Cerita dari Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta

Sumber: www.instagram.com/fathurohman7

Ini bukan ulasan mengenai Masjid Gedhe Kauman, tetapi sebuah pengalaman lain yang bikin aku ketagihan wisata religi.

Kepergianku ke Jogja sudah tentu punya banyak tujuan. Selain untuk mewaraskan pikiran, aku selalu punya agenda "menemui orang-orang yang aku kenal" di sana. Hari dimana ketika aku tiba di Purwokerto, salah satu kakak yang kukenal di Klub Buku mengirim pesan WhatsApp. Isinya cuma bilang kalau ia sedang ada di Jogja dan menyuruhku kesana untuk bertemu. Serupa peribahasa, "Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui" tentu aku segera menyetujuinya.

Sesampainya di Jogja, aku tidak langsung menemuinya. Hari itu juga ia bilang kalau ia ada di Masjid Gedhe Kauman. Aku bingung, kenapa dia bisa tinggal di masjid?

"Ceritanya panjang," katanya. "Aku backpackeran, Ntiw."

Kak Nora, namanya, tetapi aku lebih terbiasanya memanggilnya Kak Inoy. Biar kuceritakan sedikit soal perkenalan kami. Aku dan Kak Inoy kenal melalui grup Klub Buku Indonesia, yang saat itu masih terpecah menjadi dua grup karena WhatsApp belum bisa menampung banyak anggota. Berbekal tahu di sosmed, aku belum pernah sama sekali bertemu Kak Inoy bahkan ketika ia mulai "pamer" soal kegiatannya mendaki gunung yang sungguh bikin aku iri. Hehehe.

Jujur saja, aku selalu iri dengan perempuan yang mampu travelling dengan cara backpacker. Hari itu, ketika dengar ia backpacker-an ke Jogja sampai H-2 lebaran, aku takjub. Keren sekali, pikirku. Bahkan aku saja belum seberani itu untuk bisa jadi a real backpacker, tapi Kak Inoy melakukannya.

Beberapa kali ke Jogja, nyatanya tidak membuatku bisa bertemu Kak Inoy yang berdomisili di Magelang. Sayangnya, beberapa tahun belakangan ia bekerja di Sumatera. Dan yang baru aku tahu (atau mungkin aku lupa kalau ia pernah cerita) adalah ia pernah mengajar di daerah dekat rumahku. Semesta memang belum berhasil mempertemukan kita waktu itu.

Kembali pada pertemuanku dengan Kak Inoy di Masjid Gedhe Kauman. Setelah buka puasa di Alun-Alun Utara, aku diantar Mas Imam ke gerbang masjid. Dari situ aku mengabari Kak Inoy bahwa aku sudah di depan. Entah ada rasa takut atau mungkin bingung melihat begitu banyak orang tumpah ruah di sana.

"Masuk aja. Tanya sama yang jaga penitipan sendal, makam Nyi Dahlan dimana," katanya melalui pesan WhatsApp.

Aku memberanikan diri masuk ke dalam. Sampai di gerbang penitipan sendal,

"Kak hapeku lowbat...."

Pffttt. Mati beneran deh.

Akhirnya aku memilih salat maghrib terlebih dahulu sambil berpikir bagaimana mengabari Kak Inoy sambil berharap juga menemukan stop kontak untuk charge HP.  Aku sudah hampir habis akal kalau sampai tidak ketemu colokan juga. Tapi entah  kenapa aku percaya saja. Dengan atau tanpa HP, pasti aku akan ketemu Kak Inoy. Nyaris kutanya juga pada  Bapak yang membereskan takjil sisa buka puasa jamaah di masjid, tapi kuurungkan karena sepertinya ada cara lain. Keluar dari tempat salat, alu memilih duduk di teras masjid. Kudekati seorang perempuan seusiaku dan bertanya, "Mbak punya powerbank? HP saya lowbat mau ngabarin temen." karena tak kunjung kutemukan stop kontak di area masjid, pun di dekat kipas blower.

"Di tempat penitipan sendal bisa ngecas kok Mbak. Hape saya juga lagi dicas disana," katanya. Sungguh mendengar itu adalah sebuah kelegaan. Padahal tadinya aku sudah bingung. Kalau nggak kunjung ketemu colokan aku mau pulang juga gimana caranya pesan gojek?

