Corona, Macet, dan Obrolan Panjang di Dalam Mobil


Senin minggu lalu (16/3) pemerintah mulai memberikan imbauan untuk social distancing, termasuk para pekerja yang mulai diimbau untuk work from home. Aku termasuk yang ketar-ketir mengingat lokasi kantor di Jakarta dan waktu itu belum ada arahan untuk bekerja dari rumah. Ketika akan berangkat, aku berharap kondisi Jakarta akan terkendali dan jalanan bisa lancar mengingat banyak kantor yang sudah mulai memberlakukan sistem WFH per Senin minggu lalu akibat wabah virus Covid-19 yang semakin menjadi.

Berangkat dengan bus dan memakai masker adalah caraku untuk melindungi diri. Tahu tidak? Aku sempat merasa seperti berangkat menuju sebuah kota yang terinfeksi virus seperti dalam film The Flu. Jalanan yang kukira akan lengang, ternyata malah sebaliknya. Memasuki tol Jagorawi kendaraan mulai padat. Bus yang aku tumpangi pun berjalan tersendat.

Oke, ini bukan seperti dalam film.

Iseng membaca berita, ternyata armada transportasi ke arah Jakarta malah dibatasi. Alhasil banyak orang yang kantornya belum menerapkan WFH harus rela antre sampai mengular. Aku sempat berpikir ini sebuah kegilaan. Bagaimana tidak, wabah ini akan semakin berpotensi menyebar apabila orang-orang tersebut berdesakan di dalam angkutan umum. Lagi-lagi otakku membayangkan adegan demi adegan dalam film The Flu.

Aku agak terlambat sampai di kantor karena kemacetan ini. Bekerja seperti biasa, aku merasa kantor terlihat tidak seramai biasanya. Mungkin perusahaan lain sudah mulai menerapkan imbauan Presiden. Sampai ibu kantin pun bertanya, “Besok masuk kerja nggak, Neng?”. Aku dan teman-teman yang belum mendapatkan arahan WFH menjawab mungkin akan bekerja seperti biasa.

Aku tidak tahu bagaimana perjalanan pulang nanti mengingat jalur pulang adalah jalur macet yang sangat-sangat membosankan. Kendati demikian, aku berkabar dengan Fajar, salah seorang teman yang sedang mengurus keperluan di kantornya di daerah Bundaran HI.

“Lo mau bareng? Kayaknya gue pulang agak sorean,” Ketiknya pada kolom pesan. Membaca demikian aku bersyukur dong karena tidak harus lama menunggu bus dan bosan sendirian ketika tahu macetnya bukan main. Bahkan antrean pengguna Transjakarta juga masih mengular sampai di tangga JPO. Sungguh miris melihatnya.

Langit Jakarta masih abu-abu. Kontras sekali dengan bajuku yang hari itu kuning cerah. Gerimis masih turun perlahan sampai sebuah pesan suara memasuki ponselku.

"Wi, gue udah deket nih. Di belakang bus, ya," kata Fajar.

Sembari terus mengecek live location-nya, aku membalas dengan pesan suara juga, "Oke. Gue pake baju kuning, udah di pinggir jalan. Keliatan kok."

Gerimis hampir menderas, tapi aku enggan membuka payung karena jarak Fajar sudah mendekat ke lokasi tempatku menunggu. Ketika mobilnya sampai, aku buru-buru masuk. Angin dari pendingin udara langsung menyergapku. Kali ini tanpa lagu Aimer seperti sebelumnya. Cuma ada suara radio dengan volume yang kecil dan tak kedengaran si penyiar bicara apa.

"Eh, kantornya Haekal deket sini, lho," kataku membuka percakapan.

"Emang iya? Sebelah mana sih?"

"Masih searahan sama kantor gue. Kita kan nanti masuk tol, nah kalo kantornya dia enggak. Tapi nanti keliatan lah tetep."

Ini pertemuan tak terencanaku dengan Fajar setelah minggu lalu kami—aku, Fajar, dan Haekal—tidak jadi bertemu karena Haekal sibuk bekerja. Aku pernah menceritakan soal mereka di tulisan sebelumnya ketika membahas soal setan kredit. Aku dan Fajar berasumsi kalau Haekal sibuk bekerja demi melunasi paylaternya.

"Apaan si Hae susah banget dihubungi. Nih lo liat gue WA dua kali di waktu yang berbeda pun nggak digubris. Padahal dia main mulu," gerutuku.

"Lo nyadar nggak sih, Wi? Temennya Hae tuh bapak-bapak semua. Tapi, ya. Muka dia juga udah bapak-bapak anjir."

Kami melanjutkan perghibahan tentang Haekal karena melihat kondisi jalanan super macet. Kupikir aku akan sampai rumah lebih cepat daripada biasanya karena menebeng mobil Fajar, tapi kayaknya nggak mungkin.

Gerimis masih tetap mengguyur Jakarta. Antrean kendaraan di flyover Pancoran juga masih panjang. Suasana sendu menyelimuti ketika tiba-tiba Fajar memulai ceritanya.

"Lo inget, kan, gue pernah cerita kalau dia ngechat gue lagi?"

