[Book Review] Quarter Life Dilemma by Primadonna Angela


Judul: Quarter Life Dilemma | Pengarang: Primadonna Angela | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Tahun Terbit: Februari 2011 | Jumlah Halaman: 320 hlm. | ISBN: 9789792266733 | Harga: Rp 47.000,-

Awal mula membaca buku ini karena saya penasaran dengan penulisnya. Saya sudah pernah membaca dua karya Mbak Donna sebelumnya; satu novel teenlit dan satu lagi novel remaja bertema Jepang. Dan novel kali ini berjudul Quarter Life Dilemma, merupakan spin off dari novel Quarter Life  Fear, yang sama-sama bergenre metropop. Untuk novel QLF sendiri saya belum membacanya, jadi memang agak aneh ketika membaca QLD dan langsung disuguhkan persahabatan antara Ine dan Belinda. FYI, Belinda merupakan tokoh utama di QLF, sedangkan di novel ini Ine-lah yang jadi tokoh utama.

Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh seorang perempuan berusia lewat dari seperempat abad (quarter life) dalam hidupnya? Dilema apa saja yang menghantui ketika kemapanan hidup telah dicapai? Disinilah poin itu dikedepankan oleh Mbak Donna, sang penulis, untuk menggambarkan tokoh Ine yang punya karir bagus, tetapi lama-kelamaan merasa hampa dengan hidupnya.

Melihat dari segi sampulnya, saya cukup tertarik dengan desain sampul yang "wanita metropolitan" banget. Ditambah sudut pandang orang pertama yang digunakan di buku ini membuat pembaca tahu apa yang dipikirkan langsung oleh Ine, sebagai tokoh utama.

Perempuan metropolis lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkarir. Begitu juga dengan Ine Puspitasari, gadis 26 tahun yang bekerja sebagai Creative Director di sebuah agensi iklan ternama. Sebagai wanita karir, ternyata ia belum juga menemukan kebahagiaan yang berarti di hidupnya. Awalnya ia menganggap menjadi seorang copy writer di awal karirnya adalah sebuah pencapaian besar. Sampai di posisinya yang sekarang, Ine merasa pekerjaannya hanya sebuah rutinitas.

Beruntung ia masih memiliki sahabat yang selalu menyemangatinya. Belinda, sahabat Ine, yang kini sedang hamil 7 bulan selalu memberinya motivasi dengan menuliskan banyak keunggulan yang dimiliki oleh Ine. Tetapi, hal itu nyatanya tidak cukup membuat kebimbangan dalam hati Ine menghilang. Termasuk ketika teman kantornya, Hans, yang seorang gay, menikah dengan Pras, yang merupakan mantan pacarnya.

Buku ini sebenarnya bikin kita belajar juga, kalau apa yang sudah kita dapat semuanya belum tentu membuat diri kita bahagia. Misalnya saja di kasus si Ine ini, dia punya karir bagus, tapi dihadapkan antara dua pilihan: menemani sahabatnya melahirkan atau mengurusi klien di kantornya. Pada akhirnya, hatinya nggak bisa berbohong.

Kalau tidak tahu kapan kita akan bahagia, memang kita tidak akan bahagia. Mau berbahagia? Resepnya gamoang. Mulailah mencoba untuk bahagia sekarang juga (Hlm. 80).

Buku QLD ini menuurut saya agak kurang greget di konfliknya. Saya sendiri kurang bisa menikmatinya. Mungkin penggambaran dilemanya agak kurang menohok bagi saya. Semacam cuma dilema-dilema kecil yang memang muncul si kehidupan nyata. Tapi mungkin memang itulah poin yang diambil Mbak Donna, agar cerita ini terkesan hidup dengan keberadaan dilema kecil selain dilema besar seperti pekerjaan dan kehidupan asmaranya.

Kenapa sih manusia cenderung membandingkan diri dengan sesama? Kalau kita berada di pihak yang unggul, rasanya jumawa, ingin pamer. Kalau kebetulan kita berada di pihak hang tidak beruntung, kita bakal iri sampai nyaris tewas. Seakan manusia bergantung  pada pihak lain untuk merasa bahagia atau merana. (Hlm. 213).

Semua pilihan mengandung konsekuensi. Kadang kita tidak menyukainya,  tapi itu risiko. San kalau tidak miengambil risiko, manusia akan  cenderung statis seperti robot. Tidak ada inovasi. Meskipun dunia berubah, kita akan tetap begitu-begitu saja. Manusia memang ditakdirkan untuk terus berubah mengikuti perkembangan yang terjadi di hidupnya. Tapi hal ini bukan berarti setiap saat berganti keputusan. (Hlm. 219).

Any excuse will do. As long as it keeps me alive and productive. (Hlm. 220).

Post a Comment

0 Comments