[Book Review] Tea For Two by Clara Ng



Judul: Tea for Two | Pengarang: Clara Ng | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Tahun Terbit:  Februari 2009 | Jumlah Halaman: 312 hlm.| ISBN: 1097897922 | Harga: Rp 45.000,-

Semua orang ingin hidup bahagia. Kadang-kadang kita sendiri yang mempersulit keadaan untuk menjadi bahagia. (hlm 268).

Tea For Two. Saya memutuskan untuk membaca buku ini tanpa tahu apa yang akan dibahas di dalamnya. Genre Metropop pada labelnya membuat saya berpikir bahwa ini adalah kisah seorang wanita metropolitan yang mungkin saja memiliki sebuah hubungan pernikahan yang manis. Saya membayangkan kalau judul Tea For Two ini sesederhana sang istri menyiapkan dua cangkir teh untuk suaminya di pagi hari. Betapa manis dan sederhana, kan?

Tapi ternyata dugaan saya salah. Ini bukan buku soal romantisme pernikahan yang manis. Ini buku pembelajaran yang cukup realistis.

Tea For Two punya gambar sampul yang dilematis. Semacam gambar ala tumblr yang deep meaning. Aura gelap dan suram memang sudah terlihat, tapi saya lambat menyadari hal ini. Warna orange yang mengimbangi sampul bukunya mungkin membantu untuk menyingkirkan kesan suram itu sendiri. Jadilah saya terlena pada gambar sampulnya.

Pada prolognya, siapapun yang membacanya akan terkesima pada gaya hidup sepasang suami istri yang berbulan madu ke Bali. Ini bukan suatu masalah sih... karena penggambaran ini akan memunculkan imajinasi bagi orang-orang, seperti, "Wow, honeymoon ke Bali!" atau "Romantis banget sih honeymoon-nya". Dan sungguh prolog ini akan lebih menyenangkan lagi kalau kalian membaca hanya sampai disitu.

Tokoh utama dalam buku ini adalah seorang perempuan muda, Sassy, pengusaha biro jodoh yang dinamakan Tea For Two. Jadi, disinilah semuanya bermuara. Tea For Two adalah nama biro jodoh dan agensi wedding organizer. Sassy sendiri berusaha mempertemukan orang-orang yang lajang dalam sebuah pertemuan yang diatur dan menbantu mereka yang akan melangsungkan pernikahan dengan bisnis WO-nya ini. Bisnis khas kaum urban yang melihat peluang semacam ini sebagai pundi keuntungan.

Sebagai seorang wanita karir yang mapan, saya sungguh sangat mengagumi tokoh Sassy ini. Di usianya yang udah lewat 25, dia punya karir yang bagus untuk bisa bertahan di kehidupan ibu kota yang keras. Namun, yang belum dimiliki adalah kekasih. Apakah memang problem perempuan kebanyakan seperti ini ya? Ada beberapa bacaan yang menunjukkan kalau laki-laki seringkali mundur apabila perempuan yang didekatinya memiliki status (baik pendidikan maupun pekerjaan) yang lebih tinggi darinya? Hm, mungkin ini yang menjadi penyebab perempuan pintar banyak yang single. Eh, tapi, nggak gitu juga sih. Mungkin hanya soal circle life yang berbeda aja kali ya. Perempuan berkarir bisa aja kan jadiannya sama lelaki berkarir juga? Iya, nggak, sih?

Kembali ke Tea For Two, saat Sassy sedang mengurusi salah satu klien yang mau menikah, ia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Alan—yang merupakan saudara dari kliennya. Di pertemuan kedua, Sassy sudah merasa luluh dengan sikap romantis Alan. Kalau kalian baca bukunya, mungkin kalian akan diabetes seketika, saking manisnya sikap Alan ke Sassy. Mulai dari kasih kejutan, makan malam di restoran romantis, jalan-jalan ke luar kota, sampai kata-kata manis yang sungguh membentuk kecurigaan di pikiran saya. Iya, kadar manisnya si Alan ini berlebihan banget. Kalau saya mungkin bakalan bosen di hari ke-7 deh menghadapi 'serangan' kayak gitu.

