Another Limited Holiday: Jogjakarta

Hello everybody.

Perjalanan menjadi sangat menyenangkan ketika dilakukan bersama-sama. Namun, bepergian sendiri pun tak jadi masalah ketika kita tahu cara menikmatinya. Ini sebuah catatan perjalanan milik saya selama tiga hari di Kota Pelajar. Banyak hal yang saya dapatkan setelah berpergian.


Setelah tiga hari mendaki gunung Merapi, saya dan kedua kakak senior saya mengunjungi sekretariat Mapagama (sebuah ukm pecinta alam di UGM). Saya pun segera menghubungi teman yang saya kenal melalui Klub Buku Indonesia untuk bertemu. Bahkan sejak sebelum berangkat ke Merapi pun, saya sudah memiliki rencana akan mengunjungi teman saya tersebut.

Sejujurnya ini kali ketiga saya mengunjungi Jogjakarta. Dua kunjungan sebelumnya hanya bersifat "numpang lewat" karena tak punya cukup waktu untuk berkeliling lebih lama. Kunjungan kali ini pun sepertinya tak jauh berbeda. Bedanya, saya akan menginap di rumah teman yang baru pertama kali saya temui itu. Sungguh ini adalah pengalaman pertama.

Setelah teman saya datang menjemput, saya pun berpamitan dengan teman-teman di Mapagama dan kedua kakak senior saya (saya tidak ikut pulang ke Purwokerto bersama mereka). Malam itu malam pergantian tahun. Jalanan di Jogja sangat ramai. Saya hampir-hampir tak bisa membedakannya dengan kondisi jalan di Jakarta. Persis. Entah apa yang membuat Jogja seramai ini. Mungkin dikarenakan libur natal dan tahun baru.

Saya dan teman saya, Kak Yani, mengunjungi salah satu tempat makan di daerah Monjali dengan salah satu rekan KBI juga, Mas Eko. Suasana tempat makan sudah bisa ditebak, ramai. Sepanjang perjalanan, resto serta cafe pun penuh oleh pengunjung yang menikmati malam tahun baru, baik bersama keluarga, teman, maupun kekasih. Ah, saya hanya sekelumit yang berhasil menikmati udara Jogja di malam pergantian tahun.

Tak ada yang spesial dari malam pergantian tahun kali ini. Dikarenakan jalanan macet, kami--saya dan Kak Yani--memutuskan untuk pulang saja. Dan pergantian tahun pun kami lewati dengan tidur nyenyak.

Hari kedua di Jogja, saya sudah memiliki rencana bertemu dengan teman SMA. Kebetulan tanggal 1 Januari Kak Yani tak kebagian libur karena hari liburnya sudah diganti. Well, tak apa. Saya terbiasa jalan sendiri. Dengan berpakaian seadanya (celana training dan kaus lengan panjang serta jaket plus sendal jepit) saya terlebih dahulu diajak ke sebuah sekolah di daerah Wirosaban. Setelah urusan selesai, Kak Yani mengantar saya ke halte TransJogja terdekat. Fyi, saya janjian dengan teman saya di Malioboro, karena Kak Yani tak bisa mengantar saya, maka saya naik TransJogja.

Tiba di halte TransJogja, saya yang buta arah "dipaksa" untuk segera tahu arah. Di sini pepatah "Malu bertanya, sesat di jalan" benar-benar berlaku. Saya memang harus bertanya jika ingin tahu arah. Setelah bertanya pada petugas di halte, barulah saya duduk menunggu bus yang akan membawa saya ke daerah Malioboro dengan beberapa kali transit. Bus pertama bernomor seri 4a. Kemudian transit di Terminal (saya lupa apa namanya) dan naik kembali dengan nomor seri bus 1b. Transit selanjutnya jujur saya lupa di daerah mana, tapi kemudian naik bus dengan seri 3a. Bus terakhir ini meengantarkan kita sampai di halte Malioboro 1. Dan, sayapun disambut dengan kemacetan dan keramaian ala Jogja. Wuih!

Sembari melepas lelah karena berdesakan di dalam bus serta menunggu teman saya yang sedang dalam perjalanan, saya memutuskan untuk duduk. Penampilan ala gembel milik saya ini membuat saya tak acuh. Peduli amat dengan tatapan orang. Namanya juga baru turun gunung. Hahaha. Hampir setengah jam saya duduk di sana, memperhatikan orang yang berlalu lalang. Seperti biasa, prinsip "just sit down and do nothing" mulai berlaku untuk diri saya. Dimana duduk diam seperti itu menjadi suatu kesenangan tersendiri bagi saya. Ada saja hal-hal lucu yang bisa saya perhatikan. Orang-orang yang selfie di tengah jalan, misalnya.

Rasa haus memaksa saya meninggalkan kegiatan duduk-manis-ngeliatin-orang. Setelah dahaga terpuaskan oleh sebotol teh kemasan, saya mencoba berjalan mengikuti arus orang-orang. Sedikitpun saya tak berniat membeli apapun. Bahkan permintaan adik saya untuk membeli celana batik pun saya tolak dengan dalih saya tak beli apapun. Pasalnya, saya kurang suka dengan kegiatan belanja baju, selain belum bisa memilih kualitas yang bagus, kemampuan tawar-menawar saya jauh di bawah rata-rata. Alhasil saya hanya tahu harga pas tanpa mau repot-repot menawar.

