Jika Bisa Merevisi Hidup (Bagian I)


Tulisan ini bisa dipastikan adalah angan-angan dari sekumpulan pikiran. Atau harapan-harapan yang terlalu muluk. Tapi nggak apa-apa, namanya juga manusia. Nggak pernah puas sama apa yang didapatkannya di kehidupan.

Hal paling utama yang ingin bisa aku revisi adalah tidak menjadi anak sulung. Aku selalu ingin punya kakak, spesifiknya kakak laki-laki. Beberapa hari lalu, aku membaca sebuah utas di Twitter soal hal-hal yang dilakukan kakak laki-laki dan adik perempuannya. Walaupun isinya kebanyakan bertengkar, aku tetap merasa bisa menikmati keseruan itu andaikan aku punya seorang kakak laki-laki.

Mungkin ini sebabnya, ketika memasuki perkuliahan, aku bisa dibilang sangat manja kepada beberapa senior laki-laki di UKM/organisasi. Bukan manja yang gimana-gimana, tapi lebih kepada sikap adik perempuan yang tiba-tiba punya kakak ketemu gede. Yang minta dijajanin lah, diantar kemana-mana lah, sampai... rebutan ayam goreng, please.

Bagian rebutan ayam goreng ini sungguh memorable bagiku. Waktu itu, kami sedang ramai-ramai mampir ke kedai pecel lele Lamongan. Kami memesan ayam goreng dengan spesifikasi bagian ayam masing-masing. Ketika ayamnya datang, salah seorang seniorku langsung mengambil ayam yang sudah aku letakkan di piring.

"Tukeran ya, Wi."

"Ih, nggak mau. Apaan sih, Mas."

Ia lantas cuma ketawa-tawa melihatku cemberut. Aku tetap ngambek, lalu akhirnya dia menukar kembali ayam gorengnya dan beralasan kalau takut aku nangis. Entah kenapa walaupun demikian, aku tetap saja senang. Padahal aku sudah hampir mengalah soal ayam goreng dan membiarkan dia mengambil ayam milikku.

Hal seperti ini mungkin kelihatan sederhana, tapi aku merasa cukup adil kalau bisa merevisi hidupku untuk punya kakak laki-laki.

Kakak laki-laki bagiku mungkin akan berperan sebagai pelindung, walaupun secara manusiawi aku tetap bisa melindungi diriku sendiri. Namun, jika disuruh berandai-andai kembali, dilahirkan sebagai seorang anak yang punya kakak laki-laki menurutku jauh lebih menyenangkan dari segi berbagi cerita.

Aku beberapa kali bertukar pikiran dengan teman-teman lelaki yang punya adik perempuan dan bertanya tentang pendapatnya mengenai hal tersebut. Dan ya, sebagian dari mereka menjawab kalau mereka merasa punya tanggung jawab lebih untuk menjaga adik-adik perempuan mereka.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan menjadi anak sulung perempuan. Tetapi mau bagaimana pun, bisa dipastikan perasaan semacam ini akan ada pada setiap orang. Misalnya, aku (perempuan) ingin punya kakak laki-laki. Lalu, temanku (laki-laki) mungkin juga ingin punya kakak perempuan. Menjadi hal wajar sepertinya jika selalu ingin punya hal-hal di luar kehidupan kita saat ini.

Alasan lain yang membuatku merasa ingin sekali punya kakak/saudara laki-laki mungkin juga karena tuntutan keluarga. Sejak dulu, keluargaku ingin punya anak laki-laki, tapi ternyata Tuhan tidak merestui. Secara beban, hal ini akan berpindah ke aku.

Sudah sering aku mendengar keinginan ibu untuk punya cucu laki-laki dariku. Tapi ya mau bagaimana, menikah saja belum. Aku lantas hanya mengiyakan dan meminta ibu tetap berdoa. Kalau doa ibu terkabul, itu artinya aku akan punya anak pertama laki-laki dan kalau bisa adiknya perempuan saja, maka keinginanku merevisi hidup dengan tidak menjadi anak sulung mungkin akan tergantikan dengan perasaan anak perempuanku nanti—yang mana telah memiliki kakak laki-laki.

Ya, ini mungkin kejauhan, tapi tidak mengapa.

Terlahir sebagai anak sulung mungkin ada enak dan tidaknya. Memang begitulah sifat manusia yang tidak pernah puas. Bersyukur bahwa memiliki beberapa kakak-ketemu-gede yang masih loyal mungkin jadi hal yang baik bagiku. Tidak cuma kakak laki-laki, tapi juga kakak perempuan yang menurutku bisa membuatku berpikir banyak hal dari perspektif yang berbeda. Menyoal emosi dan sudut pandang kadang-kadang aku mengamini keberadaan sister-sister ini, mereka bikin aku punya tempat berbagi tanpa rasa takut juga.

Seperti beberapa hari lalu, ketika aku mulai menghubungi seseorang dan bercerita banyak hal bersamanya. Aku langsung merasa akrab dan menganggapnya sebagai kakak sendiri. Dari yang awalnya segan, kemudian aku malah jadi manja kayak adik perempuan ke kakaknya.

Well, sebagian tulisan ini memang angan-angan dan harapan yang tidak akan terwujud. Tapi aku selalu iri kepada semua orang yang punya kakak, baik laki-laki maupun perempuan. Bukan berarti tidak bersyukur, hanya saja ada tingkat kesenangan yang berbeda kalau dari sudut pandangku yang tidak pernah punya kakak kandung.

Kalo kakak-kakak-an kan banyak. Ehehehe.

To be continued...

Post a Comment

6 Comments

  1. jika mau merevisi hidup, saya nga mau kenal sama nakanak blogger

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya bagus. Agar tidak teracuni hal-hal tida baik yaa

      Delete
  2. Wah, sama. Saya juga selalu ingin punya kakak perempuan. Kayaknya menjadi adik bisa memangkas separuh beban anak sulung 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah mungkin ini ya. Menyoal beban yang terlalu banyak di pundak anak sulung kadang bikin tertekan juga. Meskipun mungkin sebagai adik juga ada beban tersendiri sih.

      Delete
  3. Tulisan yang menarik kak. Sama, saya juga anak perempuan pertama. Dulu, pernah pengen punya kakak perempuan saja. Bukan apa-apa sih, hanya saja saya lelah jadi anak perempuan sendirian. Adik saya tiga, laki-laki semua. Apa-apa urusan dapur dan keperempuanan semua dilimpahkan ke saya hahaha

    But, perlu bersyukur. Saya punya adik-adik yang lucu nan menggemaskan, walau tidak bisa menjadi teman cuci piring. Atau sekadar teman masak😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah iya benar juga. Saya di rumah bertiga sama dua adik perempuan juga kadang disuruh ngerjain pekerjaan rumah. Kalo urusan pertukangan ya mau gak mau bapak saya sendirian nggak ada yang bantuin. Mungkin ini juga alasan beliau mau punya anak laki-laki hahaha.

      Kayaknya semua hal emang harus disyukuri ya kak 😁

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?