[NULIS KAMISAN] Like A Doll

Lampu-lampu sorot dalam ruangan super megah itu mulai gemerlapan. Riuh sorak sorai dan tepuk tangan membahana, menggema jadi satu kesatuan utuh. Lenggak-lenggok pinggul gadis muda di atas panggung seirama dengan musik yang menjadi latar belakang. Riasan pada wajah polosnya sungguh memesona. Gaun yang melekat di tubuhnya menjadikannya bak ratu kerajaan. Lengkap dengan lesung pipitnya yang menyihir seluruh penonton. Malam itu, dialah primadonanya.

Aku terduduk menyaksikan itu semua tanpa kedip dan tanpa banyak bicara. Semua orang sibuk mengabadikan dirinya dalam bentuk gambar, tak terkecuali wanita paruh baya di sebelahku. Senyum bangga terselip di bibirnya, namun aku menemukan kejanggalan. Senyum itu menunjukkan... kepuasan. Kepuasan yang hidup karena gadisnya menjadi primadona dan dipuja-puja banyak orang. Sorot matanya menunjukkan keyakinan bahwa anaknya akan memenangkan kontes tersebut.

Juri memilih pemenang yang tepat. Gadis itu memang amat sempurna. Persis seperti boneka. Mahkota di kepalanya sangat cocok berada di sana. Aku melirik ke arah wanita paruh baya itu lagi. Sorot mata kejanggalan masih ada di sana. Aku beralih menatap gadis itu... sekarang aku tahu. Hal itu benar-benar terjadi padanya. Gadis itu masih tersenyum kepada para penonton yang mengaguminya.

Ia turun perlahan dari panggung. Aura keanggunan masih melekat di dirinya. Ia memelukku erat dan ada semacam emosi yang mengalir kepadaku. Aku semakin tahu apa yang terjadi padanya. Ia melirik ke arah wanita itu.

"Kamu sungguh sangat bagus, Claire," ujar wanita paruh baya itu. Gadis itu hanya tersenyum. "Tunggu di sini, aku akan kembali sebentar lagi."

Ia tahu, wanita itu akan menemui wartawan untuk mengadakan konferensi pers terhadap kemenangan kontes malam itu. Hal ini sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya. Dan entah apa yang dipikirkannya, Claire mendekapku erat dan menyelinap keluar bangunan. Entah menuju ke mana.

Claire membawaku berjalan ke atap gedung. Kerlap-kerlip lampu kota malam itu menghipnotis inderanya. Ia masih terus mendekapku, hingga ada setetes air yang jatuh di atas kepalaku; air mata. Ia menangis.



"Aku lelah," ucapnya lirih. Polesan make up di wajahnya luntur oleh air matanya, namun kecantikan alami tetap terpancar. Aku menatapnya dalam diam. Tangisnya berhenti. "Dunia ini indah, ya?" ujarnya lagi. Aku tetap diam, meskipun aku mengiyakan pernyataannya.

Ia kini mulai bermonolog, walaupun aku mengerti bahwa ia mengajakku bicara. Katanya, ia merasa cantik. Ya, kuakui dia memang cantik, lebih cantik dari gadis seusianya. Katanya lagi, ia ingin bisa bermain seperti anak-anak lain. Kebebasan yang tidak pernah ia dapatkan. Ia suka menari, ia suka modelling, tapi ia tidak suka begini.

Claire masih terus bercerita padaku. Katanya, ibunya hanya tersenyum dan bilang bahwa ia pasti akan senang bila menjadi yang tercantik ketika ibunya mengajaknya ke sebuah tempat untuk mempercantik dirinya. "Padahal aku takut. Jarum-jarum di sana besar sekali."

Aku memandangnya tanpa berkedip. Ia mulai terisak lagi sambil memelukku. Aku mencoba berkata sebisaku, menenangkannya. Ketika ia mulai tenang, ia berkata padaku, "Kau mau ikut aku? Aku ingin terbang."

Sedetik kemudian aku sudah dibawanya terbang bebas melintasi gedung secara vertikal. Aku hanya bisa diam dan terus diam melihatnya menutup mata dengan tenang.
***



Purwokerto, 21 Mei 2015. 17:35.

Post a Comment

0 Comments