Cerita dari Gunung Merbabu dan Pengalaman Gagal Muncak

Photo by Mas Erwin

Tulisan ini akan sangat panjang, jadi siap-siap saja melihat drama.

Merbabu sudah lama jadi gunung impianku setelah melihat kemegahannya dari Merapi waktu itu. Ketika diajak mendaki Merbabu, aku sempat ragu karena kepikiran pasti sangat melelahkan apabila dilakukan setelah mendaki Ungaran. Kalau kamu sudah baca ceritaku di Ungaran, pasti kamu tau kalau pendakian itu layaknya pemanasan untukku yang sudah setahun tidak mendaki. Tapi karena dipaksa seorang senior yang namanya Mas Erwin, sudah bisa dipastikan aku tak kuasa menolak. Apalagi ini Merbabu, gunung yang dinanti-nantikan.

Setelah mengistirahatkan kaki yang ototnya pegal-pegal selama 3 hari pasca pendakian gunung Ungaran, aku langsung bertolak ke Purwokerto. Dengan hanya membawa daypack, aku enjoy saja dan berharap pendakian ini akan jadi menyenangkan. Diam-diam aku juga berharap agar bisa tuntas dan tidak merepotkan.

Mengusahakan teman untuk ikut dalam pendakian ini ternyata sulit juga. Setelah bujuk rayu dilancarkan, yang terpikat cuma 2 orang, dan total anggota tim kali ini hanya 5 orang: Aku, Eci, Mas Erwin, Kollin, dan Laras. Mereka semua akan membawa carrier, sedangkan aku memilih daypack-an saja. Alasan terkuatnya tentu aku harus sadar diri, sebab seringkali tidak kuat ketika turun dan menggendong carrier. Ya, daripada peristiwa di gunung Kerinci terjadi lagi, lebih baik aku antisipasi sedari awal. Hal ini akhirnya disetujui oleh Kollin, katanya supaya bisa buat backup nantinya salah satu mending pake daypack aja. Aku girang, tentu saja.

Meski pakai daypack, pembagian logistik dan lain sebagainya diusahakan tetap rata. Aku sendiri tidak ingin diistimewakan meski daypack memang hanya muat menampung sedikit barang. Itu sebabnya aku tidak membawa baju terlalu banyak, terlebih sudah tau kalau ini musim kemarau dan tidak akan hujan.

17 Agustus 2018.
Memilih tanggal merah untuk pendakian sejujurnya bukanlah pilihan tepat. Sudah tau kan kalau gunung saat ini jadi tempat paling ramai ketika momentum hari kemerdekaan? Nah, apalagi tanggal merah kali ini berdekatan dengan libur Idul Adha, pasti gunung semakin ramai. Aku sendiri belum pernah naik gunung dengan keadaan padat seperti yang pernah aku baca di media sosial. Kita lihat saja nanti.

Selepas maghrib, kami berangkat menggunakan mobil Mas Erwin menuju basecamp gunung Merbabu di Boyolali. Perjalanan kami tempuh sekitar 5 jam lebih sedikit. Selama perjalanan, aku memilih untuk tidur belakangan bersama Eci dan Laras karena aku susah tidur kalau supir nggak ada yang nemenin. Apalagi jalanan malam dan berkelak-kelok khas gunung. Takut sesuatu terjadi. Tapi alhamdulillah kami sampai di basecamp dengan selamat.

Tepat seperti dugaan, basecamp sangat sangat ramai sekali. Kami sempat diberhentikan untuk mengisi data yang katanya biaya masuk melalui gerbang pendakian Gancik. Di situ kami harus membayar Rp 45.000, padahal kata Mas Erwin kami nggak akan lewat Gancik, melainkan lewat jalur Selo Lama. Akhirnya kami naik lagi ke atas mencari lokasi yang tepat ke basecamp Selo Lama.

Mobil-mobil berjajar di jalanan saking ramainya dan lahan parkir yang ada sudah terisi penuh. Setelah beberapa waktu akhirnya kami sampai di basecamp Selo Lama yang akhirnya harus membayar lagi sebesar Rp 50.000. Ya sudahlah, apa boleh buat.

Setelah sholat isya, kami memilih tidur untuk mengistirahatkan badan dan mendaki pagi harinya.
---

Team! Difotoin Mas Erwin.