Ini memang cerita yang tertunda. Meski sudah tahu secara ringkas melalui chat, kami lebih suka membahas hal-hal semacam ini secara langsung. Entah kenapa obrolan langsung memang lebih asik dan seru. Kalau melalui teks aku merasa agak ribet dan malas mengetik panjang.

Dua orang di dalam mobil yang kami tumpangi saat itu memang sama-sama sedang bergerak menuju perpindahan. Perpindahan jarak dari Jakarta ke Bogor, juga perpindahan perasaan dari mencintai untuk melepaskan. Aku dan Fajar sedang mengalami fase yang sama: ditinggalkan. Dalam waktu yang nyaris sama pula.

"Gue nggak ngerti, Wi. Dia datang ke gue dan marah-marah gara-gara postingan gue. Lah dia aja ngeblock gue. Terus gue harus gimana anjir?"

Relate. Ini sangat relate denganku yang beberapa waktu lalu ditegur oleh mas mantan yang tidak mau tulisan tentangnya tersebar dimana-mana. Padahal, siapa yang tahu tulisan itu untuk dia? Kalau ternyata bukan, ya masa dia marah-marah gitu aja? Sama halnya dengan Fajar, kekesalan itu berujung pada si mbaknya yang repot-repot bersikap seolah masih peduli, tapi tidak kunjung memberi kejelasan.

Kadang-kadang aku berpikir banyak hal soal karakter orang yang demikian. Mau berkomitmen dengan satu orang, tapi tetap membuka peluang untuk orang lain memasuki hidupnya. Rasanya menjadi egois itu menyenangkan, tapi menyakitkan bagi orang lain. 

Aku sendiri pernah ada di posisi yang nyaris sama. Sudah bersama satu orang, tetapi ada orang lain yang datang dan mencoba masuk di hidupku. Bedanya aku tetap berusaha mempertahankan satu-satunya orang yang aku yakini untuk bisa bersamaku. Meski kenyataannya tetap bubaran juga. Nggak apa-apa, kadang kasmaran berlebihan suka membawa petaka.

"Jar, lo sebenernya kesel nggak sih kalo dia bolak-balik terus ke hidup lo?"

"Ya, kesel lah gue lama-lama. Maksudnya kayak ngapain sih. Kemarin dia udah block gue terus diunblock lagi. Terus gue bikin postingan apa, eh dia marah. Aneh nggak sih. Seakan-akan kayak ngetes gue. Tapi mau sampai kapan ngetes melulu?"

Aku cuma tertawa mendengarnya. It's weird at all. Mengetes katanya? Bertahun-tahun hanya untuk mengetes? Apakah begini cara kerja tarik-ulur ala cewek-cewek? Aku tidak juga mengerti sampai kami berdua hening disibukkan oleh pikiran masing-masing.

"Gue nggak ngerti jalan pikirannya." Akhirnya cuma itu yang aku sampaikan. "Karena kalo emang ngetes harusnya gak segitunya. Kalo suka ya bilang, kalo udah nggak mau sama elo juga yaudah bilang aja. Aneh sih ini mah."

Poin lanjutan yang masih kami bahas adalah soal perubahan di diri masing-masing orang. "Gue nggak yakin, Wi, dan nggak pernah percaya kalau orang bilang akan berubah setelah nikah. Ya sekarang aja begini, gimana nanti?"

Aku setuju. Dari beberapa hal yang pernah aku baca, seseorang akan sulit berubah kecuali ada keinginan di dalam dirinya sendiri untuk berubah. Sangat susah sekali untuk kita bisa mengubah orang lain terlebih secara sikap dan sifat yang sudah mendarah daging di hidup mereka.

Obrolan masih panjang, jalanan masih macet, lambung sudah minta diisi. Ternyata jalur Cibubur macet bukan main. Dari pukul setengah 6 sore, kami baru tiba di rumah nyaris tengah malam. Gila, apa semua orang memakai "privilege" untuk menggunakan kendaraan pribadi, ya?

Senin yang melelahkan, tapi setidaknya 4,5 jam di perjalanan tidak terlalu membosankan karena sepanjang jalan kami mengobrol tentang banyak hal akibat pertemuan yang tertunda. Entah kapan lagi bisa ngobrol banyak seperti itu. Aku cukup senang punya teman yang bisa diajak mengobrol banyak hal tanpa canggung. Teman yang bisa diajak berbagi cerita tanpa takut salah bicara.

Stay safe everyone. Keep social distancing!
Cuma dia yang ngajak foto pas gue lagi sibuk makan. Kampret emang hahaha.


Cileungsi, Maret 2020.
Dini hari, 02:26.

Post a Comment

2 Comments

  1. 4.5 jam

    Bedebab banget

    Gue selama ini di jakarta cuma berasa liburan doang sih. Soalnya nge rantau mulu.
    Ditambah lagi setelah baca tulisan ini, gue setuju juga kalo lebih enak ngobrol secara langsung. Sayangnya, temen-temen gue yg deket pd jauh-jauh semua. Di sini, jdi pribadi baru. Harus selalu make topeng.

    Stay safe 🥂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asli ji, macetnya parah. Biasanya 1,5 jam udah sampai huhu.

      Iya ngobrol langsung sama teman yang nyambung emang enak sih. Kayak banyak hal yang bisa diomongin. Semoga lu nanti ketemu teman2 deket lagi ya ji.

      Stay safe jugaaa!

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?