Surat Untuk Lusi


Hai, Lus. Terima kasih sudah menghubungiku.

Malam tadi aku sudah membaca pesanmu di facebook. Pesan itu singkat dan membawa suasana yang lucu dan abstrak bagiku. Aku tahu itu hanya serentetan cara untuk mengajakku kembali ke ruang itu. Aku juga tahu saat malam kau mengirimkan pesan itu, kau masih di sana, berjuang menyusun strategi untuk masa depan organisasi kita. Tapi aku tidak tahu, apakah itu idemu atau cuma suruhan dari yang lain karena aku tidak datang dalam forum itu.

Hai, Lus. Terima kasih sudah bilang kangen. Aku sendiri bingung harus menjawab apa. Aku bukan kakak yang baik, ya? Adiknya bilang kangen, tapi aku malah kebingungan. Biar kuberi tahu sesuatu soal aku yang belum kamu tahu.

Aku sungguh merasa bersalah ketika berhadapan denganmu, juga dengan semua adik-adik lain. Aku sungguh merasa bangga sekaligus malu melihat kalian yang berkembang begitu pesat. Aku bangga bahwa kalian sangat visioner dan berpotensi mengembangkan apa yang kita sebut bersama di awal sebagai keluarga. Namun, aku malu, sangat malu ketika aku tidak bisa apa-apa di sana. Tidak bisa menyamakan pikiranku dengan kalian. Bahkan cenderung tidak mampu menyamakan potensi diri dengan kalian. Aku bukan yang patut ditiru, Lus.

Ada satu hal yang membuatku berpikir tentang hati dingin mereka yang dengan mudahnya pergi melenggang dengan santai, bahkan di depan "rumah" kita. Aku tahu bagaimana bosannya menunggu kabar, hanya menunggu kabar akankah mereka hadir atau tidak. Aku juga tahu bagaimana lelahnya tetap memikirkan mereka yang 'hilang', tapi tidak bisa apa-apa. Kalau kau mau tahu, aku masih punya perasaan semacam rasa kasihan pada kita yang dengan setia menunggu berharap mereka mau kembali. Sebagian dari mereka menghilang, kemudian kembali. Sebagian dari mereka hilang, dan tetap hilang hingga saat ini.

Egoisnya... aku juga ingin menghilang seperti mereka.

Jangan pernah meniru aku, Lus. Kamu masih punya potensi lebih dibanding aku. Aku cuma mau mengutip apa yang sekretaris kita katakan tempo itu, "Kita bisa berkawan, berteman, saling sapa di luar, tapi rasa untuk kembali itu sudah pudar. Hambar dan tak ada rasanya lagi." Semacam itu yang aku rasakan saat ini.

Aku punya dua sisi mood yang berbeda. Ketika aku sedang ingin, aku akan datang dengan sukarela dan melakukan semua hal dengan senang hati. Namun ketika aku sedang tidak ingin, jangan sekali-kali usik aku, atau semua hal yang aku lakukan akan jadi berantakan dan menjadi sebuah beban yang nyata dan membuatku malah lari tanpa ingin kembali. Sayangnya, hidup kita, alur organisasi kita tidak membuatnya demikian. Memang bukan seharusnya mereka yang mengikuti aku, tapi rasanya aku sudah tak bisa diganggu gugat dalam hal ini. Maka, jangan tiru sikapku yang ini, Lus.

Sudah berkali-kali aku merasakan yang seperti ini. Jenuh berlebihan dan perasaan tak ingin kembali. Sayangnya, kalau dibilang mau menyombongkan diri, aku masih cukup tahu bagaimana perjuangan kalian agar bisa bangkit dan berdiri, meskipun tidak sepenuhnya aku tahu. Mereka yang masih ada di sana adalah bentuk nyata perjuangan dan pertahanan. Sedang aku disini, cuma seorang yang nerepotkan dan cenderung menghambat langkah gesit mereka dengan sikapku yang demikian.

Lus, kalau kamu menyebutku 'Kakak', kukira kamu salah. Aku mungkin seorang kakak secara usia, tapi aku tidak lebih dewasa darimu. Mendapat sebuah kritik seakan mendapat tamparan keras bahwa selama ini, di usiaku yang duapuluhsatu, aku belum bisa mengayomi bahkan cenderung tidak mau mengerti kalian, adik-adikku sekalian. Aku terlanjur egois dan terlalu nyaman dengan keadaanku yang masih ingin diayomi. Ah, waktu sangat cepat berlalu memang.

Hai, Lus. Kalau kamu kangen aku, kamu bisa temui aku di luar 'ruang' itu. Aku masih ingin kembali ke sana. Tapi tidak dalam waktu dekat ini. Semoga kamu tetap semangat! Aku tahu dengan sikapku yang begini aku akan menjadi beban tambahan kalian, tapi coba tolong abaikan aku untuk sementara.

Purwokerto, di subuh yang dingin.
23 Juni 2016, 04:37.

Post a Comment

0 Comments