Pengalaman Diksar

Banyak hal yang aku dapatkan melalui diksar. Entah bagaimana caranya aku menyampaikan ini semua, mungkin hanya melalui sedikit kisah ini lagi. Jujur, rasa nyaman itu semakin kuat dan hidup dalam diriku. KORPS, lebih dari sekadar organisasi. Kami keluarga. Ya, keluarga yang selalu peduli satu sama lain.

Dari organisasi ini aku belajar banyak hal. Dari yang acuh dan egois, menjadi peduli. Mungkin aku adalah bagian dari jiwa yang apatis terhadap lingkungan, itu penilaianku. Aku bahkan tidak peduli terhadap apa yang terjadi di luar sana, tapi diksar kali ini memberiku penglihatan berbeda tentang kepedulian.

Aku menganggapnya sebagai pembelajaran hidup. Pengalaman selalu menjadi guru terbaik, kan? Makanya aku berani mengikuti diksar sebagai bekal pengalamanku untuk lebih baik. Dan semua terbukti, aku mengerti. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian. Dari sini, di diksar ini aku paham betul apa maksudnya.

Dari diksar pula aku belajar menghargai waktu, disiplin waktu, dan memanfaatkan waktu. Seperti etos kerja orang Jepang yang amat sangat menghargai waktu, aku belajar. Ternyata menjadi orang yang on time itu menyenangkan. Tidak perlu menunggu dan tidak membuat orang lain kesal apabila kita terlambat.

Evaluasi di diksar indoor adalah hal terberat. Mengapa? Kantuk selalu menyerang ketika malam datang. Hal wajar, sih. Tapi evaluasi juga salah satu hal yang ditunggu. Menunggu pengumuman kesalahan. Kadang aku sendiri lupa kesalahan apa saja yang sudah kami perbuat. Kami mungkin mengingat kesalahan-kesalahan seperti terlambat, tapi kami jarang mengingat kesalahan kecil seperti rasa egois yang seringkali muncul di antara kami tanpa kami sadari. Itu sasaran empuk untuk evaluasi kami setiap sehabis diksar.

“Kalian yakin mau ke outdoor?” panitia tatib bertanya pada kami.

“YAKIN!!”

“Persiapan apa yang udah kalian punya?” Hening. Entah berapa kali pertanyaan itu diulang, kami tetap bergeming. Rasanya sulit menjawab pertanyaan macam itu. Seperti ada kain yang menyumpal mulut kami ketika hal sederhana seperti itu dipertanyakan. Sadar atau tidak, kami masih belum menguasai materi secara utuh. Itu jawabannya. Tak berani menjawab karena aku pikir kami takut dianggap tidak serius, meskipun pada kenyataannya kemauan kami sangat kuat untuk bisa melanjutkan ke diksar outdoor.

“Kalian serius nggak ikut diksar?” panitia tatib selalu bertanya hal yang sama setiap evaluasi.

“SERIUS!!”

“Kayak gini bukti keseriusan kalian?” Lagi-lagi tenggorokan seperti tercekat. Sunyi, tak ada jawaban yang keluar dari mulut kami. Hanya gumaman yang tak terdengar.
Tapi tentu saja kami serius mengikuti diksar ini. Jika tidak, untuk apa kami masih bertahan berdiri di sana, mendengar segala hal yang tatib bicarakan tentang keseriusan kami (dengan sedikit kata-kata pedas yang keluar dari mulut mereka, meskipun bagiku itulah cara mereka untuk menyadarkan kami), melakukan hal yang melelahkan ini bagi sebagian orang? Ah ya, kembali pada niat masing-masing orang.

Sempat rasa bosan menyandera diriku. Sepulangnya dari Kota Hujan, aku sempat ingin menyerah. Tidak ingin melanjutkan diksar outdoor, entah pikiran darimana. Kembali aku meneguhkan niat awalku. Aku harus kuat. Itu sugestiku yang pertama. Aku tidak ingin dianggap tidak serius. Itu yang kedua. Aku sudah melangkah sejauh ini, maka akan sia-sia semua yang kulakukan kemarin-kemarin. Itu yang ketiga. Untuk keseriusanku belajar berorganisasi, itu yang keempat. Sisanya banyak sugesti yang tersembunyi yang diam-diam menyemangatiku untuk melanjutkan diksar, terutama janji pada malam itu.

Diksar outdoor adalah puncak dari perjuangan. Dari diksar aku belajar mengabaikan rasa takut. Bayangkan, di hutan, malam hari. Untuk sebagian orang mungkin ini menakutkan. Tenggelam di kegelapan, berjalan di antara pepohonan rimbun bukanlah hal yang mudah. Lelah menggerogoti tubuh kami dan hujan melengkapinya dengan dingin yang menembus kulit.

Survival. Hal apa yang terpikirkan ketika mendengar kata itu? Tidak ada makanan? Ya. Tersesat? Bisa jadi. Bertahan hidup? Pasti. Materi ini mengajarkan kami untuk menghargai makanan. Bersyukur karena kami masih menemukan sungai ditambah air hujan yang sempat kami minum sebelum kami menemukan sungai. Pengalaman yang berkesan bagi kami bertahan tanpa makanan (yang biasa kami makan sehari-hari) selama 2 hari. Setelahnya ada yang senang karena survival mampu menurunkan berat badan juga. :D

Hujan mengiringi kami setiap hari. Dingin. Pernah suatu hari kami terkena badai, katanya. Karena kami sendiri pun tidak mengetahuinya. Bersyukurlah karena kami masih selamat.

Momen paling baik adalah ketika pelantikan. Dingin angin malam ditambah dingin air sungai sebetulnya mampu membekukan tubuh kami, tapi hati kami tetap satu. Tubuh kami berpelukan erat, saling menghangatkan satu sama lain. Haru menyelimuti malam itu. Bangga atas perjuangan kami sejauh ini.

Satu hal paling membanggakan adalah kami mampu menepati janji kami pada malam itu, “kami akan mengikuti diksar ini sampai akhir dengan serius”. Salam lestari!!!

Purwokerto, 25 November 2013.

Post a Comment

0 Comments