[Book Review] Kamu, Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya by Sabda Armandio


Judul: Kamu, Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya | Pengarang: Sabda Armandio | Penerbit: Moka Media | Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 2015 | Tebal Buku: 348 hlm. | ISBN: 979-795-961-9

Sejak membaca buku 24 Jam Bersama Gaspar yang mana merupakan karya kedua dari Sabda Armandio (atau biar akrab saya mau sebut dia Mz Dio), saya sudah cukup dibuat jatuh cinta sama cara menulisnya di buku itu. Tetapi alih-alih puas, saya tetap ingin membaca karya pertamanya dalam buku Kamu yang sempat dielu-elukan beberapa orang yang suka dengan gaya menulisnya.

Wishlist memiliki buku ini akhirnya menjadi kenyataan di tahun 2019 ketika sedang mampir di bazar buku di mall dekat rumah. Melihat sampulnya yang berwarna biru dengan gambar Datsun kuning yang mentereng, serta huruf judul yang besar bikin mata saya berbinar. Duh ilah, udah macam ketemu gebetan saat itu. Senang bukan main akhirnya yang dicari ketemu juga. Soalnya ini buku udah nggak ada lagi di rak toko buku ketika saya ada uang untuk membelinya dengan harga normal.

Layouting pada sampulnya bikin saya inget sama sesuatu, tapi saya lupa apa itu. Jadi nggak perlulah saya ingat-ingat karena kalo iya, tulisan ini bakalan tertunda lagi.

Kamu. Iya, Kamu.

Itu nama orang dong ternyata. Meski sampai akhir buku nggak juga diketahui nama lengkapnya. Atau mungkin Kamu adalah nama samaran? Sama halnya dengan tokoh utamanya yang nggak pernah menyebutkan nama. Semua tokoh dalam buku ini hanya sekadar disebutkan dengan sebuah sebutan.

Aku. Kamu. Pacarku, yang kemudian jadi mantan pacarku. Teman perempuan sekelasku. Ibuku. Tukang bakso. Pesulap. Oh, satu orang yang namanya disebut dalam buku ini adalah Kek Su, yang nama lengkapnya Sugali, bukan Sugiono. Maap.

Pada pembukaan bab pertama, ada sebuah ilustrasi tangan dan jari-jari yang tak utuh. Jujur ilustrasinya mengingatkan saya pada sebuah gif animation di twitter yang semacam ini. Akhirnya aku menemukannya setelah mencari bermenit-menit.

[Gif hand pieces]

Di awal mula cerita, tokoh aku bercerita tentang keadaan masa kininya, tentang dua jarinya yang hilang, sampai kemudian mengingat seorang teman bernama Kamu yang selalu menjadi teman semasa ia SMA. Kemudian jalan cerita kembali ke masa lalu. Benar-benar sebuah cerita yang panjang oleh nostalgia masa SMA. Saya begitu mencintai bagaimana cara Mz Dio menuturkannya melalui sudut pandang orang pertama dengan deskripsi yang ciamik dan bikin saya merasa ikut berpetualang bersama si aku dan Kamu.

Bab-bab yang nggak terlalu panjang bikin saya betah membacanya. Belum lagi ketika cerita mulai memasuki cerita inti, alias si tokoh aku mulai diajak menyusuri lorong panjang menuju dunia lain selain dari dunia tempatnya berada sekarang. Semacam kayak belahan bumi lain di mana matahari ada empat kayak di Bekasi dan Cikarang. Bedanya di tempat itu, walau matahari ada empat, mereka sama sekali nggak kepanasan, malah merasa lagi ada di surga. Aneh emang.

Persoalan-persoalan rumit dan pikiran-pikiran tentang pencarian jati diri memenuhi keseluruhan buku. Pasalnya dari awal aja kita udah disuguhi gimana membosankannya tokoh aku yang bekerja secara monoton. Dan ketika memasuki lorong waktu masa lalu, tokoh aku dan Kamu pun sama-sama menggalaukan masa depan. Menimbang-nimbang apakah kuliah itu perlu atau tidak? Kenapa banyak murid yang bunuh diri hanya karena tak siap menghadapi UN?

