Catatan Kecil yang Nyaris Terlupakan



12 April tahun ini...

Hari-hari masih berjalan seperti biasanya. Sampai detik jam mengubah hari ke hari selanjutnya. Hari di mana aku telah meninggalkan banyak hal di hari-hari sebelumnya. Entah apa rasanya saat itu, tentunya sangat biasa. Tidak ada kesenangan berlebih seperti tahun-tahun sebelumnya. Harapan-harapan juga semakin sederhana. Aku menyederhanakannya dengan sedemikian rupa: ingin bahagia.

Bahagia? Banyak caranya. Rincian itu tidak aku sebutkan, hanya saja aku tahu kalau aku ingin menjadi orang yang bahagia dengan cara apapun.

Banyak catatan yang aku pikirkan di kepala. Tentang menjadi seorang pekerja yang sampai sekarang belum berhasil terwujudkan kembali. Meski bisa disebut pengangguran. aku tidak ingin menyebutnya seperti itu. Aku masih freelancer, meski uang yang kudapat setiap bulan tidak seberapa. Aku masih bahagia. Sayangnya kalau begini terus, otakku bisa mati total. Walaupun lagi-lagi aku mengasahnya dengan belajar bahasa dan membaca buku.

Tidak ada yang salah memang dengan menjadi pekerja lepas, sayangnya, lagi-lagi, aku hidup di masyarakat yang sering basa-basi bertanya, "Kerja dimana?" Ketika kujawab hanya bekerja di rumah, ada sebagian yang ber-oh atau bilang "Nikmati saja dulu". Ya, aku sudah terlalu banyak menikmati waktu-waktu kosong, walaupun orang-orang tidak tahu kalau sedang ada project, aku bisa begadang seharian.

Mulanya aku biasa saja dengan keadaan ini, dengan uang seadanya aku masih bisa tetap menikmatinya. Tapi tidak mungkin seperti ini terus, kan? Jangan kira aku tidak mencari, aku tetap berusaha mencari walaupun lebih banyak nihil hasilnya. Sama seperti bulan lalu, 4 kali ikut tes pekerjaan, 4 kali pula ditolak. Dua di antaranya sudah masuk tahap lanjutan, tapi tidak lolos juga.

Sedih? Tentu saja. Siapa yang tidak sedih.

Aku berusaha tidak begitu memikirkan hal tersebut, tetapi tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik. Kalau dipikirkan, yang ada di otakku cuma pikiran buruk seperti: ketidakbergunaaku dan bunuh diri. Apa yang dibilang orang-orang itu benar, stres berkepanjangan bisa menimbulkan depresi. Aku ada di titik itu. bahkan sampai hari dimana aku menulis tulisan ini.

Ada saaangat banyak pikiran yang tidak bisa aku kemukakan. Ketika pikiran itu sudah berlebih dan aku tetap diam, hasilnya aku cuma bisa menangis seharian. Tapi tetap tak ingin ditanya apapun, tak ingin bicara apapun.

Tunggu, aku jadi ingin menangis sekarang.

Berpura-pura tetap tegar ternyata tidak menyenangkan. Aku memang bisa tertawa-tawa bersama orang lain, bahkan tetap hangout seperti biasa dengan teman-teman. Tapi sesudah itu apa? Aku tetap orang yang akan menutup diri paling rapat kalau ditanya soal pekerjaan. Berkali-kali kami hangout dan membahas pekerjaan, aku hanya diam saja. Sesekali menimbrung dan tertawa, tapi pikiranku ingin menyudahi semuanya.

Aku tidak ingin menyerah cepat-cepat, tapi aku selalu overthinking pada segala hal yang terjadi. Mungkin hal ini yang membuat aku nyaris "terbunuh" dengan pikiranku sendiri. Orang-orang di sekitarku memang mendukung, memberikan energi positif, tapi tak jarang juga membandingkan aku dengan anak orang lain yang terlihat lebih sukses secara pekerjaan dariku.

Sama seperti waktu itu, aku tidak bisa bangkit secara tiba-tiba dengan kalimat motivasi. Apalagi kalimat itu datang dari seorang berlabel psikolog. Beliau bilang, "Percuma ya sarjana di PTN, tapi ternyata sama aja kayak yang lain, belum dapat pekerjaan." Seketika itu pula aku bukan malah termotivasi, tapi malah runtuh-seruntuh runtuhnya pikiranku.

Aku semakin berpikir bahwa ketidakbergunaanku ini akan semakin panjang dan menyusahkan. Saat itu aku cuma bisa menunduk, nyaris menangis di depan bapakku, tapi lagi-lagi aku hanya menahan diri dan berusaha untuk kuat.

Tidak ada yang tidak mungkin. Aku tetap akan berusaha. Semoga pikiran buruk tidak lagi mendominasi seperti kemarin-kemarin.


Cileungsi, 20 April 2019.

Post a Comment

2 Comments

  1. Been there before. Yang gue lakukan adalah 1) berdoa dan pasrah 2) percaya kalau tuhan gak ngasih cobaan di luar kemampuan gue.

    By the way, gue enggak peduli mau dia psikolog atau bukan kalau isi mulutnya sampah, gue tetap akan menganggapnya sampah. Tetap semangat!

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?