"Izinkan aku menjadi bilangan primamu. Bilangan prima yang hanya bisa dibagi dengan bilangan itu sendiri, atau dibagi dengan angka satu. Angka saru adalah kamu, satu-satunya dan selalu menjadu nomor satu." - Alan, (hlm. 96).

Sassy menganggap sikap Alan adalah bentuk dari perhatian dan sebuah cinta untuk dirinya. Ia sendiri juga sudah mendefinisikan bahwa dirinya jatuh cinta pada Alan. Hal ini bahkan ditertawakan oleh Naya, sahabat dekat Sassy, yang tau persis bagaimana Sassy selama ini.

Ya, perempuan mana yang bisa menolak lelaki mapan, tampan, dan manis seperti Alan? Bahkan Sassy pun dengan ikhlas menerima Alan ketika ia melamarnya. Sassy menikah dengan Alan, lelaki yang dicintainya—meski baru ditemuinya beberapa waktu.

"Cinta yang sehat adalah cinta yang mengeluarkan arus positif untuk dapat saling menghidupkan. Cinta yang penuh penderitaan bukanlah tanah yang gembur untuk dapat menumbuhkan benih apa pun. Benih akan mati tercekik di tanah liat yang kekurangan air." (hlm. 278).

Sesungguhnya ada yang saya kurang pahami dalam hubungan Sassy-Alan. Pasalnya, ketika mereka akan menikah dan Sassy sempat menaruh curiga pada sikap Alan—yang manis tapi juga posesif ini—kenapa Sassy tidak berusaha mencari tahu kepada saudara Alan yang menjadi klien di WO-nya? Kenapa tiba-tiba Sassy sudah memutuskan untuk menikahi Alan tanpa dijelaskan bagaimana mereka saling mengenal keluarga masing-masing? Oh, oke, ini hanya kegelisahan saya saja. Mungkin ceritanya tidak akan seru kalau sifat Alan yang sesungguhnya terbongkar di depan.

Membaca Tea For Two adalah sebuah pembelajaran. Menikah itu butuh pertimbangan banyak hal, bukan cuma soal perasaan, tapi juga tentang siapa yang akan kita nikahi. Dalam hal ini saya banyak belajar bahwa pernikahan tidak selalu baik-baik saja; pernikahan tidak selalu manis dan adem ayem; pernikahan itu... membuka masalah baru, terlebih kalau kita memang tidak mengenal siapa orang yang kita nikahi.

"Pernikahan memang perlu diperjuangkan, tapi pernikahan tidak butuh kematianmu untuk dipertahankan." (Hlm 280).

Buku ini memberikan sudut pandang baru untuk saya. Mencintai itu harus rasional, walau kadang emosional. Mencintai itu bukan berarti kita tutup mata dengan segala keburukan pasangan. Mungkin benar, kita harus selalu memaklumi keburukan pasangan kalau sudah menikah, tapi kalau sikap dan sifat buruk pasangan malah membuat kita tidak nyaman, ya, buat apa? Bukankah menikah itu untuk saling membuat nyaman? Eh, iya, nggak sih?

Pada akhirnya, buku ini memang berkisah seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ada laki-laki yang bermanis-manis sebelum menikah, romantisnya bukan main, tetapi kemudian berubah drastis setelah menikah; jadi suka main tangan dan/atau menyakiti pasangan, baik fisik maupun batin. Oke, mungkin nggak cuma laki-laki yang jadi pelaku, tapi perempuan juga bisa jadi pelaku, meski kebanyakan perempuanlah yang jadi korban. Dalam buku ini tentu saja perempuan yang jadi korban KDRT.

