Hanya Ilusi



Sumber: google.com

Oleh: Afrianti Eka Pratiwi

Langit siang masih terlihat terik seperti biasanya, meski ada sedikit awan kelabu di ujung barat sana. Aku yakin, tak lama kemudian pasti awan itu akan menelan matahari. Adzan zuhur telah memanggilku satu jam yang lalu, saat aku bergegas menemui-Nya di tempat yang seharusnya aku berada.

Entah, kini pikiranku dipenuhi oleh satu pertanyaan mendasar: apakah dia masih di sekolah? Pertanyaan itu makin memenuhi pikiranku ketika aku hampir sampai di tempat aku beribadah. Aku melihat ada beberapa gerombol anak laki-laki sedang mengerjakan sesuatu, kupiikir dia ada disana juga. Ya, hatiku menjawab demikian. Tapi, aku belum sempat melihatnya karena kakiku telah terlebih dahulu melangkah ke dalam musholla.

Seusai aku bertemu dengan-Nya, aku bergegas kembali ke tempatku semula. Dan seketika itu pertanyaanku terjawab. Dia disana bersama beberapa orang lainnya. Sejenak aku berpikir, bahwa aku salah lihat. Tapi ternyata pernglihatanku masih dalam batas normal untuk jarak sedekat itu. Aku penasaran, apa yang sebenarnya mereka kerjakan?

Dengan hati-hati aku mendekati mereka. Belum sempat aku berdiri di sana, tatapan mereka telah mengarah padaku.

Lantas aku tersenyum, “Kalian ngerjain apa?”

“Kimia. Remed,” jawabnya singkat.

Aku hanya membulatkan bibirku tanda mengerti. Tatapanku masih terarah padanya. Wajah seriusnya terpaku pada deretan soal yang mampu mengerutkan keningnya. Jujur saja, aku baru mengetahui bahwa aku masuk dalam nominasi siswa yang tidak terkena remedial. Tapi aku tahu, nilaiku tak jauh dari batas yang ditentukan. Dan itu bukan sebuah hal yang patut untuk dibanggakan. Dan sejujurnya aku tidak menginginkan itu, nilai yang kupikir masih jauh dari yang dibutuhkan.

“Susah ya?” tanyaku lagi, sedikit berbasa-basi.

“Lumayan. Lo bisa?” tanyanya.

Aku menggeleng lemah. “Cuma beberapa di bagian radioaktif yang lancar. Itupun karena masih nyantol bekas ulangan kemarin.”

“Gua juga masih bisa kalo radioaktif.”

Aku tersenyum, menahan gejolak yang memang benar-benar terasa. Aku berusaha menghirup oksigen lebih banyak dari sebelumnya. Karena aku bisa merasakan peredaran darah di tubuhku bereaksi lebih cepat dari biasanya. Bahkan jantungku berdegup bak orang yang baru saja selesai lari marathon. Ah, adakah rasa itu dihatinya? Jika tidak, mungkin akulah yang terlalu berharap.

Aku mencoba memejamkan mata. Berharap ketika aku membuka mataku kembali, semua memang terjadi. Dan saat kedua kelopak mataku terbuka, aku hanya bisa menghela nafas. Nyatanya semua hanya ilusi. Hanya khayalan dari sebagian permainan otakku. Hanya perintah yang ditolak oleh tubuh untuk dilakukan. Karena aku tak pernah melakukan itu semua. Aku hanya bergeming dan tak melakukan apa-apa. Bahkan aku hanya melihatnya berkutat dengan soal-soal itu dari kejauhan.

Cileungsi, 18 Desember 2012

Post a Comment

0 Comments