18 Agustus 2018

Basecamp - Pos 1 (3 jam)
Pagi harinya kami sudah bangun dan bersiap untuk mendaki. Banyak sekali pendaki yang baru turun atau malah baru memulai pendakian seperti kami. Gila sih, ini pertama kalinya aku mendaki dalam suasana kemerdekaan. Rame parah! Aku tidak tau lagi harus senang atau malah sedih karena merasa tidak bisa menikmati perjalanan ini dengan khidmat. Ya, biasanya kan hanya bercengkrama dengan hutan. Jalan pun seolah milik sendiri.

Sebelum memulainya, kami harus membayar simaksi di kantor Taman Nasional Gunung Merbabu sebesar Rp 15.000,-/orang serta mengisi data berupa nama pendaki dan berapa lama berada di atas gunung. Harga yang cukup murah kalau dibandingkan di Gunung Argopuro dulu. Setelah semuanya selesai, kami siap-siap berjalan bersama rombongan orang-orang yang entah darimana asalnya. Pokoknya rame banget! Tapi yang mengejutkan adalah ketika Mas Erwin bilang, "Lihat tuh ada yang pake flatshoes. Gak kebayang gimana nanti. Apa nggak jebol ya?"

Mataku langsung melihat ke arah perempuan yang hanya memakai flatshoes untuk mendaki kali ini. Antara heran dan juga takjub. Aku sudah pakai sepatu gunung saja masih sering lecet kaki, bagaimana kalau pake flatshoes? Hm, tidak bisa kubayangkan.

Akhirnya aku mengalami sendiri bagaimana rasanya macet di gunung. Jalan harus antre dan bergantian. Di sepanjang jalur yang kulihat hanya deretan orang. Aku tidak lagi bisa menikmati pemandangan, meskipun aku bersyukur karena pendakian ini tidak terasa sepi. Merasa tubuh sedang dalam kondisi fit, aku memutuskan untuk jalan duluan di depan. Pamit kepada teman sekelompok kalau aku akan menunggu di pos 1. Alasanku sebenarnya sederhana, aku malah lambat jika berjalan di belakang. Maka dari itu aku memilih duluan saja.

"Aku jalan duluan gapapa, ya?" ucapku.

"Ya sono duluan, sampe puncak juga gapapa." Kollin menanggapi.

Karena sudah diizinkan duluan, akhirnya aku ngibrit jalan di depan. Walaupun sering berhenti karena nafas yang ngos-ngosan, aku juga berhenti untuk menunggu keempat temanku di belakang. Kalau mereka sudah terlihat, barulah aku lanjut berjalan. Dan jalur yang ramai ini tentu saja nenguntungkan untukku karena aku tidak takut nyasar. Hehehe. Biasanya  kalau sepi ya aku pasti menunggu teman lain atau mengikuti rombongan yang ada di depan.

Jalur masih terkondisi dengan baik sampai akhirnya tiba di Pos 1. Aku beristirahat cukup lama, sekitar 20 menit karena menunggu Mas Erwin, Eci, Laras, dan Kollin. Jangan tanya kondisi pos 1 bagaimana. Ramai! Sampai aku mulai kedinginan, barulah aku melihat Kollin muncul dan membawa carrier Eci di gendongan depan. Wah, kenapa nih?

10 menit kemudian Eci, Laras, dan Mas Erwin datang. Kollin bilang kalau Eci kambuh kakinya, macam keseleo gitu. Akhirnya Kollin menyuruhkam untuk tuker tas, aku bawa carrier Eci dan Eci bawa daypack-ku. Baiklah, aku sendiri bersyukur karena sebelumnya sempat pemanasan ke Gunung Ungaran sehingga stamina hari ini masih asik dibawa jalan. Setelah bertukar tas, aku izin jalan duluan lagi karena sudah kedinginan, kali ini diikuti Laras yang juga bilang ingin ikut duluan.

Pos 1 - Pos 2 (±1,5 jam)
Perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 bisa dibilang agak melelahkan. Musim kemarau panjang membuat jalur yang kering semakin berdebu. Aku harus bolak-balik menaikkan masker agar debu tidak terhirup. Masih berjalan dengan orang-orang yang sama, sesekali menyapa mereka dan memberi semangat pada wajah-wajah lelah. Ini yang aku suka dari mendaki, kamu bisa saling sapa dengan sesama pendaki meski enggak kenal satu sama lain.

Terlihat berjalan sendirian juga seringkali menimbulkan pertanyaan dari para pendaki lain. Misalnya pertanyaan yang dilontarkan oleh mas-mas pendaki yang kutemui di jalur, "Sendirian, Mbak?"

