Sudah Sejauh Apa?

Untuk Bee, yang selalu tahu bagaimana bimbangnya aku saat ini.

Tentu tanpa kuberitahu pasti kau sudah tahu, Bee. Iya, aku mengalami kebimbangan yang sama. Lagi. Dan kali ini meski pada orang yang berbeda, aku terjebak di titik yang sama. Apa yang kemarin kaubilang bahwa aku memang harus berhenti itu ada benarnya. Aku tidak bisa bertahan dengan posisi bahwa dia tidak pernah berusaha membuat hubungan ini lebih baik. Kau benar, dalam hal ini memang hanya aku yang berjuang, sendiri.


Kau tentu juga sudah dengar bagaimana aku menaklukan egoku demi menghubunginya. Demi membuat perasaanku tenang dengan anggapan bahwa harapan itu masih ada. Harapan yang kusimpan untuk nanti aku wujudkan bersamanya. Tapi lagi-lagi kau benar, hingga saat ini tidak ada yang pernah terjadi. Sedikitpun.

Kalaulah kemarin kau bilang bahwa aku harus berhenti, aku masih tidak mau. Aku masih percaya sedikitnya 50 persen tentang keberadaan harapan itu sendiri. Tapi sekarang, di detik ini aku mulai putus asa. Ya, harapan itu semakin tipis seperti kabut yang hampir hilang. Aku tidak akan pernah bisa memaksanya dan tidak akan mau melakukan itu. Aku bersedia jatuh tanpa diminta. Sekarang aku memang harus bangkit.

Jikalau demikian, pertanyaamu yang terakhir malam tadi adalah tentang: sudah sejauh apa?

Maka kujawab dengan kalimat ini, Bee:

Aku sudah berjalan hampir seputaran waktu
Membangun satu persatu jejak hingga ratusan hari
Hingga di jejak kesekian, aku tak berani lagi mengejar
Waktuku habis sampai di sini
Dayaku lemah sampai di titik ini
Aku sudah berjanji menempuh jalan ini
Jikalau tidak sampai, aku bukan menyerah
Aku hanya berbelok ke tempat yang lebih baik

Sudah sejauh apa?
Bahkan aku merasa belum memulainya.
Aku hanya menganggapnya tidak ada.
Jika ada, maka aku berhenti.

Purwokerto, 7 April 2015. 15:35.
Hujan deras.

Post a Comment

0 Comments