Salah Arah


Mobil melaju lurus dan mulus di Jalan Kedoya.

"Pak, puter balik, Pak. Ini salah nih mapsnya, masa disuruh balik lagi ke jalan yamg tadi," katamu.

"Mbak, kamu tuh gimana sih? Yang bener dong kalo ngarahin!" Bapak berseru kesal padamu yang salah memberikan rute jalan.

Enggan disalahkan, kamu menyahut dengan ketus, berusaha menahan amarah. "Pak, nih ya, tadi di maps suruh belok ke jalan X, tapi pas kita lewat tuh nggak ada jalan apa-apa, Pak."

Bapak terdiam, kamu pun juga terdiam. Sadar akan intonasi suaramu yang agak tinggi membuatmu merasa bersalah. Kamu lalu memilih untuk meneruskan tugasmu membaca maps dan memandu jalan menuju lokasi yang akan kalian datangi.
---

Azan maghrib sudah hampir berkumandang ketika mobil kalian sampai ke lokasi, di daerah Kedoya. Menjemput seseorang yang sungguh mendengar ceritanya saja bikin enggan dan malas. Sayangnya, Bapak punya tanggung jawab untuk membantu anak ini. Seorang anak perempuan yang dengan egoisnya tidak mau mengerti keadaan. Merengek-rengek merasa paling menderita dan tidak bisa berpikir jernih. Kamu sebal, amat sebal dengan keadaan semacam itu. Kendati kamu pernah ada di posisi yang membuatmu enggan, setidaknya kamu masih mau berusaha menyelesaikan hal itu sendiri. Kalau bisa, tanpa harus merepotkan orang lain.

Bapak kemudian menelepon anak itu dan bertanya dimana posisinya saat ini. Sedangkan kalian sudah berada dekat dengan pondok pesantren tempatnya menginap. Ya, kamu sendiri tak habis pikir, kenapa anak itu bisa "nyemplung" di pondok peaantren jika melihat sikapnya selama ini tidak mencerminkan sama sekali ciri khas anak pesantren. Ego semata, pikirmu.

Selesai menelepon, anak itu ternyata masih berada di Monas. Kalian harus menunggunya lagi sampai ia tiba di pondok peaantren. Sembari menunggu,, Bapak bercerita kalau anak ini tidak ingin lagi berada di pesantren. Alasan utamanya membuatmu ingin tertawa sekaligus merenovasi otaknya yang sepertinya butuh onderdil baru; malas dengan hapalan ayat yang banyak di pesantren. Hahaha. Siapapun boleh menertawakannya bersamamu. Lalu kamu bertanya pada Bapak, kenapa anak itu memilih pesantren?

"Waktu itu kan disuruh kerja, tapi nggak mau. Maunya sekolah katanya. Giliran udah disekolahin sampai di sini yang bahkan belum mulai resmi masuk, eh nangis-nangis minta pulang
 Ngagk betah katanya," jelas Bapak yang juga sama tidak mengertinya denganmu. Apa sih yang ada di pikiran anak itu sampai tidak bisa bertanggung jawab atas pilihannya?

Kamu kemudian berpikir, bukankah ketika seseorang sudah memilih sesuatu ia harus menjalaninya? Menerima resikonya dan bertanggung jawab atas apapun yang terjadi? Terlebih anak itu sudah nyaris kepala dua, bukan lagi bocah SD yang ketika tidak ingin sesuatu, maka orangtua campur tangan dan menurut segala keinginannya. Kamu hanya bisa geleng-geleng kepala, menyadari bahwa kamu pernah ada di posisi yang sama, merasa salah arah, namun mencoba untuk tidak melibatkan siapapun, termasuk orangtua. Orangtua hanya dilibatkan di tahap konsultasi, bukan pengambil keputusan.

Di titik ini pula kamu belajar, orang-orang seperti anak itu tidak seharusnya dimanja. Mereka harus bisa survive, bisa memanggul kewajiban, menerima konsekuensi atas jalan yang dipilihnya. Meski kamu sendiri masih mempertanyakan, apakah keluar dari pesantren yang bahkan belum mulai ini akan sesulit itu? Setidaknya, kalau dipikir-pikir anak itu bisa terlebih dahulu meminta izin pada pemilik pesantren dibanding harus menangis dan merengek minta pulang tanpa punya solusi.  Egois benar!