Dan kujawab, "Ah, enggak. Berlima kok. Tapi saya jalan duluan soalnya saya jalannya lelet."

"Oh, iya. Saya juga sama kok. Temen saya malah udah di depan. Santai aja ya Mbak jalannya."

"Oh gitu, ya? Emang darimana, Mas?"

"Tangerang nih, Mbak. Mbaknya darimana?"

"Aku dari Bogor sih. Tapi berangkat sama temen dari Purwokerto."

Setelah ngobrol-ngobrol singkat, kami melanjutkan jalan bersama. Sesekali bertanya, tapi lupa menanyakan nama. Ternyata Merbabu ini pendakian perdana masnya. Jadi, tolong kalo masnya baca ini bisa hubungi saya ya. Hahaha. Siapa tau bisa mendaki bareng gitu.

Masih berjalan bersama mas-mas dari Tangerang tadi—yang sesekali menengok ke arahku kalau aku terlampau jauh di belakang—kami sampai di jalur tanjakan semi setan (aku asal sebut aja sih karena tidak tau namanya). Yang jelas ini jalur menanjak yang curam dan membutuhkan tenaga dan kehati-hatian ekstra untuk sampai di atas.

Dari bawah sudah terlihat debu mengebul di jalurnya. Serta orang-orang yang antre untuk naik maupun turun. Aku bersama mas-mas tadi dan mas-mas lain yang kutemui di sana menunggu untuk naik bergantian. Karena aku sendirian, lagi-lagi aku berusaha minta tolong ke mas-mas itu agar ia membantuku, meski tanpa diminta pun para pendaki ini tetap akan saling menolong. Saat mencoba naik ternyata kakiku menginjak tanah yang gampang longsor, jadilah aku nyaris terjatuh. Tapi pendaki lain yang sudah di atas menarik tanganku agar bisa naik. Syukurlah, mereka amat baik sekali. Terima kasih, ya!

Lelah akibat naik tanjakan semi setan, aku memilih beristirahat sejenak di Pos Tikungan Macan bersama mas-mas Tangerang yang kini sudah berkumpul dengan rombongannya. Sampai akhirnya mereka berjalan duluan dan aku menunggu lebih lama lagi. Hampir 15 menit kemudian aku mulai berjalan lagi, meski rombonganku belum terlihat. Aku memilih menunggu di pos selanjutnya.

Jalur kian berdebu dan terik matahari sungguh membakar. Ada jalur yang rasanya mirip dengan gumuk pasir di Jogja. Wuih, orang-orang yang baru turun asik berseluncur dan menimbulkan kepul debu yang sungguh mengganggu penglihatan dan pernapasan. Sebelum sampai di pos 2, aku kembali beristirahat. Kali ini bersama dengan rombongan dari Surabaya yang slaah satunya ternyata mahasiswa STAN dan aku menunggu Kollin sampai di sini baru melanjutkan lagi.

Kollin seperti pendaki jaman dulu.

Ketika Kollin sampai, ia sudah menggendong daypack yang tadi dipakai Eci. Kenapa lagi ini? Ternyata Eci tidak kuat. Aku hanya bisa menghela nafas.  Setelah 10 menit berlalu, Kollin menyuruhku menunggu di Pos 2 karena kemungkinan kami akan buka tenda di sana sampai kondisi Eci pulih. Aku lagi-lagi hanya menghela nafas.

Kami sampai di pos 2 sekitar jam 12 siang. Langsung membangun tenda dan menghabiskan waktu dengan makan siang dan tidur siang. Berharap Eci pulih dan esok bisa melanjutkan perjalanan sampai puncak.
---

19 Agustus 2018
"Woy, Ci. Bangun. Pemanasan dulu sana biar ga kram kakinya." Pagi-pagi Mas Erwin sudah menyuruh Eci untuk pemanasan. Aku mah santai-santai minum teh anget. Tidurku cukup nyenyak tadi malam. Setenda berlima ya gimana nggak anget. Bahkan sampai mimpi segala, biasanya tidur di gunung nggak pernah bisa mimpi.

Pos 2 - Pos 3 (40 menit)
Kami mulai bersiap-siap, bongkar tenda, dan melanjutkan perjalanan pada pukul 7 pagi. Pos 3 (Watu Tulis) sudah kelihatan di depan mata. Hanya satu tanjakan. Seperti biasa aku memilih jalan duluan, diikuti Laras dan Eci, baru Kollin dan Mas Erwin. Ternyata benar, jarak tempuhku hanya 40 menit saja sampai di pos 3.

