Cerbung - Abang (2)

Cerita sebelumnya Cerbung - Abang (1)

Wajah ibu demikian pucatnya. Kantung di matanya makin terlihat. Usia ibu baru kepala empat, tapi fisiknya lebih mirip orang yang berusia kepala enam. Itu karena ibu selalu bekerja keras setiap hari untuk menghidupi kami bertiga. Aku yang tengah berdiri di depan pintu segera menyingkir, memberi jalan untuk Pak RT dan Abang yang sedang membawa ibu masuk. Aku mengikuti mereka dari belakang.

“Abang, Ibu kenapa, Bang?” ujarku lirih. Air mataku sudah mengalir sejak tadi. Tidak kuasa melihat kondisi ibu yang demikian.

“Ibu kalian hanya kelelahan. Tadi sudah Pak RT bawa ke puskesmas. Anggi tidak perlu cemas, yang penting sekarang Anggi dan abang jaga ibu, ya,” tutur Pak RT penuh pengertian.

Ibu terbaring di dipan tanpa mengucap sepatah kata pun. Mungkin benar ibu kelelahan dan butuh istirahat. Meskipun tadi sempat melihatku, tapi kini matanya terpejam. Linangan air mataku belum juga usai. Tapi melihat ibu yang terlihat tenang tanpa merasa kesakitan, aku segera menghentikan tangisanku dan menghapus air mataku. Aku takut tangisanku menganggu ibu yang sedang istirahat.

“Baiklah kalau begitu. Pak RT pulang dulu, ya. Andi, jaga ibu dan adikmu baik-baik,” ujar Pak RT kepada Abang. Abang mengangguk.

Aku masih menatap wajah ibu yang diselimuti ketenangan ketika Abang mengantar Pak RT sampai ke teras. Di usiaku yang tujuh tahun ini aku belum bisa banyak membantu ibu. Paling-paling hanya menyapu, mengepel, mencuci piring. Sisanya ibu yang mengerjakan, terlebih lagi Abang yang tidak pernah membantu ibu. Abang selalu berkilah kalau disuruh membantu.
***

Sudah dua hari ibu hanya bisa berbaring di kasur. Semua pekerjaan rumah mau tidak mau aku yang harus mengerjakan. Dan tidak seperti biasanya Abang menurut jika disuruh ibu. Kali ini ia disuruh menyapu halaman rumah juga kebun. Biasanya ibu berjualan kue basah di pasar, tapi sejak ibu sakit, ibu tidak membuat kue. Untuk hari ini ibu menyuruhku dan Abang ke pasar untuk membeli bahan-bahan membuat kue.

“Ibu harus membuat kue, Anggi. Kalau tidak, kita mau makan apa?” jawabnya saat kubilang bahwa ibu masih harus istirahat. Begitulah ibu, tidak bisa sedikitpun berdiam diri barang sejenak. Padahal ibu tidak boleh kelelahan.

Aku segera memanggil Abang untuk bersiap-siap ke pasar. Sejujurnya ini pengalaman pertamaku pergi ke pasar. Sebelumnya ibu tidak pernah mengajakku, ibu lebih sering pergi sendiri dan membiarkan aku di rumah bersama Abang. Lain halnya dengan Abang, ia pernah ikut ibu ke pasar beberapa kali. Saat usiaku tiga tahun, aku dititipkan ke tetangga sebelah rumahku, Bu Nur. Itu karena ibu benar-benar butuh bantuan Abang untuk membawa kue-kue yang dipesan.

“Ingat, jangan beli yang macam-macam ya, Andi. Beli yang Ibu suruh saja. Jaga adikmu baik-baik,” pesan ibu kepada Abang.

“Iya, Bu.”

Aku dan Abang bergegas ke perempatan. Kami harus naik satu kali angkutan kota untuk sampai di pasar yang kira-kira setengah jam perjalanan. Ini pertama kalinya aku ke pasar dan aku amat antusias. Aku tidak sabar ingin melihat bagaimana transaksi jual beli yang sering dijelaskan ibu guru di sekolah. Atau bermacam-macam barang yang dijual di pasar. Pasti menarik sekali bisa berkeliling pasar.

To be continued.
Purwokerto, 2 Juni 2014. 20:10.

Post a Comment

0 Comments