Kamu lantas menerawang jauh, merenungi banyak hal ketika Bapak menemani anak itu pamit untuk tidak melanjutkan sekolah di pesantren. Diam-diam kamu tetap memaki dalam hati, betapa bodohnya ia tidak mencari tahu terlebih dahulu atas keputusan yang diambilnya.  Toh ia masuk pesantren atas keinginannya sendiri, bukan atas paksaan orang lain, begitu yang Napak dengar dari ibunya si anak ini. Dan kamu makin-makin ingin berkata kasar. Bagaimana bisa terjadi seperti ini? Sampai akhirnya kamu berkelakar dengam adikmu, "Kalau nggak mau hapalan qur'an mah nggak usah pesantren! Mending masuk LP3i aja tuh."

Kesal, kamu membanting pintu. Memilih makan Ayam Gepuk Pak Gembus di seberang jalan.
---

Bapak masih belum kembali ketika kamu selesai makan. Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam saat itu. Adikmu berinisiatif mengirim pesan pada Bapak dan bertanya kapan ia akan selesai. Bapak membalas dengan jawaban yang cukup mengecewakan kalian; pemilik pesantrem tidak bisa ditemui di atas jam 8 malam dan masih berusaha mencari solusi untuk anak itu. Kamu pun mulai gusar, mau sampai kapan kalian menunggu tanpa kepastian? Kampret!

Belum reda rasa gusarmu, Bapak kembali ke mobil tanpa anak itu. Ah, mungkin dia akhirnya mau menginap lagi di sana. Ternyata dugaanmu salah. Bapak kemudian ditelpon oleh ibu anak itu. Kamu mendengarkan baik-baik percakapan, menyerap banyak informasi untuk tidak lantas suudzon melulu. Nyatanya, kamu malah dibuat makin gusar dengan sifat kekanakan anak itu. Bapak berkali-kali menasehatinya, menyuruhnya bertahan satu minggu lagi sambil pelan-pelan bicara pada pemilik pesantren untuk izin tidak melanjutkan pendidikan di sana. Lalu, apa yang didapat? Lagi-lagi Bapak bilang anak itu malah makin menangis tak ingin ditinggal dan terus-menerus merengek minta pulang dan bilang tidak kuat. Dobel kampret! Kamu sungguh emosi, tapi diam saja.

Andai kamu bertemu orang seperti itu, mungkin kamu tidak akan sebaik Bapak. Mungkin kamu akan memilih alternatif lain untuk anak itu, dirukyah misalnya. Manjanya keterlaluan. Semanja-manjanya kamu di rumah pun, ketika di luar rumah kamu masih bisa bertanggung jawab atas dirimu, atas hidupmu. Pantang amat sangat bergantung pada orang lain. Gila juga, pikirmu saat ifu. Kamu yang sedang emosi malah merasa kasihan pada Bapak yang bersikap terlalu baik dan digantungi banyak "beban".

Namun, atas adanya kejadian ini, kamu jadi belajar. Kamu tidak bisa egois dalam menentukan sesuatu. Kamu harus tahu resiko apa yang akan dihadapi, seberapa banyak kamu harus mengerahkan kemampuanmu. Hidup bukan cuma berpangku tangan. Hidup itu kejam kalau kamu nggak bisa survive. Ketika kamu salah arah, ya berbaliklah dan temukan arah yang benar. Walaupun untuk berbalik itu sulit, kamu harus bisa cari solusi, bukan malah meminta belas kasih.

Dan ketika anak itu sampai di rumahmu, pertanyaan selanjutnya adalah: kapan ia pulang ke rumahnya? Suruh kerja nggak mau, suruh sekolah pun enggan. Dikira duit datang dari hujan?

Kamu cuma bisa menatap sinis tanpa belas kasihan. Kalau suatu saat nanti anakmu ada di posisi semacam itu, kamu pasti akan suruh ia  urus sendiri sampai selesai. Bukan egois, kamu hanya ingin mengajarkan bagaimana caranya bertanggung jawab atas pilihan hidup.

Kamar, Juli 2018.
00:04

Post a Comment

0 Comments