Photo by Mas Erwin

Aku sampai pertama kali dan melihat hamparan lapangan yang dipenuhi tenda warna-warni. Ramai sekali. Tapi aku tidak membayangkan bagaimana ketika malam tiba di Pos 3, pasti angin bertiup sangat kencang karena tidak ada penghalang berupa tebing atau pepohonan. Beberapa saat kemudian, Mas Erwin dan Laras menyusul.

"Eci gimana, Mas?" tanyaku.

"Tuh di belakang. Kakinya sakit lagi. Kayaknya nggak kuat dia." Aku cuma menghela nafas, agak kecewa. Firasatku bilang kami tidak akan sampai ke puncak. Meski pada awalnya memang aku tidak berharap sampai puncak, tapi minimal bisa bermalam di Sabana II. Sebab katanya pemandangan terbaik ada di Sabana II, terlebih mengingat masih musim kemarau pasti senja dan matahari paginya cantik sekali.

Pos 3 - Sabana I (±1,5 jam)
Setelah 10 menit beristirahat aku kembali melanjutkan perjalanan dan diikuti oleh Laras. Beberapa pendaki yang ada di dalam tenda menyemangati kami ketika hendak naik. Ternyata oh ternyata aku baru saja akan menjumpai tanjakan setan yang ternyata lebih menyeramkan ketika turun dibandingkan saat naik.

Tanjakan setan memang benar-benar kejam. Tapi aku nyaris berhasil melewatinya. Aku nyaris sampai ke Sabana I ketika Mas Erwin menyusulku tanpa membawa carrier.

"Gila gue ngejar lu cuma 15 menit, Tiw. Lari gue." Perasaanku mulai tidak enak. Pasti ada yang tidak beres.

"Kenapa, Mas?"

"Udah, ayo bentar lagi Sabana I, Tiw. Terus abis itu kita turun. Eci nggak kuat." Deg. Aku langsung lemas seketika. Lelah, kecewa, dan kesal menjadi satu sampai ubun-ubun. Bagaimana tidak, aku sudah nyaris sampai di Sabana I, tapi disuruh turun lagi?

Akhirnya aku mengikuti Mas Erwin sampai Sabana I, beristirahat sebentar dan berfoto. Dalam hati aku rapalkan sesuatu, semoga bisa kembali ke Merbabu, sampai puncak! Aamiin.

Photo by Mas Erwin lagi karena hape dia aipon.

Di jalur turun, tanjakan setan semakin kejam. Aku yang semula baik-baik saja ketika naik, seketika menjadi ciut saat turun. Jalurnya terasa sangat curam dan mengerikan. Aku juga sempat terjatuh dan kelilipan debu sampai mataku harus disiram air dulu baru bisa melihat jalan kembali. Sampai di pos 3 kami memasak makanan dan berfoto di bukit watu tulis. Kemudian turun ke basecamp.

Selesai sudah. Harapan terbesarku cuma ingin bisa remidi ke Merbabu karena serasa punya hutang. Pelajaran yang bisa aku ambil saat itu pun cukup banyak, terutama soal solidaritas. Sekecewa apapun, kalau salah satu tim anggota ada yang sakit, maka kita harus tetap menjaganya. Jangan egois hanya karena mengejar puncak. Toh, takkan lari gunung dikejar. Semoga diberi kesempatan berkunjung ke sana lagi. Aamiin.

Salam lestari!


Cileungsi, 6 Desember 2018.

Post a Comment

2 Comments

  1. Perginya kan rame-rame, jadi kalau ada satu yang dapat kendala, harus satu rasa dong wkwk.

    Gue belum pernah naik gunung sih, jadi nggak tau rasanya nanjak-nanjak itu kayak gimana hahaha.

    Btw, tulisannya kok nggak konsisten sih, kadang pake "aku" kadang pake "saya", gue jadi agak keganggu bacanya padahal udah bagus alurnya, semangatnya kerasa. Wkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mas Firman. Doakan saja biar aku bisa remidi kesana yaaa. Hahaha.

      Cobain dongggg. Biar tau rasanya nanjak :D

      Hooh setelah dibaca ulang ternyata ada yang beda2. Sudah aku perbaiki. Karena nulisnya gak disatu waktu jadinya hilang arah gitu kadang pake aku kadang saya. Hahaha.

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?