[Nulis Kamisan] S04E03: RAWON


PEKAT
Ada sesuatu yang bisa kau nikmati, meski sesaat.
---


Lima belas menit berlalu sejak hujan turun dan ia belum juga datang. Ia sudah mengirimiku pesan sebelumnya kalau lokasi rumahnya hujan deras dan ia memilih berteduh dahulu. Aku tidak masalah dengan itu. Sungguh. Sebab aku lebih mengkhawatirkan kesehatannya dibanding kedatangannya yang terlambat. Menunggu dengan segelas teh manis panas menjadi pilihan terbaik.

Kuhampiri engkau meski kau jauh
Sendiri ku tempuh
Hanya tuk bertemu denganmu★

Orang-orang yang baru saja datang di kedai ini langsung memilih tempat duduk masing-masing. Hujan di luar tentu membuat tubuh mereka menjadi dingin dan membutuhkan asupan makanan yang bisa menghangatkan. Rawon salah satunya. Makanan dengan kuah hitam pekat yang satu itu memang menjadi pilihan menarik di kala hujan. Namun, bukan berarti aku duduk di sini karena sedang hujan saja. Ini tempat makan favoritnya.

Aku sedang mengaduk-aduk gelas teh-ku yang tersisa setengahnya. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Ramai... dan hangat. Suara hujan di luar sudah tidak begitu terdengar. Mungkin hujan sudah nyaris reda ketika orang-orang di dalam kedai Rawon—yang katanya terkenal di Jakarta ini—mulai beranjak meninggalkan kursi mereka.

"Sori, sori, gue telat. Hujannya deras banget," serunya sambil menghambur ke kursi di depan mejaku.

Akhirnya seseorang yang kutunggu datang juga. Sweater abu-abunya penuh dengan bintik-bintik sisa gerimis di luar. Tidak banyak, tapi cukup membuat warnanya berubah menjadi lebih gelap dari warna aslinya.

"Nggak apa-apa. Santai aja. Daripada lo ujan-ujanan." balasku sambil memberikan senyum sopan seperti biasanya.

"Lo udah pesen?"

Aku menggeleng. "Belum. Nungguin lo."

"Yaudah, gue pesen dulu ya. Minum mau tambah lagi nggak?" 

"Hm, boleh deh. Air putih aja."

"Oke." Ia beranjak mendekati ibu penjual yang sejak tadi sibuk melayani pembeli dan menghidangkan bermangkuk-mangkuk rawon kepada pelanggan. Ada hangat yang menjalar di dalam dada ketika melihatnya akrab dengan ibu penjual rawon itu. Seolah-olah ia memang punya ikatan yang kuat dengan tempat ini. Tenpat favoritnya. Ya, ia pernah bilang begitu ketika aku bertanya tentang rekomendasi tempat makan di Jakarta.

Ia kembali ke meja kami dengan membawa dua gelas minuman: teh panas miliknya dan air putih milikku. "Lo udah lama nunggunya ya?" katanya sembari menyerahkan gelas minumanku.

"Hampir setengah jam kayaknya." jawabku jujur. "Btw, lo akrab banget sama si ibu, ya?" tanyaku seraya menunjuk si ibu dengan daguku.

Ia tertawa. "Kan gue pernah bilang ke lo, kan? Ini tempat makan favorit gue dari jaman kuliah. Rawon terenak yang pernah gue coba. Terus harganya nggak mahal juga. Makanya gue balik lagi ke sini terus."

"Yakin cuma itu? Bukan karena lo ngerayu ibunya biar bisa lo utangin, kan?"

"Kok lo tau? Hahaha." Ia tertawa lagi.

Dua mangkuk rawon dengan asap mengepul datang ke meja kami. Wajah lelaki di hadapanku langsung berbinar melihat makanan favoritnya terhidang. Ini kedua kalinya aku makan rawon. Dan kupikir sangat mengasyikkan bisa makan bersamanya, terlebih ini makanan kesukaannya.
***

Kuhampiri engkau meski kau jauh
Namun hatimu tlah runtuh
Dan buatku terjatuh★

Aku mengenalnya sejak SMA. Namanya Arka. Aku dan dia tidak begitu akrab pada awalnya. Hanya saja ketika kami bertemu di kelas bimbel yang sama, kami mulai kenal satu sama lain. Mulai tahu kelas masing-masing di sekolah. Mulai tahu kebiasaan masing-masing. Mulai tahu nomor ponsel satu sama lain. Hingga akhirnya saling bercerita tentang banyak hal seperti layaknya teman pada umumnya.