Kuhampiri petugas penitipan sendal. Kutitipkan HP-ku untuk dicas dengan rasa antusias. Lalu aku kembali ke tempat duduk semula sembari menunggu HP-ku terisi. Saat sedang ngantuk-ngantuknya ada seorang perempuan datang menghampiriku.

"Ntiw, ya?" serunya.

Aku yang setengah sadar langsung mengangkat muka yang tadi menunduk. "Kak Inoy?" tanyaku meyakinkan. Kami bersalaman kemudian berpelukan seperti adik dan kakak yang terpisah lama sekali.

"Ntiw, ya Allah. Aku nyariin kamu sampe muterin masjid. Hape kamu nggak bisa dihubungi," serunya lagi.

"Iya, Kak! Duh, kan lowbat. Terus aku bingung mau gimana. Mau ngabarin bingung, mau pulang gak bisa pesan gojek."

"Aku muterin masjid sampe ditanya Bapak-Bapak yang disini, yang kenal aku. Katanya 'Ngapain tho Mbak muter-nuter?' sambil panik aku jawab, 'Saya nyari adek saya, Pak.' Hampir disuruh lapor ke pusat informasi, Ntiw!"

"Oalah." aku cuma menanggapi dengan kata itu.

"Ada perempuan yang pake baju tosca aku panggilin. Karena pasti kalo aku panggil 'Ntiw' minimal ada yang nyaut lah."

Aku tertawa atas drama pertemuan kami yang begitu lucu ini, tapi kemudian sadar bahwa hari itu Allah memang mempertemukan kami dengan cara yang nggak biasa. Aku terharu. Banget. Nyaris nangis juga disitu akhirnya bisa ketemu Kak Inoy yang 5 tahun cuma kukenal di grup WhatsApp.
---

"Kamu tarawih disini, kan?" tanyanya. Aku meragu.

"Iya, deh. Sekalian. Hehe." Toh setelah itu memang aku tidak punya acara lain dan besok paginya sudah harus bertoalk ke Bogor.

"Tarawih di sini satu juz lho bacaannya..." katanya setengah memberitahu, setengah lagi membuatku ragu. Tapi akhirnya aku tetap mengikuti salat tarawih di Masjid Gedhe Kauman dengan khusyuk dan setengah mengantuk. Ada yang aku suka dari salat di sini, bacaan imam salatnya sungguh bikin hati tenang dan merdu didengar telinga.

Seusai salat, aku dan Kak Inoy melanjutkan obrolan. Ia bilang kalau hari itu hari terakhirnya di Masjid Gedhe karena besok ia pindah ke pesantren untuk i'tikaf.

"Kamu nggak mau ikut aja, Ntiw?" 

"Aku udah beli tiket, Kak." 

"Yah, kapan lagi? Asik lho disana banyak mahasiswa dari mana-mana. Banyak kenalan juga nantinya," bujuknya. Aku hampir goyah, tapi aku sudah kadung disuruh pulang oleh orang rumah.

"Nanti deh, Kak. Semoga tahun depan bisa kesini."

"Tahun depan mah aku udah mantenan. Hahaha. Udah nggak bisa mbolang lagi, Ntiw."

"Ya, gapapa. Nanti aku yang mbolang. Hehe."
---

Malam itu aku tahu ada banyak orang yang sayang padaku. Ada banyak orang baik yang kukenal melalui lingkaran baru yang aku masuki. Di setiap tempat dan waktu sellau ada Allah yang menjagaku. Dia teramat baik sampai-sampai aku tidak tahu lagi bagaimana caranya berterima kasih atas begitu banyak rezeki, begitu banyak lingkaran yang membuatku tetap hidup dan bahagia.

Rumah,
Juni 2018.

Post a Comment

2 Comments

  1. wisata religi tuh memang membuat kita semakin bersyukur dengan nikmat yang Allah SWT berikan ya Mba.. tersentuh aku bca ceritanya :')

    ReplyDelete
  2. Iya kak betul. Hehe
    Jadi oengen wisata religi lagi.
    Makasih ya kak sudah mampir :)

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?