[BOOK REVIEW] Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari



Judul: Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang: Ahmad Tohari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 979-22-0196-3
Tahun Terbit: 2004
Tebal Buku: 408 hlm.

BLURB

Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri.

Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama ronggeng itu. Dari kaum biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten. Namun, malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa di penjara itu.

Namun, pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan hakikatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki manapun. Ia ingin menjadi wanita somahan. Dan ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat secuil pun....

Novel ini merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jantera Bianglala, dengan memasukkan kembali bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun.
---

Saya tertarik membaca buku ini karena saya telah menonton film yang diadaptasi dari buku ini dengan judul "Sang Penari". Menonton film tentu sangat berbeda ketika membaca buku. Bahkan saya menonton filmnya pun versi yang sudah disensor dan versi yang ditayangkan di televisi. Sehingga detail yang seharusnya menjadi runut cerita dalam film sangat kurang. Bicara soal buku, saya sempat mendengar pula bahwa buku Ronggeng Dukuh Paruk ini sempat kena sensor dikarenakan mengandung unsur PKI.

Baiklah, saya akan sedikit mengulas buku ini serta beberapa perbedaan yang saya lihat dari filmnya. Meskipun hubungannya agak kurang relevan, namun saya tetap akan membandingkannya. Isi buku ini bercerita tentang seorang gadis yang menjadi ronggeng di Dukuh Paruk. Seperti yang tertera pada blurbnya, ronggeng yang bernama Srintil ini menggantikan ronggeng yang telah meninggal 12 tahun lalu. Kisah Srintik menjadi ronggeng dimulai saat ia berusia 11 tahun. Berbeda dengan di film, Srintil dalam film digambarkan sudah dewasa, mungkin sekitar 17 tahunan. Srintil sudah menjadi yatim piatu sejak bayi, lagi-lagi berbeda dengan di film yang digambarkan orangtua Srintil meninggal karena tempe bongkrek saat Srintil berusia 7 atau 8 tahun.

Secara keseluruhan Ahmad Tohari menggambarkan keadaan Dukuh Paruk dengan detail yang tampak sederhana. Mungkin karena saya sedang ada di Banyumas, saya merasa bahwa Dukuh Paruk memang benar-benar ada dan bukan hanya karangan milik Ahmad Tohari. Penceritaan kehidupan ronggeng di Dukuh Paruk pun sangat jelas. Mulai dari Srintil yang baru memasuki dunia ronggeng, hingga pengalamannya melakukan segala macam ritual sebelum menjadi ronggeng dan hingga menjadi ronggeng.

Di buku ini terdiri atas tiga bagian, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala. Bagian Ronggeng Dukuh Paruk mengisahkan tentang perjalanan Srintil selama menjadi ronggeng. Bagian Lintang Kemukus Dinihari mengisahkan perihal Rasus yang menjadi tentara dan soal datangnya komunis di Dukuh Paruk. Bagian Jentera Bianglala mengisahkan tentang Srintil yang bekas tahanan ingin menjadi ibu rumah tangga.

Sesungguhnya saya sungguh amat tertarik perihal tragedi 1965 yang disisipkan dalam buku ini. Ada keprihatinan yang hadir saat melihat peristiwa itu terjadi di Dukuh Paruk. Kebodohan dan kemelaratan Dukuh Paruk membuat orang-orangnya terjebak dalam organisasi komunis tanpa diketahuinya.

Mengulas buku ini rasanya terlalu banyak. Namun ada segi sejarah yang dipaparkan meskipun melalui sudut pandang Srintil dan Rasus serta orang-orang Dukuh Paruk. Porsi sejarahnya memang tidak banyak, namun gambarannya sudah cukup jelas mengenai tragedi 1965 tersebut.

Juga penggambaran suasana yang benar-benar pada zamannya cukup membuat imajinasi saya bermain. Tembang-tembang ronggeng atau lagu yang dinyanyikan anak-anak juga turut melengkapi buku ini.

Entah mengapa saya menyukai karakter tokoh Bakar, pemimpin dari organisasi komunis, yang memiliki retorika sangat baik, sehingga mampu mempengaruhi warga desa atau siapapun yang ditemuinya.

Bagi perempuan-perempuan kampung, hanya dalam tontonan ronggenglah mereka bisa menyaksikan kaum laki-laki dipermainkan oleh lawan jenisnya. Bukan sebaliknya, seperti yanh mereka alami sehari-hari. (Hlm. 213)

Overall 4/5.

Purwokerto, 24 Maret 2015. 17:42.





Post a Comment

0 Comments