Ia pernah bercerita tentang seorang gadis—aku menyebutnya Gadis Oktober—yang sudah ia sukai sejak duduk di bangku putih biru. Saat itu ia tidak berani mengungkapkan perasaannya pada si Gadis Oktober karena gadis itu punya prestasi yang luar biasa di sekolah, sedangkan ia merasa jauh di bawahnya.

"Waktu itu gue nggak tau gimana caranya bilang ke dia. Makanya sampai sekarang cuma jadi kayak lagu—kasih tak sampai..." kenangnya. "Tapi gue yakin suatu hari nanti gue bisa sama dia."

"Terus lo sekarang gimana sama dia?" tanyaku pada suatu hari.

"Dia udah punya pacar."

"Sorry..."

"Santai. Nanti juga mereka putus. Hahaha. Lagian gue masih suka ke rumahnya kok," ujarnya. Seolah-olah fakta bahwa si Gadis Oktober memiliki kekasih sama sekali tak menganggunya.

Aku tidak pernah berharap untuk bisa jadi seseorang yang ia sukai seperti ia menyukai si Gadis Oktober. Tetapi mendengarkan kisah-kisah tentang si Gadis Oktober dari mulutnya membuat ketegaranku makin tipis. Memuakkan sekali rasanya harus berpura-pura tersenyum dan mendukungnya. Menyebalkan sekali rasanya ketika harus memberinya solusi ketika ia tak tahu harus melakukan apa.

Kau tak pernah tahu
Betapa hati yakin untukmu
Kau tak pernah tahu
Betapa aku merindukanmu★

Menyakitkan sekali rasanya ketika harus melihat ia tertunduk lesu karena si Gadis Oktober lebih memilih kekasihnya daripada pergi dengan Arka.

Sungguh sangat menyakitkan sekali berada di posisi seperti ini.
***

"Rawon kalo udah dingin nggak enak, lho." Ia telak membuyarkan lamunanku tentang masa lalu.

"Sorry."

"Mikirin apa sih?"

"Nggak kok. Cuma lagi kepikiran, lo pasti pernah ke sini sama dia, ya?" tanyaku hati-hati. Raut wajahnya berubah seketika saat aku menyebut "dia"—si Gadis Oktober.

"Hm. Nggak usah dibahas, ya? Gue ke sini mau makan sama lo dan bukan mau diingetin soal dia. Please..." Ia merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, memohon agar aku tidak melanjutkan pembahasan soal Gadis Oktober.

"Oke. Sorry lagi ya."

Kami melanjutkan makan dalam hening, meski sekeliling kami ramai dengan celoteh orang-orang. Hujan sudah reda sepenuhnya. Kini aku hanya menunduk tanpa berani menatap matanya.

"Gue tau lo pasti penasaran banget. Iya, gue pernah ke sini sama dia. Tapi cukup itu aja yang lo tau. Gue nggak mau lagi bikin lo sakit setiap kali kita bahas dia." Aku mengalihkan pandanganku dari mangkuk kosong ke wajahnya. Tepat ke matanya. Ia bicara seolah-olah bisa membaca pikiranku.

Ia menghela napas lebih panjang kali ini. "Rin," panggilnya. "Gue tau gue bodoh banget karena nggak sadar ada orang sebaik elo di samping gue dari dulu. Tapi dulu gue belum tau kalo lo..." Ia berhenti dan menatapku. "Lo baik banget, Rin."

Ia meremas tanganku perlahan. Sedetik, aku tidak percaya kalau apa yang kualami sore itu adalah kenyataan. Membuat laki-laki di hadapanku bisa "melihatku" adalah keajaiban. Ia bilang mau mencobanya. Menjalani hubungan baru tanpa bayang-bayang Gadis Oktober di kepalanya. Aku tahu itu mustahil, tapi aku tetap memberikan kesempatan: untukku dan untuknya.