"Pada banyak kasus, cinta juga memberikan efek candu, membuat orang-orang tergila-gila dengan rasa dan suasananya. Tidak heran banyak yang mengejar cinta seperti mengejar kekayaan. Saat efek dari rasa dan suasana cinta mulai luntur, maka dia akan jatuh cinta lagi agar tubuh dan jiwa tetap terstimulasi. Tapi pada peristiwa KDRT, yang menjadi candunya adalah penyiksaan itu. Respons adrenalin yang menderas gila-gilaan membuat hidup menjadi lebih hidup." (Hlm. 295).

"Saat pasangan kita menjadi abusif, dia mengambil bagian yang sangat besar dari apa yang kita miliki di dalam diri kita. Seseorang hang abusif pandai mengeruk dan memaksa pasangannya untuk menyerahkan bagian-bagian itu. Mulanya mungkin kita memberikannya dengan pasrah karena cinta. Tapi lama-lama, kita terbiasa memberikan itu sehingga rasanya tidak ada yang aneh." (Hlm. 296).

Sayangnya, yang dijelaskan di buku ini adalah... perempuan selalu tutup mata dengan dalih 'masih mencintai suami' atau dengan harapan 'suaminya bisa berubah seiring berjalannya waktu'. Saya sungguh-sungguh ingin merukyah perempuan yang berpikir seperti ini. Semacam, 'lo udah disiksa begitu sama suami lo, masih aja ngarep dia berubah. Gak bakal!'

Siapapun, saya nggak akan bahas ini dari sisi agama. Ketika dalam rumah tangga sudah terjadi KDRT dan si pelaku terus menerus melakukannya, jalan keluarnya cuma berpisah. Mempertahankan pun belum tentu ada gunanya. Bagus banget kalau si pelaku KDRT ini bisa benar-benar tobat, kalau cuma tobat di mulut tapi besok mengulangi lagi? Mau sampai kapan? Sampai kehilangan nyawa? Hm.

"Jodoh memang misterius. Beberapa orang butuh bantuan untuk dicarikan jodoh. Seperti cinta, mungkin jodoh juga mempunyai tanggal kedaluwarsa. Itulah yang menyebabkan jodoh harus berganti atau didaur ulang." (Hlm. 309).

"Nggak mau kawin karena nggak mau kawin. Aku nggak bisa membayangkan membagi hidupku dengan orang lain sampai aku mampus. Aku inhin hidup sendiri. Kenapa sih perempuan harus menikah? Emangnya pernikahan ini menjamin apa? Kebahagiaan? Aku bahagia kok sekarang. Aku nggak yakin kebahagiaanku berlipat ganda dengan menikah." - Rose (hlm. 307).

Ya, saya setuju nggak setuju sama kalimat penolakan dari Rose. Pertama, saya setuju karena saya juga percaya sebelum menikah pun saya sudah bahagia dan nggak yakin kalau setelah menikah bakalan lebih bahagia—tepatnya saya nggak tau. Kedua, saya nggak setuju karena hari ini pun saya sudah membagi hidup saya dengan orang lain; orang tua, adik-adik, teman-teman, sahabat. Toh membagi hidup bukan hanya soal pasangan, kan? Hehehe.

Soal jodoh yang kedaluwarsa, saya pernah dengar dari seseorang di grup ketika kami berdiskusi soal jodoh. Jodoh itu bukan hanya perihal manusia, tapi juga kesempatan, pekerjaan, sampai rezeki. Dan kenapa jodoh harus didaur ulang? Ya, memang karena masa berlakunya sudah habis, tapi yang saya ingat, jodoh dengan manusia itu bisa diusahakan. Bukan semata-mata ketika sudah menikah bisa cerai begitu saja dengan dalih "kedaluwarsa". Nggak gitu. Untuk yang satu itu, kita emang harus menjaga supaya berjodoh terus. Gitu nggak sih?

Yak, sekian review buku Tea For Two. Semoga kalian semua yang sudah menikah maupun akan menikah selalu dilimpahkan kebahagiaan dan mendapat ridho dari Allah. Aamiin.

RATE: 3,5/5

Cileungsi, 4 Desember 2017.

Post a Comment

0 Comments