Cerbung - Abang (1)



Matahari menembus celah kamarku, pertanda subuh sudah lewat. Jelas aku terlambat bangun untuk shalat subuh. Aku mengerjapkan mataku, silau oleh sinar mentari itu. Aku beranjak dari tempat tidur, kemudian menuju ruang tengah. Lengang. Tidak ada suara sedikitpun. Aku menengok ke kamar Ibu, kosong. Pun dengan kamar Abang. Ibu mungkin pergi ke pasar dan belum pulang, tapi kemana Abang? Apakah Abang ikut ke pasar? Tidak mungkin, Abang tidak pernah suka bila disuruh Ibu ke pasar.


Aku ingat sekali pernah sekali waktu Ibu menyuruh Abang ke pasar untuk membeli sekantung singkong. Hasilnya Abang memang membawa pulang singkong, tapi tidak hanya sekantung melainkan setengah karung sekaligus.

"Penjualnya tidak ada kembalian, Bu," kilahnya sambil cengengesan. Ibu pun hanya menghela nafas melihat kelakuan Abang. Aku hanya cekikikan saja.

"Baiklah kalau begitu. Karena kau sudah membeli singkong sebanyak ini, maka setiap hari kita akan makan singkong sampai habis! Padahal tadinya sisa uang pembelian singkong akan Ibu belikan ikan asin, tapi sepertinya kau lebih suka makan singkong dengan garam saja, Andi." Abang mendengus lesu mendengar ucapan Ibu. Aku pun demikian. Pasti bosan rasanya setiap hari hanya makan singkong, baik direbus atau digoreng.

Sudah hampir tiga hari menu utama di rumah kami adalah singkong. Meskipun membosankan, kami harus tetap memakannnya. Abang mulai mengeluh tentang menu makan kami ini. Salahnya sendiri membeli singkong hingga setengah karung. Kami memang hanya tinggal bertiga; aku, Abang, dan Ibu. Ayahku sudah lama meninggal. Ibu bilang sih saat usiaku baru dua tahun dan Abang lima tahun. Sekarang usiaku tujuh tahun-Abang sepuluh tahun, itu artinya ayah meninggal lima tahun yang lalu.

Sibuk mencari ibu dan abang ke seluruh sudut rumah, aku beranjak ke luar rumah. Siapa tahu mereka sedang di luar. Di sebelah rumah ada Bu Nur yang sedang menyapu halaman.

"Bu, lihat Ibu dan Abang, nggak? Di rumah nggak ada soalnya," tanyaku.

"Oh, Ibu nggak lihat, Anggi. Coba ditunggu saja. Mungkin sedang ke pasar," jawab Bu Nur.

"Baiklah, terima kasih, Bu." Aku kembali ke dalam rumah. Mungkin benar, Ibu dan Abang sedang ke pasar. Mungkin Ibu akan membeli sesuatu yang besar hingga membutuhkan bantuan Abang.
***

Aku memutuskan untuk menyapu rumah saja. Sepagi ini rumah masih berantakan. Mungkin Ibu buru-buru ke pasar tadi. Meskipun usiaku masih tujuh tahun, bukan berarti aku tidak bisa mengerjakan apa-apa. Sejak usiaku lima tahun, Ibu sudah mengajarkanku banyak hal tentang pekerjaan rumah. Ibu bilang, "anak perempuan itu harus gesit juga mandiri. Suatu saat ketika punya rumah, kau harus mengerjakan apapun sendiri. Jangan pernah bergantung pada orang lain."

Saat aku sedang asyik menyapu rumah, terdengar deru mesin motor di luar. Aku berlari ke luar, mungkin Ibu dan Abang yang baru pulang dengan menumpang ojek. Betapa kagetnya aku ketika sampai di luar rumah. Itu bukan suara motor tukang ojek, melainkan milik Pak RT yang saat ini tengah memapah Ibu masuk ke dalam rumah. Terlihat pula Abang membantu memapah Ibu yang kelihatan pucat dan lemah. Astagfirullah, apa yang terjadi dengan Ibu? Aku menangis sejadi-jadinya.

To be continued.
Purwokerto, 1 Juni 2014. 19:52.
Ngantuk!

Post a Comment

0 Comments