Dari Lantai 41



Halo, apa kabar?


Agak canggung rasanya menulis kembali di blog ini. Beberapa bulan belakangan saya kembali menjadi si melankolis yang overthinking. Hampir setiap hal saya pikirkan tanpa tau solusinya. Ini memamg parah dan keterlaluan. Bahkan untuk bercerita di blog ini saja saya memikirkannya terlalu dalam.

Seperti, apakah orang akan menghakimi cerita kehidupan saya? Apakah orang nantinya akan mengatakan saya bodoh karena hanya berdiam diri?

Pikiran-pikiran itu yang kemudian membuat saya takut, ciut, dan tak menulis apapun. Seharusnya tidak boleh begitu, kan, ya? Makanya itu, saya mencoba kembali menulis di sini. Sebagai bentuk terapi seperti yang orang-orang bilang.

Proses yang cepat ternyata tidak membuahkan hasil yang baik untuk saya. Semua mimpi-mimpi, cita-cita yang pernah ada di pikiran dan hampir saya kubur pelan-pelan mulai menampakkan diirnya.

Waktu itu saya pikir, mungkin saya akan mencapainya dalam waktu dekat. Melihat prosesnya yang demikian cepat, saya amat sangat bersyukur. Berusaha tanpa ekspektasi apapun.

Belakangan saya tau kalau orang melankolis seperti saya punya tingkat ekspektasi yang sangat tidak wajar alias ketinggian dan selalu lewat batas. Ya, saya menyadari itu menjadi bagian dari diri saya yang sangat tidak menguntungkan.

Dan benar kejadian.

Ekspektasi yang tinggi membawa saya pada keadaan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan sesuatu yang sudah saya mulai. Sulit sekali rasanya untuk bisa berusaha realistis dengan keadaan. Kenapa ya, hal-hal semacam ini terus berulang? Apakah karena saya tidak mampu belajar dari pengalaman?

Saya menyesalinya sekaligus tidak menyesal sama sekali. Setidaknya saya tau, suatu hal dengan proses yang demikian ceoat tidak pernah cocok untuk saya apalagi untuk bertahan lama.

Atau mungkin belum saatnya.

Dari lantai 41 di sebuah gedung Jakarta, rasanya amat bahagia, tapi ternyata terlalu muluk buat saya untuk bisa ada di sana dengan damai. Pola pikir yang demikian sederhana kemudian diubah secara singkat dan saya tidak bisa menerima itu.

Kalau yang baca ini agak bingung, ya jangan coba dimengerti. Hahaha. Saya nggak ingin memberitahu secara detail, tapi mau bercerita.

Sampai suatu hari saya menginap di kosan salah satu mbak senior saya, banyak hal yang saya ceritakan. Terutama soal hal yang satu itu. Dia banyak memberi saya masukan, cerita berbalut pengalaman yang bisa saya ambil pelajarannya, dan tentu saja membantu saya mencari pekerjaan yang cocok.

Kalau dipikir-pikir, ada untungnya saya pernah berada di lantai 41. Secara tidak langsung saya belajar mengenai hal-hal yang tidak pernah (mau) saya sentuh—yang ternyata saya tidak mampu.

Sharing dengan mbak senior pun rasanya melegakan, selain karena ia punya pengalaman yang lebih banyak dibanding saya, ia juga berlaku seperti seorang kakak pada saya. Itulah yang membuat saya nyaman melontarkan banyak keluhan padanya.

Terakhir, saya ingin kembali meramaikan blog ini dengan tulisan-tulisan random. Biar saja nggak ada yang baca, tapi mungkin saya mau coba mencari topik tulisan yang bisa berguna. Nanti. Semoga bukan wacana.

Masih berharap hal-hal baik dan keberuntungan akan menghampiri saya segera.


Cileungsi, Juli 2019.
4:56.

Post a Comment

4 Comments

  1. Kayaknya semua orang punya 'proses' masing-masing, Wi... ketika hidup terasa kacau, mungkin cara terbaik untuk sedikit mengobatinya adalah dengan cara bicara kepada yang bisa mendengarkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Kak. Belakangan saya agak malu kalo mau cerita sama orang. Takut dihakimi :(

      Delete
  2. Semangat nulis lagi kak, hehehe
    Salam kenal...

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?