Kembali Lagi ke Jogja

Photo by www.instagram.com/erpinalghifari

Kalau ada orang yang bilang Jogja itu istimewa, maka saya akan sangat setuju dengannya. Bagaimana tidak, sejak pertama kali mengunjungi kota ini, saya sudah sangat jatuh cinta.

Semuanya berawal dari tahun 2010.

Saat itu saya dan sepupu berangkat ke Jogja dari Gombong. Hari itu, yang saya tau soal Jogja hanyalah sebuah kota yang pernah jadi ibu kota Indonesia. Kami berangkat menggunakan kereta ekonomi (entah apa namanya, mungkin Prameks, karena tiketnya murah sekali hanya 6.500 perorang). Tidak mendapat tempat duduk, kami harus berdiri berdesakan, berhimpitan dengan pedagang yang lalu lalang di dalam kereta. Meski riuh dan sesak, saya masih bisa menikmati perjalanan yang berdurasi 2 jam.

Tiba di Stasiun Lempuyangan, kami berjalan kaki menuju halte transjogja. Di sini, saya tidak tahu kemana kami akan pergi karena tujuan utama kami hanya ke Malioboro dan sekitarnya. Sepupu saya yang saat itu sudah sering melanglang buana memandu kami di kota Jogja. Di saat itu pula saya menetapkan keinginan kalau suatu saat saya ingin tinggal di kota ini.
---

Beberapa tahun berlalu sampai akhirnya saya bisa kembali ke kota itu sendirian. Saya masih merasakan debar yang sama. Rasa cinta serta kenyamanan yang sama. Jogja bagi saya punya banyak daya magis yang membuat saya ingin tinggal dan menua di sana. Terlepas dari kemacetannya di akhir pekan.

31 Mei 2018
Saya kembali.

Berawal dari sebuah ajakan dari Eci untuk pergi ke ArtJog 2018, saya langsung mengiyakan. Pasalnya saya sedang berada di titik paling jenuh di hidup saya—fase rutin ketika saya rindu piknik atau minimal pergi dari rutinitas harian. Setelah berbagai drama perkuliahan di Purwokerto, akhirnya Eci memajukan jadwal keberangkatan kami ke Jogja. Mulanya, saya sudah berjanji untuk mengajak salah satu teman Klub Buku dari Tegal untuk berangkat bersama, eh ndilalah Kak Lana yang kami tunggu-tunggu malah ketinggalan kereta. Jadilah kami hanya berdua berangkat dari Purwokerto.

Jujur saja, kepergian saya ke Jogja kali itu sungguh lebih baik dalam persiapan penginapan dan waktu. Meski saya tetap belum tau akan kemana lagi setelah mengunjungi ArtJog. Sebab, biasanya ketika saya singgah di Jogja, saya akan numpang tidur di rumah ataupun kost teman demi menghemat budget. Beruntungnya, saya punya beberaa teman yang mau menampung saya selama di Jogja, sebut saja mereka Kak Risti, Kak Yani, dan Kak Momo. Namun, setelah Kak Risti dan Kak Yani menikah, saya sungkan sekali jika harus merepotkan mereka. Jadilah hari itu saya dan Eci memilih penginapan yang murah dengan biaya sehemat mungkin.

Sebelum pergi ke Jogja, yang pertama saya lakukan adalah mengabari semua orang yang saya kenal di Jogja. Kenapa? Karena saya memang ingin ketemu mereka. Nggak tau ya, saya kalau main ke suatu kota pasti selalu begitu. Orang-orang yang saya kenal selalu saya ajak ketemu. Niat lainnya ya supaya bisa nyambungin lagi tali silaturahmi. Dan di Jogja tentu ada banyak teman yang saya hubungi, sekadar ngasih kabar kalau saya mau ke Jogja dan kalau bisa ya sekalian ketemu. Sayangnya hari itu, jadwal saya banyak nggak cocoknya sama teman-teman di Jogja. Makanya saya nggak bisa ketemu mereka apalagi kumpul-kumpul.

Malam ketika Kak Lana sampai di Jogja (akhirnya dia naik travel), kami mampir ke warung bakmi-nya Pakde Eko. Nah, Pakde ini salah satu orang yang pernah melihat kegabutan dan kerandoman saya waktu pertama kali ketemu. Ya gimana enggak, dia yang nemenin saya duduk diam mantengin orang-orang lalu lalang di depan Benteng Verdeburg selama kurang lebih 2 jam. Fyi, itu karena saya lagi takjub bisa balik lagi ke Jogja setelah kunjungan pertama 4 tahun sebelumnya.

Mengobrol banyak hal, main sana sini, Jogja tetap punya pesona tersendiri sih. Kalau ditawarin tinggal di Jogja sih saya akan langsung terima tanpa mikir lagi deh. Jadi kembalinya saya ke Jogja bahkan punya satu misi, yaitu saya akan kembali dan berusaha menetap di sana—entah dengan cara apa dan dengan siapa.

Sudah di rumah dengan rasa rindu
Pukul 1 dini hari,, 7 Juni 2018.

Post a Comment

2 Comments

  1. Jogja memang indah.. Saya pun sudah menganggapnya seperti kampung halaman kedua karena selama 8 tahun merantau di sana..

    Tapi sayang, akhir-akhir ini Jogja sedang kurang nyaman karena banyak tindakan kriminal dan intoleransi yang terjadi..

    Semoga Jogja lekas berhati nyaman

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kak, bahkan aku yang belum tinggal disana aja malah pengen tinggal disana hehe.

      Semoga Jogja tetap aman dan damai :)

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?