“Apakah orang-orang membentuk kota sesuai dengan keinginan mereka atau justru kotalah yang membentuk orang-orang di dalamnya menjadi apa yang kota butuhkan?” – Hlm. 19.

Secara keseluruhan buku ini memang cuma nostalgia si tokoh utama, tapi lain daripada itu, saya menangkap banyak pesan yang disampaikan soal keresahan dan kegelisahan pada masing-masing manusia yang digambarkan melalui si tokoh aku. Berbagai pemikiran ala anak SMA yang galau tapi nggak menemukan solusinya. Atau pertanyaan-pertanyaan sederhana di dalam benak, tapi nggak ada jawabannya. Kayak cuma mempertanyakan aja gitu.

Ada banyak kalimat yang saya tandai sebagai kutipan favorit, ada juga bab-bab yang saya tandai sebagai deskripsi narasi yang unik dan cukup menggunggah hati saya untuk kembali menulis fiksi. Sejauh ini, baik buku Kamu maupun 24 Jam Bersama Gaspar, saya menyukai ide ceritanya yang sederhana dan lekat dengan keseharian. Tetapi, saya lebih memilih buku Kamu secara personal sebagai buku favorit karena narasi deskripsinya yang ingin saya puja-puja. Terlepas dari itu pula, buku Kamu masih menyimpan typo atau ejaan yang salah di beberapa bagian. Orang awam pun bisa dengan jelas melihatnya. Mas Dea Anugrah sebagai penyunting mungkin sedang ngantuk pas ngeditnya, tapi nggak apa apa. Ia salah satu penulis yang baru-baru ini saya sukai karena newsletter portal daring Asumsi.

Well, sepanjang membaca buku ini saya entah kenapa malah teringat pada salah seorang teman. Ketika ia tanya kenapa bisa ingat dia, saya baru sadar kalau dia punya kemiripan dari segi gaya tulisan dengan tulisannya Mz Dio. Lalu dia cuma tertawa pas saya kasih tau. Intinya, saya jadi semakin suka dengan gaya penulisan semacam ini dan ingin mencoba menuliskan deskripsi secara rinci, tapi tidak membosankan seperti Mz Dio punya.

Btw, mau naik Datsun kuningnya Kamu.
Foto dari Kak Titis. Mirip sama Datsun kuningnya Kamu.

Selamat membaca dan enjoy the book.
Akhir kata, salut!

Post a Comment

23 Comments

  1. Wah waktu itu sempet dikasih tahu temen yang baca buku ini langsung maksa2 gue buat baca. Tapi sampe sekarang nggak nemu yang jual. Ini lo pas beli di mana tiw?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bacaaaaa! Ini pas beli di bazar di mall deket rumah hahaha. Eh gue masih ada bukunya yang barunya. Lo mau? Wkwk

      Delete
    2. Maksudnya gimana bukunya yang baru? Lo ada 2?

      Delete
    3. Ada 3 malah. Mau gue jual niatnya hahaha. Lo mau beli gak?

      Delete
    4. Masih ada gak? Butuh buat skripsi huhuu....

      Delete
  2. Yap! Saya beli buku ini juga di bazar buku, emang udah gak ada di rak2 sih. Maklum, buku lama.

