[NULIS KAMISAN] Semua Tak Sama

Aku jatuh cinta pada tatap mata tajam miliknya. Milik keajaiban yang masih berlangsung hingga detik ini. Detik kesejuta yang tak mampu lagi aku hitung. Mata itu menatap tepat di mataku, seolah-olah ingin menerkam. Menelanjangiku, mencari kepingan yang tidak ia ketahui. Aku menghela nafas. Ini saatnya berdamai, meski semua tak sama lagi.

Dia masih berdiri di sana dengan celana abu-abunya, tepat 13 tahun lalu. Tubuhnya yang tinggi membuatku harus mendongak ke atas saat bicara padanya. Tak ada yang bisa memisahkan kita setelah kita meresmikan hubungan. Bukan, kami tidak berpacaran, apalagi saling cinta layaknya sepasang kekasih. Hubungan kami lebih dekat daripada saudara. Entahlah, bicara soal perasaan memang sensitif.

Hampir setiap hari kami menghabiskan waktu bersama. Bukan karena kami tak punya teman lain, hanya saja hubungan kami terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

Bukankah laki-laki dan perempuan tidak bisa bersahabat tanpa melibatkan perasaan?

Ada yang salah dengan kalimat itu. Tentu saja kami menggunakan perasaan. Aku dan dia punya perasaan. Kasih sayang kami pun ada. Kalau tidak punya perasaan, kami tidak mungkin berteman bahkan bersahabat. Tapi, perasaan yang mereka sebut dan perasaan yang kami sebut adalah beda.
---

Tidakkah kamu percaya bahwa kami memang menyimpan perasaan seperti yang mereka maksud di dalam hati kami masing-masing? Mereka percaya, tapi kami sendiri tidak percaya. Aneh.

Dia bergeming menuntut jawab atas pertanyaanya. Aku membisu. Beku akan tatapannya.
---


Usia tujuh belas selalu bicara soal manisnya kehidupan, tapi tidak bagiku, dan baginya. Bagian terburuk hidup kami sama-sama muncul di usia tujuh belas. Tidak ada yang tahu pasti mengapa kenyataan seringkali berbanding terbalik dengan keinginan. Hal paling menyebalkan dan menyedihkan itu hadir seperti rayap di lemari kayu; menggerogoti kebahagiaan.

Ya, kisah menyedihkan milikku memang tidak terlalu tragis seperti dalam film. Tentu lebih baik tragis di dalam film daripada di dunia nyata. Ayah dan ibu memilih meninggalkanku tanpa pemberitahuan dan membuatku menjadi yatim piatu. Tanpa pemberitahuan... aku sudah tahu kalau kematian selalu datang tanpa pemberitahuan. Kukira takdir juga. Buktinya, tanpa pemberitahuan aku diboyong ke sebuah kota kecil di Sulawesi bersama paman. Tanpa pemberitahuan pula aku pergi meninggalkannya di kota itu.

Kesedihanku tidak lagi berujung. Bahwa sebelum aku pergi, aku sudah tahu bahwa dia mengalami suatu kejadian tragis yang sering dialami anak muda lainnya. Depresi. Obat terlarang. Minuman keras. Tidakkah kau menyadari bahwa itu semua yang menjadi label pada anak muda?


Hidup kami tragis. Seperti tertawaan pada dinding-dinding pembatas yang dingin dan berpintu teralis.
---

"Semua sudah berubah," ucapku pada akhirnya.

"Ya, semua sudah berubah," ulangnya.

---

Bahwa kejadian pahit tidak berhenti sampai disitu. Entah angin mana yang membisikkan padaku untuk pergi mengikutinya setelah hampir setiap malam aku mendapat perlakuan buruk dari pamanku. Ya, istrinya memang sudah meninggal setahun yang lalu. Sungguh kesempatan bagus untuknya menjadikan target baru selain almarhum istrinya. Biar kuberitahu, istrinya mati di tangannya. Kejam bukan? Sangat!

Aku hampir menyayat nadiku sendiri subuh itu, tapi kuurungkan niat itu dan memilih kabur dari rumah mengikuti jejak kunang-kunang yang hampir memudar seiring munculnya sinar mentari di ufuk timur.

Aku bukan orang yang sama lagi sejak hari itu... Aku menjelma matahari ketika bertemu seorang pria baik hati yang membuatku hidup bagaikan ratu.
---

Tatap itu masih sama. Meski kontur di wajahnya banyak yang berubah, termasuk kumis dan janggut yang membuatnya tampil semakin dewasa. Dandanan necis miliknya tak mampu menutupi raut wajah yang kukenal dulu. Dia masih sama. Meskipun wajahnya semakin tirus.

"Kau masih sama seperti dulu," ujarnya. Entah memuji atau menyindir.

Aku menggeleng. "Aku bukan orang yang sama lagi." Dengan dandananku yang seperti ini, memang jelas aku bukan orang yang sama seperti dulu. Aku berbeda. Aku tak sama.

Percayakah engkau bahwa perasaan yang mereka sebut itu memang benar-benar ada di dalam hati kami. Hanya saja... di hidup kami, kenyataan selalu berbanding terbalik dengan keinginan.

Pada akhirnya, kami hanya tersenyum dan kembali berjalan melanjutkan hidup masing-masing. Jalan milik kami sama lurusnya hingga tak ada lagi yang perlu bersinggungan selain di usia 17 milik kami yang hanya sekali seumur hidup.


---

Purwokerto, 4 Juni 2015. 23:51. 

Post a Comment

4 Comments

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?