Mungkin ku tak bisa buatmu luluh
Namun kau harus tahu bahwa diriku sungguh-sungguh★
***

Sejak hari itu, ia tak pernah lagi membahas tentang si Gadis Oktober dan aku pun tak pernah bertanya apapun tentang dia. Hubungan kami berjalan baik-baik saja. Kami masih suka mampir ke kedai Rawon favoritnya untuk kemudian berlama-lama di sana, bercerita banyak hal sampai kadang membantu ibu pemilik kedai untuk beres-beres. Rasanya menyenangkan sekali bisa melihatnya tertawa dan tersenyum lagi.

Sabtu sore ia berjanji untuk menjemputku di rumah kost. Ia mengajakku untuk pergi ke suatu taman. Tidak biasanya ia mengajakku pergi ke taman. Alih-alih ke taman, biasanya kami lebih sering menghabiskan waktu di bioskop, kafe, atau kedai makan. Ketika kutanya alasannya, dia cuma bilang sedang cari suasana baru. Apa semembosankan itu pekerjaannya di kantor sampai ingin duduk-duduk di taman?

"Seger banget ya ternyata main ke taman gini," ujarnya.

"Hahaha, lebay ah. Makanya sesekali ke luar biar nggak di ruangan ber-AC terus. Kamu sih doyannya depan komputer mulu. Kalo nggak kerja ya main game. Kayak nggak ada hiburan lain aja." sambarku.

"Ya, demi dapet duit mah semua dilakuin."

Taman sore itu tidak begitu ramai. Namun banyak keluarga yang memanfaatkan Sabtu sore untuk berkumpul bersama. Aku tidak keberatan menghabiskan waktu bersamanya, meski sore itu aku melihat mata itu lagi. Tatapan yang sudah lama tidak pernah aku lihat lagi.

"Kenapa?" tanyanya ketika aku menatapnya lama. Aku menggeleng. Ada sesuatu yang salah dengannya, tapi aku berusaha menghiraukannya selama ia masih ada di sini, bersamaku.

Hujan datang tiba-tiba. Deras. Aku menarik tangannya ke arah tengah taman. Mengajaknya bermain hujan ketika tadi ia sedang menelepon seseorang—entah siapa, mungkin gadis itu.

Aku menikmatinya. Sangat. Tetapi ia tidak. Beberapa kali ia berteriak melawan suara hujan untuk mengajakku pulang. Aku bilang tidak mau. Ia marah dan meninggalkanku begitu saja. Aku mematung di tengah hujan. Melihat punggungnya yang menghilang di antara air mata langit.

Ada sesuatu di matanya yang sangat aku pahami. Seseorang dari masa lalu yang menjadi poros hidupnya sampai detik ini.
***

Intuisiku slalu mengarah kepadamu
Tapi tak jua kau hiraukan aku★

Aku tahu, sampai detik ini aku tidak akan pernah bisa menghilangkan bayang-bayang gadis itu dari pikirannya. Tidak. Akan. Pernah. Tapi kenapa semenyakitkan ini melihatnya pergi tergesa-gesa ketika mendapat telepon dari gadis itu? Kenapa ia tidak bilang padaku? Kenapa ia harus pergi? Dan kenapa aku harus menangis?

Ya, kenapa aku harus menangis padahal aku tahu ini akan terjadi?

Ponselku berdering lagi. Itu telepon darinya yang kesepuluh dan aku masih enggan berbicara padanya. Tapi rasanya aku egois sekali. Mungkin jika ia menelepon lagi aku akan mengangkatnya.

Ia menelepon. Lagi.

"Halo."
"Karin! Aku minta maaf."
"Iya, nggak apa, Ka."
"Kamu dimana sekarang? Udah makan?"
"Di kosan, Ka. Belum. Kenapa?"
"Aku kesana ya. Sekarang."
"Mau ngap...." sambungan terputus.

Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menggenggam erat liontin darinya. Ini tidak akan mudah dan tidak akan pernah mudah.
***

Ia datang dengan sebungkus rawon favoritnya—yang kini jadi favoritku juga. Wajahnya lelah dan menyimpan gelisah yang teramat dalam. Mata itu terlihat lagi. Tatapan yang kukenal sejak bertahun-tahun lalu. Dia kembali ke kehidupannya. Jelas sudah semuanya pertanyaanku.

"Rin, aku bener-bener minta maaf. Tadi itu dia telepon. Aku panik. Maafin aku." Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Parahnya, perasaan nyeri di dadaku makin menjadi melihat kondisinya saat ini.

