[BOOK REVIEW] Burung-Burung Migran by Miranda Harlan



Judul: Burung-Burung Migran
Pengarang: Miranda Harlan & Sutik A. S.
Penerbit: Qanita
ISBN: 978-602-9225-03-7
Tahun Terbit: 2011
Tebal Buku: 328 hlm.

BLURB

Ah, Yamin. Kamu tahu betapa aku menghormatimu, sebab kita telah menikah di hadapan Tuhan dan negara. Namun, sampai kamu pergi, aku bahkan tak sempat membisikkan pertanda itu. Kamu tak sempat tahu, bahwa ada yang telah kamu titipkan di tubuhku....

Masa kecil Sutik dinodai dengan pengalaman-pengalaman buruk, pelecehan oleh kerabat dan guru mengajinya, sampai dipaksa menikah di usia 13 tahun. Sutik pun tumbuh menjadi perempuan yang kuat sekaligus rapuh. Ketika dia mengenal Yamin, Sutik memutuskan dialah pria terakhir dalam hidupnya, sehingga ketika suaminya itu pergi tanpa pamit ke Malaysia, Sutik bertekad menyusulnya. Saat tawaran pergi ke Malaysia datang dari temannya, Sutik tak pikir panjang lagi. Separuh dirinya sudah menyusul Yamin ke sana.

Sesal hanya datang kemudian, karena keberangkatan yang terlalu mudah itu ternyata sebuah penipuan. Episode selanjutnya bagaikan keterpurukan tanpa ujung bagi Sutik. Meskipun dia tetap berusaha membuktikan diri sebagai perempuan merdeka yang mampu melepaskan diri dari belenggu ketidakadilan.
---

Sejujurnya buku ini memang bertema "pencarian". Pada dasarnya, cerita utamanya adalah soal pencarian; baik pencarian Yamin yang dilakukan oleh Sutik hingga menyusul ke Malaysia, atau pencarian jati diri yang sebenarnya masih belum ditemukan oleh Sutik. Buku ini membuka sedikit wawasan soal ketenagakerjaan Indonesia yang dikirim ke luar negeri. Tentang bagaimana orang-orang kita memilih menjadi TKI karena ingin membahagiakan keluarga dan lagi-lagi gaji yang besar menjadi salah satu pertimbangan untuk mereka pergi ke luar negeri.

Adalah Sutik, seorang perempuan yang pergi ke luar negeri dengan jalan menjadi TKI untuk menyusul suaminya, Yamin. Meskipun tujuan lain dirinya adalah untuk bekerja demi menyekolahkan keempat anaknya. Kehidupan Sutik berlangsung tidak seperti apa adanya. Sejak kecil, ia tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dan disukai banyak orang. Kehidupannya berlanjut hingga ia dinikahkan pada usianya yang ketigabelas. Sungguh usia yang masih amat muda. Pernikahannya tentu selalu dilatarbelakangi oleh keadaan ekonomi yang sangat sulit. Mungkin dengan menikah, ekonomi keluarga akan lebih ringan.

Pernikahan Sutik tak hanya sekali. Setelah bercerai, ia menikah lagi dengan suaminya yang kedua, yang pada akhirnya meninggal. Lalu ia menikah dengan suaminya yang ketiga, yang juga meninggal akubat diguna-guna. Yamin adalah suaminya yang keempat. Mengingat usianya yang lebih muda, Sutik sempat ragu bahwa Yamin akan menikahinya. Jujur, soal cinta memang tidak selalu semudah itu. Terlebih Sutik sudah mempunyai tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Sebelum bersama Yamin, Sutik sempat menjadi simpanan seorang polisi demi menyejahterakan hidupnya. Barulah kemudian ia menerima Yamin yang menikahinya.

Kepergian Yamin yang tanpa pamit itu sebenarnya sepele. Yamin mendengar gosip dari tetangga bahwa Sutik masih berhubungan dengan polisi yang dulu sempat dekat dengannya. Api kecemburuan membuatnya pergi meninggalkan Sutik, yang ternyata sedang mengandung janin, calon anak mereka.

Setelah melahirkan anak keempatnya, Sutik menerima tawaran dari temannya untuk bekerja di Malaysia, demi memperbaiki ekonomi keluarganya. Namun ternyata kesempatan menjadi TKW di Negeri Jiran tidak semudah kelihatannya. Dengan modal awal Rp. 150.000,- Sutik mengira bahwa dirinya akan langsung dipekerjakan di rumah seseorang di Malaysia. Tetapi, ia harus menghadapi kenyataan yang berbeda bahwa perjalanan menuju Malaysia tidaklah mudah dan sangat berbelit-belit.