Malioboro panas diselingi mendung. Sekitar pukul 12 saya sudah bersama kedua teman saya, Fitri dan Gilang. Kemudian kami mampir ke kedai es buah. Harga 6000 rupiah untuk semangkuk kecil es buah. Sungguh, itu mahal bagi saya. Mungkin karena ada buah durian di dalamnya. Tapi apalah artinya itu, saya bukan orang yang doyan dengan buah durian. Mencium aromanya saja bikin mual. Jadi, harga segitu termasuk mahal. Atau mungkin karena mereka berjualan di daerah wisata, sehingga wajar saja.

Yuhu!

Kami bertiga melanjutkan perjalanan ke Museum Vanderburg (saya lupa tulisannya), intinya kami tidak masuk ke dalam karena salah satu teman saya ada keperluan di kampus. Sayapun memutuskan untuk menghubungi Mas Eko. Setelah Fitri dijemput pacarnua ke kampus, Gilang memutuskan untuk jalan-jalan sendiri. Sedangkan saya dan Mas Eko duduk di seberang menunggu Kak Risti, teman KBI saya yang lain datang.

Prinsip "just sit down and do nothing" berlaku lagi, guys. Ngobrol seadanya, sibuk dengan ponsel masing-masing, kemudian memperhatikan orang-orang. Kebetulan di sebelah kiri dari kursi yang kami duduki ada sebuah patung dari film Ice Age dan banyak pula yang verfoto di sana. Hampir setiap orang yang melewati patung tersebut pasti menyempatkan diri untuk berfoto.

"Kamu nggak mau foto disitu?" Mas Eko menanyai saya.

"Enggak. Hahaha. Antimainstream lah mas."

Berkali-kali beliau menanyai saya apakah saya benar-benar tidak ingin berfoto di patung itu. Saya hanya menggeleng disertai tawa.

Hampir tiga jam menunggu Kak Risti, kemudian datanglah teman dari Mas Eko, namanya Mas Mamet beserta adiknya. Ternyata Mas Mamet ini tinggal di Purwokerto juga. Saya tidak pernah tahu sebelumnya. Tepat pukul 4, Kak Risti datang. Akhirnyaaa...

Kami bingung mau kemana, akhirnya kami masuk ke Museum Vanderburg. Biaya masuknya cukup murah, hanya Rp 2000,-/orang. Museum tersebut berisi patung-patung tentara Belanda. Kami tak masuk ke dalamnya, hanya di pelataran depan karena niat kami hanya numpang duduk dan ngaso. Duduk, ngobrol, foto selfie sudah kami lakukan. Ternyata kami diusir secara halus oleh pihak museum karena museum tutup pukul 5 sore. Dan... Kami kembali menduduki kursi di tempat semula kami bertemu.

Kopdar mendadak KBI

Menjelang maghrib kita memutuskan untuk berjalan mencari makan atau minum dan terdamparlah kami di tukang cendol. Sesungguhnya tukang cendol adalah tempat untuk transit saja dan mencari suasana baru. Habis cendol satu gelas, kami berjalan lagi untuk memberi makan cacing-cacing di perut. Namun, sudah hampir 5 gerobak angkringan yang kami lewati tutup. Mungkin mereka lelah begadang saat tahun baru. Akhirnya setelah melaksanakan solat maghrib, kami tak jadi makan di angkringan. Mas Mamet dan adiknya pulang, demikian dengan Kak Risti yang katanya ditunggu arisan di rumah.

Saya dan Mas Eko mampir ke kedai kopi di daerah Tugu. Kami memesan dua mangkuk mie ayam karena sudah terlanjur lapar. Sayapun ditawari minum kopi dan tertarik memesan kopi Toraja. Ternyata rasanya asam. Mungkin karena saya belum terbiasa minum kopi tanpa gula. Namun sungguh, itu kopi ternikmat yang pernah saya rasakan. Besok-besok harus coba yang lain mungkin. Tepat jam 9, Kak Yani datang bergabung dengan kami. Ini malam terakhirku di Jogja. Esok paginya saya kembali ke kota rantauan, Purwokerto.

Bersama Kak Yani sebelum pulang

Sekian kisah perjalanan ini. Semoga masih ada kesempatan perjalanan lainnya.

Cileungsi, 26 Januari 2015. 01:17.

Post a Comment

4 Comments

  1. jogja memang istimewa haha,, lebih asik lagi kalo mampir ke pantainya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh ya? Saya pernah ke Pantai Siung aja mas pas ke Jogja sekalian ngecamp dan panjat tebing.
      Pantai di Jogja yang bagus mana aja ya? Hehe :)

      Delete
  2. Jogja, pengen banget dari dulu ke situ :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan saja, mas. Jogja kan terbuka untuk semua orang :)

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?