi kehidupan makhluk di bumi. Jujur, saya sangat suka desain sampulnya. Menarik, tetapi sederhana dan menyiratkan banyak makna.

Bercerita tentang Elang Gadisha, seorang gadis yang menyukai dunia kuliner dan mendapat pesan dari kakeknya melalui buku bersampul hitam. Pesan tersebut akhirnya membuat ia mengalami petualangan untuk bisa mengerti banyak makna kehidupan. Sebuah ide cerita yang menarik untuk dikulik mengingat kondisi bumi belakangan semakin rawan. Potret kehidupan dan prediksi kemungkinan buruk di masa mendatang jika manusia masih enggan merawat bumi.

Premis di awal novel cukup membuat saya penasaran. Mimpi apa yang dialami oleh Elang Gadisha sebagai tokoh utama? Apakah ada hubungannya dengan kerusakan lingkungan? Atau apa maksud mimpi itu dan adakah kaitannya dengan buku bersampul hitam yang diberikan kakeknya?

Semua teka-teki menjadi pembuka yang menarik untuk segera melanjutkan bukunya. Tetapi memasuki bab-bab selanjutnya, kekuatan misteri itu justru menurun. Terlepas dari diksi yang saya suka sekali, plot yang dibangun seakan kurang kuat. Entah. Pertama, sebagai contoh, keinginan Elang mendaki gunung demi bisa menuruti pesan kakeknya, yaitu membaca buku bersampul hitam di atas gunung, bagi saya masih cukup berada di jalur. Namun, saya merasa ada yang kurang.

Manusia emang nggak pernah puas~

Kurang apa? Kurang esensial. Terlebih ketika bukunya hilang dan Elang seperti,  "Yaudahlah bukunya ilang terus mau gimana?"

Jika hanya tentang Elang seperti judulnya, novel ini sudah mampu mengirimkan segala bentuk perasaan milik Elang kepada pembaca. Namun, jika diniatkan untuk membahas isu lingkungan, saya bisa bilang novel ini masih jauh dari kata sempurna. Malahan saya berharap, poin-poin dalam novel ini bisa dikupas secara detail.

Agak kejauhan kalau saya berharap buku bersampul hitam itu akan memberikan banyak petunjuk mengenai isu lingkungan yang mencoba dituturkan melalui novel ini. Pengenalan karst pun hanya dijelaskan sekilas ketika Elang dalam kondisi kabur ke Makassar. Sangat jauh dari bayangan saya yang menginginkan Elang benar-benar melakukan sesuatu untuk membenahi lingkungan, terlebh ketika pada akhirnya ia masuk ke UKM Pencinta Alam di kampusnya. Bukan sekadar masuk untuk bisa naik gunung saja dan demi tujuan pribadinya.

Kedua, mengenai aplikasi Causalism. Saya yakin jika poin ini dijadikan nyawa utama dalam novel Elang, mungkin akan jadi alur yang menarik mengingat tidak banyak aplikasi yang benar-benar bisa memperkirakan kemungkinan kerusakan alam dan bisa diajak berdiskusi secara atraktif. Secara garis besar ide ini sungguh brilian dengan memasukkan teknologi modern untuk membenahi lingkungan. Sayangnya lagi-lagi saya harus menelan kecewa karena Causalism hanya dijadikan penghias atau selingan atas rasa penasaran Dino, teman sekampus Elang, pada Elang.

Menyoal karakter Dino yang juga saya sesali, Dino seperti hantu. Tau-tau muncul, tau-tau galak, tau-tau baik, tau-tau hilang kayak mantan yang selingkuh. Untuk kali ini, maaf, saya mau bilang Dino karakternya enggak jelas. Dia di awal digambarkan sebagai orang yang pongah, jumawa, dan dikelilingi banyak cewek. Tetapi di bab-bab selanjutnya (bahkan sampai akhir) Dino berubah jadi orang sok misterius yang kemudian jadi baik ke Elang dengan tujuan yang tidak dijelaskan dalam novel, entah dia iba atau malah suka pada Elang.

Ketiga, porsi romantisme yang terasa janggal. Benar, pertemuan dan kesukaan bisa menjadikan dua orang saling terikat, tetapi hubungan platonik milik Elang dan Bhumi sungguh terasa dangkal. Pertemuan yang dimulai karena ketidaksengajaan ini lantas membuat Elang begitu sakit hati dan memilih kabur saat tahu Bhumi dijodohkan dengan perempuan lain? Ya, saya nggak bisa menghakimi begitu saja, namun ini terasa berlebihan mengingat mereka belum punya hubungan apa-apa bahkan untuk sekadar kedekatan yang intim satu sama lain. Sehingga sebelum chemistry mereka terbangun, saya sudah disuguhkan cerita Elang patah hati dan itu menjadikannya hambar.

Jujur saja, saya kecewa dengan endingnya. Saya kecewa dengan isi buku bersampul hitam itu. Saya kecewa kenapa Kak Amy nggak membuatnya lebih misterius dengan membongkarnya satu persatu di sepanjang novel sehingga setiap babnya terasa punya nyawa dan membuat saya ingin terus mencari tahu daripada hanya ditaruh di ending? Kenapa, Kaaak?!

Secara ide besar, novel ini sungguh cerdas, tetapi itu tadi, masih terasa setengah-setengah karena terlalu banyak memasukkan poin-poin yang sebenarnya bisa dipisahkan atau malah disempurnakan dengan mengembangkan detail-detailnya.

Sejauh ini saya cukup bisa masuk ke dalam cerita dalam novel. Betapa strugglenya Elang, rumitnya hidup ketika sahabat dan gebetannya tiba-tiba hilang dari hidupnya, sampai perasaan antusias saat menerima pesan dari kakeknya. Sebuah cerita yang penuh lika-liku. Juga tentang pertemuan-pertemuan tak terduga yang boleh jadi membuat kita menemukan makna baru dalam hidup.

Novel Elang terasa cukup ringan dan cocok dibaca sambil ngeteh sore-sore. Saya masih akan merekomendasikan novel ini karena setidaknya novel ini punya percikan yang akan membuat kita semua sadar kalau alam semesta adalah bagian dari hidup kita yang harus dijaga keberadaannya. Bukan malah dieksploitasi seenaknya.

Secara keseluruhan, novel ini bikin saya kangen Jogja, Semarang, dan Makassar. Sebab ketiga kota itu pernah saya kunjungi, jadi saya bisa merasakan beberapa tempat itu seperti memanggil-manggil saya untuk kembali. Hahaha.

Happy weekend dan selamat membaca!

Post a Comment

2 Comments

  1. sama
    gara-gara hap, minat baca gue jadi enggak ada lagi uy.
    belom lagi ditambah sama game komputer
    ah, ini sih emang gue nya aja yang males sih

    gue baru tau, ternyata ada buku yang bercerita tentang alam begitu uy.
    wawasan novel gue lemah.
    cuman romance doang sih tau nya

    di akhir tulisan, enggak sekalian dikasih skor buat buku ini, Wi?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hap? Hap bukunya Andi Gunawan?
      Wkwk gapapa Ji, semua orang ada masanya males. Tapi yang penting jangan lupa jadi rajin lagi.

      Kayaknya ada banyak sih yang nulis cerita tentang alam, tapi sejauh ini gue juga masih jarang baca huehehe.

      OIya ya, lupa buat ngasih skor, nanti gue tambahin deh Ji. Makasih.

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?