[Nulis Kamisan] S04E05: RUMAH


PERGI
Ada kenangan yang harusnya tak boleh diingat lagi.
---

Aku pulang dan tak menemukan siapapun di rumah. Kunci pintu kudapat dari tetangga yang selama ini menjaga rumah sejak aku pergi beberapa tahun silam. Pohon mangga di halaman rumah masih terawat dengan baik, mungkin beberapa bulan ke depan aku bisa memanen buahnya atau biar sajalah anak-anak tetanggaku itu yang mengambilnya meski tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Toh, aku tidak lagi terlalu peduli dengan pohon itu meskipun banyak kenangan yang kupunya bersama pohon itu.

Ku tembus waktu, penghalang jarak antara
Aku dan kau serta ruangan bertatap muka
Dimana dimensi raga dan jiwa
Sebarkan aroma positif dari rasa ke rasa★

Ketika usiaku masih lima tahun, Ayah mengajakku menanam sebuah pohon di halaman rumah kami. Hari Minggu ketika ayah libur kerja dan aku libur sekolah, ia membawaku ke pasar untuk membeli bibit pohon mangga. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya menurut saja, mengikutinya sambil bersuka cita karena di pasar aku bisa melihat-lihat mainan kesukaanku. Tidak, aku tidak akan merengek minta dibelikan mainan oleh Ayah, sebab Ayah punya cara lain untukku agar bisa membeli mainan dengan uangku sendiri.

Sepanjang perjalanan pulang dengan membawa beberapa bibit pohon mangga dan dua tanaman hias untuk ibu, aku penasaran mengapa manusia sangat bergantung pada pohon. Ibu guru di sekolahku juga menyuruhku menanam pohon.

"Yah, kenapa kita menanam pohon?" kataku.

Ayahku awalnya diam saja seolah tak mendengar pertanyaanku. Kuulangi pertanyaan itu dengan suara lebih keras, mungkin tadi ia tak mendengar karena suaraku bersaingan dengan suara mesin mobil angkot yang kami tumpangi.

"Karena kita perlu bernapas, Nak." Ia menjawab setelah aku menaikkan volume suaraku. Ternyata benar, ia tidak mendengar suaraku yang pertama.

Kami sampai di rumah dan langsung mempersiapkan alat-alat berkebun, seperti sekop, cangkul, pupuk, dan air. Ayah kelihatan antusias, tidak seperti aku yang hanya turut melihatnya dari teras rumah selagi ia mencangkul. Ketika ia mulai memasukkan bibit pohonnya ke dalam galian yang ia buat, barulah aku berlari ke arahnya.

"Yah, memangnya kita bernapas dengan pohon? Ibu guru bilang di sekolah, kita bernapas dengan oksigen. Bukannya oksigen ada dimana-mana?" Aku memberondong Ayah dengan pertanyaan yang ada di kepalaku. Memang aku belum sempat bertanya pada ibu guru.

Ayah tersenyum dan menjawab. "Faris, manusia memang bernapas dengan oksigen, tapi oksigen dihasilkan dari fotosintesis tanaman atau tumbuhan hijau. Kalau di dunia ini tidak ada tumbuhan, maka oksigen pun akan sangat sedikit sekali."

Fotosintesis. Itu kata baru buatku. Aku menanyakannya pada Ayah, namun ia menyuruhku untuk mencari tahu sendiri.

Lalu melepas cinta dengan sentuhan akhir
Ku pulang kembali walau detik terakhir
Kutulis perih dan luka layak Neruda
Kau rekam suka cita di dalam dada★

Kini pohon mangga di halaman rumah tumbuh dengan subur. Aku sudah tahu apa itu fotosintesis dari buku-buku yang aku pinjam di perpustakaan ketika masuk sekolah dasar. Hawa sejuk dari pohon mangga itu berhasil menghidupi banyak manusia yang lahir di desa ini. Pasokan oksigen yang dihasilkan dari fotosintesis setiap harinya turut menyumbang kehidupan untuk umat manusia. Dan itu semua berkat Ayah.
---

Orang-orang punya kenangan bermacam-macam tentang rumah. Bagiku, ada banyak hal yang ingin aku lupakan, tapi lebih sering berlalu lalang di pikiran. Kenangan-kenangan yang tidak menyenangkan serta memori-memori yang ingin aku kubur bersamaan dengan perginya seseorang.

Rumah... tempat ini bisa saja aku jual, tapi tidak dengan kenangan di dalamnya.

Kursi rotan di ruang tamu masih dalam keadaan baik, meski sedikit berdebu. Aku menghela napas panjang. Menyadari kekosongan yang muncul dan keheningan yang mengirim balik pikiranku ke masa lalu, ketika masa putih biru menjadi satu-satunya momen menyenangkan.

Masih jadi diri sendiri yang berjuang
Jalan panjang berliku aku harus tetap tenang
Ukur kemampuan jalani proses yang panjang
Saat menuju rumah ku kan tersenyum lapang★

Ibu seringkali menemaniku belajar di ruang tamu ketika Ayah pergi bekerja. Jangan pernah membayangkan kalau Ayah adalah seorang pegawai kantoran. Ayahku hanya seorang guru SD sekaligus tukang ojek yang seringkali mangkal di stasiun. Oleh sebab itu, ketika selesai mengajar di sekolah, Ayah langsung pindah "kantor" ke stasiun. Menunggu para penumpang yang datang dari luar kota. Sebagai gantinya, ibu lah yang menemaniku belajar.