"Ka," Aku menyentuh bahunya, berusaha mengalirkan sisa kekuatan yang aku punya. "Nggak apa-apa kalau kamu masih mau ketemu dia. Kita emang nggak akan pernah bisa lupa sama masa lalu kita. Apalagi kalo dipaksa. Susah."

"Tapi, Rin. Aku ingkar janji sama kamu." Matanya memerah. Lelah yang kentara di wajahnya semakin membuatku resah.

"Kamu nggak janji apa-apa sama aku, Ka. Kamu cuma bilang mau coba jalanin hubungan sama aku dan kamu udah ngelakuin ini dengan baik. Itu udah cukup." Aku menghela napas panjang. "Jadi, dia kenapa?"

Gadis itu memang sudah mengambil porsinya terlalu banyak. Aku tidak pernah tahu kalau Arka selalu berusaha ada untuknya, bahkan ketika ia sudah bersamaku. Aku menangis saat itu juga, tapi lantas menjadi ingin marah dalam satu waktu yang sama. Gadis itu... entahlah. Aku merasa tidak lagi ingin membicarakannya. Sebab, mendengar namanya membuatku seperti membenci diri sendiri. Ya, Gadis Oktober itu punya nama panggilan yang sama denganku. Dan aku membenci fakta itu.

"Ka," Ia kini sudah terlihat agak tenang, meski wajahnya terlihat semakin layu. "Ini aku balikin aja, ya?" Kuserahkan kotak liontin yang pernah ia berikan padaku waktu itu, dengan berat hati.

"Kenapa? Kamu mau kita udahan?" Wajahnya tampak terkejut, sekali lagi. "Nggak. Aku nggak mau, Rin. Please."

"Ka, cuma ini yang bisa aku lakuin supaya kamu nggak ada hutang apa-apa sama aku. Please, Ka. Aku juga nggak bisa lihat kamu kayak gini."

Ia meremas jemariku dan berjanji untuk berusaha lebih keras lagi mengabaikan segala hal tentang si Gadis Oktober. Aku yang bodoh ini berusaha untuk percaya lagi. Benar-benar menuruti pikiranku dan perasaanku. Kadang-kadang cukup sulit untuk bisa mempercayai apa yang tidak kita lihat, tapi kadang-kadang semua itu memang tidak perlu dilihat. Sebab, kita seringkali memilih untuk tidak tahu dan menutup mata dari hal-hal yang menyakitkan, kan?
***

Sore sepulang kerja, ia menjemputku. Seperti biasa, ia akan mengajakku makan di kedai rawon favoritnya. Semuanya berjalan baik sampai ponselnya berdering dan seseorang disana mengatakan sesuatu yang membuat raut wajahnya berubah pucat pasi. Ia menatapku dengan wajah meminta belas kasihan dan menyesal. Nyeri di dadaku muncul lagi ketika melihat tatap matanya yang sangat aku pahami. Gadis itu. Pasti.

Ia berlari ke luar kedai setelah sebelumnya menyentuh tanganku dan bergumam pelan "Sorry." Bahkan sebelum rawon pesanannya datang.

Aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Sudah terlalu sering ia seperti ini. Mungkin sudah saatnya aku benar-benar membuka mata kalau ia tidak akan pernah ada untukku. Aku harus tahu kalau hubunganku dengannya tidak akan kemana-mana. Jangankan terang benderang, kami hanya akan tenggelam pada pusaran masing-masing. Tenggelam di kubangan yang gelap tanpa arah seperti kuah rawon yang warnanya hitam pekat, meski aku sempat menikmatinya, walau sesaat.[]

★ Lagu berjudul Intuisi dari Yura Yunita
---

Kamar
24 Oktober 2018

Post a Comment

2 Comments

  1. Bagussssss~~ aku beneran baca sampe akhir, biasanya kalau panjang suka males hehehe.

    Ngasih link ini karena bukan tulisan iklan ya? :P banyakin tulisan gini ya nanti ku mampirrr.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe iyaaa. Menurut aku dari beberapa nulis kamisan cuma ini yang aku berani rekomendasi ke orang untuk baca wkwk.

      Siaaap. Aku kan menulis cerpen lagi. Makasih kak fasyaaa sudah mampir :))

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?