    Tulisan semacam ini bagus, saya suka tulisan fiksi begini, tapi tentunya gak semua orang suka. Bahkan novel 24 Jam Bersama Gaspar yang menurut saya bagus juga ada sebagian yang gak suka dan memeberi rating jelek. Ya, suka atau tidak suka, kembali ke masing-masing sih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Soalnya dulu saya masih nemu di rak walaupun itu posisinya paling bawah dan tersembunyi. Eh pas balik lagi udah nggak ada. Untung nemu di bazar wkwk

      Iya sih, tapi 24 Jam Bersama Gaspar itu kan dapet penghargaan ya? Berarti ya banyak yang suka juga. Hehe

      Delete
  3. nemu buku yang dicari dengan situasi yang kayak begitu udah kebayang sih senengnya. pernah ngalami juga soalnya.

    saya belum menargetkan untuk baca buku ini secepatnya, belum punya juga, skrg masih mencoba untuk terus tahan dengan cerita gaspar, masih tersendat-sendat buat lanjutinnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayak nemu harta karun masa perasaanku hahaha

      Gaspar saya bacanya juga agak lama tapi ya gak selama pas baca buku ini sih.

      Delete
  4. Lama banget udah nggak baca buku menye2 gitu (anjayy), terakhir baca cinta2annya punya Fanny Hartanti yang judlnya Lost and Found, ceritanya kayak ftv, tapi menye. Yahh menye2 lah wkwkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bentar. Ini buku ga menye-menye saaaan. Gue tampol lu yak. Kok kesal :(

      Itu buku yang lo baca emang buku metropop anjir. Ya jelas menye-menye hahaha

      Delete
  5. Lamaaa banget ga baca fiksi. Eh, baca ding, tapi fiksi balita dan anak SD. Hahaha...

    Sebagian cerita Kamu ini realita kehidupan anak SMA, ya. Ada soal nerusin kuliah atau enggak.

    Ehtapi itu matahari ada 4? Berasa di planet lain, dong. Di galaksi mana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha fiksi balita karena punya anak balita ya kak?

      Iya ini realita banget dan agak menyentil kehidupan sosial juga.

      Hmmm ya rasanya emang kayak di planet lain tapi ternyata masih di bumi wkwk

      Delete
  6. ngomongin soal bacabuku jadi inget deh masih punya banyak utang baca buku yang masing numpuk di rak buku huhuhu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayok kak segera dihabiskan bacaannya mumpung masih WFH hehe

      Delete
  7. Saya suka juga "mengumpulkan" kutipan favorit dari buku yg dibaca. Kadang kalimat bagus bisa jadi inspirasi dan penyemangat kita ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap. Seru banget kalo nu kutipan yang relate dan unik ya kak hehe

      Delete
  8. Waahh kayanya menarik nih bukunya, penasaran sama gaya tulisannya yang banyak diminati orang., Kira-kira masih ada ada ga yaa di Gramedia gitu? Masa harus nyari di bazar hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya udah nggak ada kalo di Gramedia toko buku. Mungkin di website online masih ada. Karena ini buku terbitan lama sih hehe

      Delete
  9. Berburu buku lalu dapat sesuai yang diinginkan ituu..bahagia luar biasa.
    Tapi gambaran mengani tokoh Aku dan Kamu sungguh masih belum bisa aku tarik benang merahnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya benar. Apalagi ini buku yang diincar udah lama.
      Jadi ini tuh cerita nostalgia aja kak tapi narasinya seru hehe

      Delete
  10. Waktu itu mau komentar isi tulisannya, eh malah lupa. Persoalan editornya mengantuk, itu sejatinya bukan tugas dia, Tiw. Gue sempet menyinggung hal semacam ini di cerpen "Editor Gadungan". Itu yang mengoreksi tata bahasa dan tipo lebih ke tugas proofreader atau penyelaras akhir. Editor mah mengenai jalan ceritanya, gagasan penulisnya, suara naratornya, dst. Asyik atau enggak buat dikonsumsi pembaca. Nah, editor fungsinya setahu gue di situ, memberikan masukan-masukan buat penulis. Misalnya, bagian ini perlu ditambahkan apa, atau justru mendingan bagian itu dibuang seandainya enggak ada makna di balik itu dan tak berpengaruh sama alur cerita. CMIIW.

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?