Jika Bisa Merevisi Hidup (Bagian II)


Setelah menuliskan untuk merevisi hidup bagian satu kemarin, saya masih punya hal-hal yang ingin saya revisi kalau bisa. Kali ini tentang cita-cita masa lalu. Dan saya bisa dibilang sangat menyesal tidak berusaha segiat mungkin mewujudkan cita-cita tersebut.

Sejak TK, ketika ditanya ingin jadi apa, saya selalu menjawab ingin jadi dokter. Cita-cita itu saya peluk erat sampai saya SMA. Alasannya sederhana, saya suka rumah sakit dan ingin bekerja di rumah sakit. Walaupun, seperti kita tahu, di rumah sakit nggak cuma ada dokter, tapi ada juga perawat, pegawai administrasi, bahkan OB. Tapi saya cuma mah jadi dokter. Saklek sekali keinginan saya waktu itu.

Saya belajar tekun, masuk jurusan IPA, dapat nilai yang lumayan. Pokoknya cita-cita hanya harus tercapai. Saya harus masuk kuliah kedokteran. Saat itu, hampir di akhir kelulusan SMA, teman-teman sudah sibuk mempersiapkan diri masuk kuliah. Angket pilihan jurusan ke universitas pun sudah saya terima.

Saya lantas menyodorkan angket itu ke Bapak untuk ditandatangani dan diserahkan kembali ke sekolah. Ketika mengisi kolom cita-cita, Bapak tanya ke saya.

"Kamu cita-citanya apa?"

Saya diam sejenak. "Masih mau jadi dokter, Pak." Gantian Bapak yang diam, tapi tetap menuliskan keinginan saya di kertas itu.

Saya tahu kuliah kedokteran itu mahal sekali, belum lagi masuknya susah, tapi itulah saya. Mudah menyerah. Ketika tahu saya tidak akan bisa melanjutkan ke kedokteran karena kendala biaya, akhirnya saya banting setir memilih salah satu pelajaran yang saya suka: Bahasa Jepang. Meski demikian saya sempat riset sedikit mengenai biaya kuliah kedokteran di beberapa kampus yang tergolong murah, tapi ternyata tetap akan mahal jika saya harus kos. Belum lagi biaya bulanan. Pada akhirnya saya mengalah dan menyerah.

Cita-cita saya menjadi dokter cukup sampai menjadi cita-cita. Saya sama sekali nggak terpikir untuk mencari beasiswa. Ya, salah saya memang, terlalu banyak ingin dan tidak berusaha mencari peluang lain. Makanya kalau bisa saya ingin merevisi hidup saya di bagian ini.

Saya mulai termotivasi kembali untuk mengikuti keinginan saya mendaftar salah satu beasiswa MEXT ke Jepang. Saya masih ingat waktu itu salah satu teman saya, Fajar, juga sangat antusias mengikuti ujian beasiswa ini. Kami sama-sama belajar soal-soalnya, saya bertanya ke guru les saya, lalu mampir ke KFC hanya untuk mengerjakan soal matematika yang kami anggap sulit.

Parahnya, semua soal MEXT tahun-tahun sebelumnya amatlah susah. Saya hampir menyerah dengan itu, tapi tetap punya keinginan kuat untuk bisa lolos ke Jepang kali ini. Saya benar-benar ingin mewujudkan cita-cita.

Sayang seribu sayang, kami dipaksa menyerah (lagi) bahkan sebelum mengikuti ujian MEXT. Nilai rata-rata UN saya waktu itu kurang 0,1 dari batas minimal nilai untuk mendaftar ujian tersebut. Saya menyesal sekali waktu itu kenapa tidak belajar lebih giat di UN. Jika nilai saya pas di batas nilai, setidaknya saya bisa mempertaruhkan kesempatan di ujian MEXT tahun itu.

Dua hal ini tentu jadi dua hal yang saya sesali karena kecerobohan saya sendiri. Andai waktu bisa diulang, mungkin saya ingin benar-benar memperjuangkan cita-cita saya, mencari sebanyak mungkin referensi, belajar dengan tekun dan tidak mudah menyerah begitu saja.

Entahlah, bahkan sampai sekarang keinginan untuk bisa melanjutkan studi di Jepang pun masih ada. Hanya saja... motivasinya tidak semembara dulu. Kali ini saya cuma masih mau lulus ujian JLPT (Japanese Language Proficiency Test) N5. Udah dua kali ikut masih belum lolos juga meski poinnya naik dari sebelumnya. Huhu.

Di hari-hari sekarang penyesalan itu semakin tidak karuan rasanya. Bukan saya tidak bersyukur namun, apabila waktu itu saya sadar lebih awal untuk mengejar cita-cita dan melakukan hal yang saya ingini dengan baik, mungkin hari ini akan berbeda dengan waktu yang saya alami sekarang.

Saya ingin merevisi hidup saya di bagian ini karena merasa itulah yang harusnya saya kerjakan, saya lakukan, dan saya perjuangkan agar hidup saya lebih berarti.
To be continued...

Post a Comment

4 Comments

  1. Aku masih penasaran sama hastag #31harimenulis punya Ka Tiwi. Wagelaseh, ko bisa seproduktif ini ngisi blog ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha pas itu aku emang lagi rajin ngeblog. Sekarang udah jarang huhu

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?