Memudarkan Kewarasan


Senja mengapung di batas langit yang tenang
Anak-anak berlarian riang ke menuju rumah
Teriakan-teriakan anjing bersisian dengan pekat yang membentang di sepanjang jalan

Langit menggelap seiring dengan lampu kamar yang kunyalakan dengan sigap
Suara anak-anak kembali terdengar di surau-surau pengajian

Lengang yang menguntit di laci meja tak terusik oleh hening
Sekumpulan rindu menguar bersamaan dengan ilusi yang kucipta sendiri
Seolah-olah aku alpa bahwa keberadaanmu memang nyata

Ponsel yang berkedip-kedip menyuarakan namamu pada sepanjang dering yang kudengar amat sering
Aku kembali lupa, ilusiku terlalu nyata untuk jadi sebuah hal yang tak kupercaya
Suara di ujung sana berputar menyajikan luka
Kembali menggaungkan duka yang melewati kisi-kisi jendela

Prang!
Benda itu melayang ke lantai ketika kenangan terbangun dengan berang

Aku menghentikan laju pikir soal rindu di tengah-tengah kehampaan
Menyimpannya ke dalam laci meja bersama dengan lengang yang sendirian
"Rindu itu menyiksa, kalau tidak tahan, buang saja perasaanmu," katamu pada suatu sore ketika kesedihan belum merasukiku

Pensil yang kugenggam adalah yang terakhir aku raut dengan runcing
Sama seperti kata-katamu yang terekam pada pita kaset di bagian inti pikiranku
Aku akan menghilang seperti kertas yang menciut ketika bersentuhan dengan api

Kalimat terakhirku ada pada baris terakhir kalimatmu saat malam membuatmu lelap
Kini lengang semakin mencekikku
Tidak ada yang bisa melepaskan diri dari kesedihan yang terlampau menyakitkan
Tidak juga kau, yang tersenyum menatap kesendiria
Tidak juga mereka yang berdiri bersisian sambil mengucap kata perpisahan.

Kalimat terakhirku untuk siapapun
"Sampai Jumpa".


Meja belajar, yang tak pernah kupelajari adalah alasan mengapa kau berlari.
19 Juni 2017. 04:31. (Belum tidur)

Post a Comment

0 Comments