Aku terbiasa ditemani ibu, bahkan ketika Ayah pulang larut malam demi mendapatkan uang lebih untuk ibu belanja esok harinya. Ya, ibuku memang hanya seorang ibu rumah tangga. Tidak bekerja karena hanya tamatan SMP. Aku hanya tahu kalau ibu punya cita-cita agar aku bisa bersekolah tinggi, seperti ayah. Berulang kali ia mengatakan hal itu padaku. Katanya, aku harus bisa jadi sarjana agar kelak menjadi orang yang lebih sejahtera.

Dengan mata berbinar aku mengiyakan keinginan ibu. Belajar dengan tekun, sampai menjadi juara kelas. Hal yang aku sesali di kemudian hari saat melihat lagi figura fotoku bersama Ayah dan Ibu. Aku menjuarai lomba tingkat provinsi, tetapi tidak memiliki esensi apa-apa untukku sendiri. Jelas, hal itu semata-mata kulakukan hanya untuk ibu, bukan untuk diriku.
---

Aku membuka pintu kamar yang dulu sempat menjadi tempatku menggantung mimpi. Suara-suara di otakku yang rumit, tak pernah terealisasikan, bahkan sampai hari ini saat aku kembali ke rumah. Aku pernah meringkuk ketakutan dan mengunci rapat pintu kamar agar siapapun tak bisa masuk, termasuk ibu dan ayah. Aku pernah berencana pergi dari rumah ini dan mencari "rumah" lain untukku tinggal. Asal bukan di sini.

Menjemput impian tinggi di dalam kamar
Sketsa mimpi masa lalu yang kian berakar
I was stuck and i’ll keep on dreaming
The place i started, i’m going home★

Buku-buku sekolah masih tertata rapi di meja. Hampir semua kertasnya sudah menguning dan beberapa malah sudah berlubang di makan rayap. Entahlah, semuanya terasa tidak asing bagiku, namun tak punya arti apa-apa lagi.

Apa yang pernah kau tanamkan di pikiranmu, bisa jadi esok ia akan menjelma kenyataan.

Aku hanya menutupi wajahku dengan kedua tangan dan mulai menangisi keadaan. Kejadian-kejadian yang seharusnya tak terjadi. Aku... entah siapa yang ada di dalam diriku sampai hal itu bisa terjadi.
---

Waktu itu usiaku masih 14 tahun. Aku nyaris terlelap kalau tidak mendengar suara bising dari arah dapur. Aku tahu ayah dan ibuku sedang bertengkar dan itu sudah biasa terjadi. Aku pikir keributan mereka akan reda seperti biasanya. Seperti yang sudah-sudah, esok pagi ketika sarapan, mereka sudah akan baik-baik saja. Aku memilih untuk melanjutkan tidur atau pura-pura tidur.

Suara-suara dari dapur semakin mengangguku. Sampai puncaknya ada suara bantingan kaca—entah gelas atau piring. Sebelumnya ayah tidak pernah membanting benda-benda saat sedang bertengkar dengan ibu. Tapi hari itu, ia melakukannya. Aku tak berani keluar kamar, hanya mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dan... aku melihat Ayah menggendong ibu keluar rumah.

Tubuhku merinding. Ketakutan dan tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Aku hanya kembali meringkuk di dalam selimut. Pura-pura tidur seolah-olah tidak tahu apapun malam itu.

Hingga esok paginya aku menemukan tubuh ibu tergantung di pohon mangga di halaman rumah. Warga berkerumun dan berbisik-bisik melihatku hanya mematung tanpa ekspresi apapun. Ayah menangisi jasad ibu yang saat itu sudah diturunkan dari pohon. Aku tidak yakin ayah menangis sungguhan. Aku tahu itu perbuatan Ayah.
---

Ku harap cinta kan mengawalku pulang
Pada rangkulan rembulan dan bintang
Dimanakah akhir dari perjalanan panjang
Kapankah waktu “selamat datang”★

Aku pulang dan tidak menemukan siapapun di rumah ini. Setelah kejadian itu, aku selalu mimpi buruk. Ayah masih terus berpura-pura bahwa kematian ibu adalah percobaan bunuh diri. Aku terus menggenggam fakta sebenarnya tanpa bisa bicara pada siapapun. Lidahku tiba-tiba saja kelu.

Pepatah soal "rumahku adalah surgaku" sama sekali tidak berlaku untukku. Bagiku, rumah hanyalah tempat aku tinggal, bukan tempat aku hidup. Sampai akhirnya aku tidak tahan lagi untuk ada di rumah ini, tapi tidak mungkin meninggalkan rumah dengan sengaja. Oleh karena itu aku segera menyudahinya.

Pagi hari dimana usiaku 18 tahun, aku menemukan warga kembali berkerumun di depan pohon mangga itu. Jasad ayah tergantung di sana. Sesuai keinginan ibu, aku sudah mengikuti jejak ayah, meski hanya sampai di sini. Baiknya, aku terbebas dari rumah sialan ini.[]

★Lagu berjudul Home oleh Bondan Prakoso & Fade2Black

Kamar,
28 November 2018. 01:55

Post a Comment

0 Comments