Di penampungan, Sutik melihat kenyataan yang sebenarnya; bahwa perempuan adalah orang yang dilihat lemah dan tak berdaya. Bahwa di dalam perjalanan pun, para TKW yang diberangkatkan harus menjadi seseorang yang berbeda demi mendapatkan kesejahteraan. Bisa dilihat bahwa dalam keadaan yang terdesak, tak punya uang, dan tak tahu sampai kapan berada di penampungan, sebagian dari para TKW memilih menjadi "ayam" demi mendapatkan uang. Dirinya, dengan samgat terpaksa dan terjebak, pada akhirnya juga memilih jalan ini, meskipun orientasinya tetap untuk biaya anaknya sekolah.

Desas-desus bahwa menjadi TKW kerap disiksa pun mampir ke pikirannya. Namun, Sutik bukanlah orang yang lemah. Saat masih di penampungan di daerah Riau, ia memilih bekerja di pasar daripada melakukan pelatihan bekerja di rumah yang disediakan oleh penyalurnya. Menurutnya, ia hanya mendapatkan lelah tanpa uang yang seharusnya. Apabila dengan bekerja di pasar, ia bahkan bisa mendapatkan sayur-sayur dengan gratis sebagai makan malamnya dan teman-teman kelompoknya di penampungan.

Kehidupannya di Malaysia pun cukup berjalan mulus karena mendapat majikan yang baik. Meskipun pencariannya terhadap Yamin masih belum menemukan titik temu. Bahwa Yamin bekerja di kilang batu yang belum diketahuinya. Serba-serbi kehidupan Sutik mencari Yamin hingga ke negeri seberang akhirnya membuahkan hasil; ia menemukan Yamin tanpa sengaja.

Hingga hari ini, Sutik menjadi pioneer yang membuka usaha untuk para "perempuan malam" di desanya. Agar mereka tidak bergantung pada satu pekerjaan itu.
---

Membaca biografi dalam bentuk novel ini sungguh menyenangkan. Sudut pandang orang pertama juga memengaruhi pikiran pembaca soal bagaimana Sutik merasakan kerasnya berada di negeri orang. Ah, pikiran saya selalu beralih pada salah satu sanak saudara yang juga memilih untuk menjadi "pahlawan devisa" bagi negara ini. Hampir-hampir saya tak percaya bahwa di penampungan begitu membosankan, walaupun bertemu dengan teman-teman baru.

Saya jadi bertanya-tanya, apakah semua penampungan melakukan hal yang sama? Saya seringkali takut, bahwa pergi menjadi TKI itu tidak semudah kelihatannya. Sistem yang ada pun termasuk sulit. Saya sempat mengetahui bahwa seorang TKI yang sudah berada di penampungan harus membayar sekian puluh juta apabila ingin membatalkan perjanjian kerjanya. Belum kerja kok udah suruh mbayar~

Tak hanya itu, membaca buku ini membuat saya memiliki pandangan lain dari "perempuan malam". Bahwa banyak yang terpaksa melakukan hal itu demi keluarganya. Memang, jalan ini terlihat lebih sederhana dan cepat untuk mendapatkan uang. Namun, saya tetap tidak setuju. Entahlah.

Saya pun berkali-kali mengutuk tokoh kakek dan guru ngaji Bu Sutik yang melakukan pelecehan pada dirinya. Apalah artinya itu semua? Saya benci sekali membaca bagian itu. Benar-benar merendahkan martabat, terlebih bahwa saat itu Bu Sutik masih kecil. Ya dipikir sendiri saja, masa mau tes wudhu suruh buka baju? Halo, mau wudhu apa mau mandi? -_-

Intinya, saya suka buku ini. Meskipun saya masih ingin banyak mengetahui soal ketenagakerjaan Indonesia dan segala bentuk sistemnya pun dengan sisi lainnya. Mbak Miranda, sang penulis, menyajikan cerita ini dengan sangat apik dan runut. Saya suka!

RATE: 4/5.
---

QUOTES OF THE BOOK.

"Ah, Yamin, kenapa perempuan selalu lemah? Lihatlah betapa tipisnya beda antara lemah dan lembut. Sudah seharusnya perempuan berhati lembut, tetapi lemah adalah hal yang berbeda. Lemah membuka peluang terhadap kekerasan, penjajahan dan penindasan." (p. 99).

"Perempuan-perempuan ini sadar diri mereka lemah. Persoalannya, mereka menerimanya sebagai kodrat yang tak bisa diubah." (p. 100).

Purwokerto, 7 Juli 2015. 05:01.

Post a Comment

0 Comments