Cerbung - Abang (3)

Cerita sebelumnya Part 1 Part 2

Tidak lebih dari sepuluh menit, kami sudah berada di dalam angkutan kota menuju pasar. Rasanya mengesankan. Ini bagian terbaik bagiku karena ini pengalaman pertamaku pergi ke pasar. Abang duduk di sebelahku, menatap jalanan dengan takjub sekaligus khawatir. Ini pertama kali juga untuk Abang pergi ke pasar sendiri dan kali ini ia harus menjagaku.

“Bang, di pasar pasti ramai, ya?” tanyaku antusias.

“Ramai sekali, Anggi. Banyak penjual dan pembeli seperti yang sering diceritakan Ibu Guru di sekolah,” jawab Abang.

Setengah jam berlalu. Suasana pasar sama seperti apa yang ada di bayanganku. Ramai seperti yang dibilang Abang. Aku menatap takjub pada deretan toko berisi baju-baju, mainan, dan segala macam sayur serta buah.

“Anggi, ayo cepat! Jangan melamun,” seru Abang.

Aku tidak sadar bahwa sejak tiba di pasar aku terdiam cukup lama memperhatikan keadaan pasar. Sedikit-sedikit berjalan, menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihatnya dengan lebih dekat. Aku kembali bergegas, mengikuti langkah Abang yang super cepat itu. Aku berhenti sejenak, mengatur napasku yang terengah-engah kelelahan. Kemudian kami sampai di tukang sayur, membeli daun bawang. Abang bilang bahwa Ibu akan membuat martabak telur untuk dijual kali ini.

Setelah itu kami beranjak ke toko sembako untuk membeli bahan-bahan lainnya. Aku mengikuti Abang, lagi-lagi dengan model jalan yang super cepat. Langkahku melambat, tepat di depan toko sepatu. Sepatu yang dipajang di etalase membuat pandanganku terhenti seketika. Sepatu berwarna pink dengan model bertali. Aku tidak pernah punya sepatu sebagus itu. Selama ini aku hanya memakai sepatu bekas Abang yang sudah tidak muat di kakinya.

Lama aku terpesona dengan sepatu itu, aku tidak sadar bahwa Abang sudah tidak bersamaku. Aku panik mencari ke mana Abang pergi. Padahal tadi jarakku dengannya tak begitu jauh. Sekarang aku sendiri di antara orang yang berlalu lalang. Tanpa terasa air mataku mengalir hingga ke pipi. Aku takut. Aku sendiri di sini. Entah di mana Abang berada.

Orang-orang di pasar langsung memperhatikanku, tapi mereka hanya melihat tanpa acuh. Seakan aku hanya angin lalu yang mereka lewatkan begitu saja. Meski menangis, aku tidak diam saja. Aku terus berjalan, berusaha mencari Abang. Aku yang sedang panic dan menangis, tak sengaja menabrak guci tanah liat milik seorang pedagang. Guci tersebut hancur jadi serpihan yang berserakan di tanah.

“Kamu itu jalan pakai mata dong! Lihat tuh guci saya jadi pecah. Kamu harus ganti rugi!” seru si padagang guci. Aku menangis semakin keras. “Bukannya ganti rugi malah nangis lagi. Udah sana pergi, jangan di sini!”

“Anggi!” Kemudian ada suara yang sudah aku kenal. Abang. “Kamu ke mana aja? Kenapa bisa ada di sini? Kamu pasti melamun lagi!” serunya.

Dengan adanya kejadian tadi, aku langsung memeluk tubuh Abang. Antara rasa takut dan terselamatkan bercampur jadi satu.

To be continued.
Purwokerto, 3 Juni 2014. 18:00
Nunggu dijemput, tapi ujan.

Post a Comment

0 Comments