Oktober dan Kewarasan


Hello, October!

September sudah habis dan saya sama sekali tidak mendengarkan lagu "Wake Me Up When Seotember Ends" karena saya nggak ingin melewatkan banyak momen di bulan lalu. Ya, ya, saya akan banyak cerita lagi kali ini.



Cerita-cerita di suatu momen

Mendatangi kota kelahiran memang membahagiakan. Mendatangi pernikahan seseorang, lain cerita. Hari dimana saya berkumpul dengan saudara-saudara mungkin adalah hal luar biasa. Saya membayangkan bisa mengakrabkan diri seperti orang lain. Kenyataannya saya cuma bisa bergeming dan menjawab seadanya atau ketika ditanya, tanpa bisa basa-basi dan sok asik. Saya gagal jadi orang (sok) ekstrover!

Bertemu saudara juga jadi ajang "pamer kemajuan hidup". "Kerja dimana sekarang?" Pertanyaan yang selalu saya dapatkan kala itu. Saat saya jawab masih kerja sambilan dan freelance, mereka cuma jawab "Oh." dan kemudian mulai membanggakan anaknya yang kerja di perusahaan bonafid. Saya malu, tapi mungkin ibu saya lebih malu. Tapi beliau tetap membanggakan saya dan bilang kalau saya sering dapat project menulis yang lumayan sambil menunggu panggilan kerjaan lain.

Membandingkan seseorang dengan orang lain mungkin terlihat mudah, tapi ingat saja kalau jalur takdir setiap orang itu beda-beda. Kalau sama, mungkin nggak akan ada variasi di dunia ini.

Setelah pekerjaan selesai ditanyakan, rute selanjutnya adalah soal pacar-jodoh-pernikahan. Saya mungkin akan masa bodoh dengan hal ini karena saya belum punya seseorang yang dijadikan calon atau sebutlah pacar. Tetapi di antara saudara sepupu saya yang lain, kayaknya memang cuma saya yang masih doyan main kelayapan kayak bocah tanpa mikirin anak atau printilan menjelang pernikahan.

Sepupu saya sudah ada yang punya anak, yang lainnya sudah punya pacar dan tahap melamar. Jadi, kalau ngobrol, mungkin saya nggak akan nyambung dengan mereka. Obrolannya seputar mencari nafkah dan membantu suami. Topik di pikiran saya hanya : ke kota A enaknya main kemana dan makan apa ya?

Tetapi di hari itu juga, banyak yang mendoakan agar saya bisa segera menikah. Ya, saya tentu tidak menolak doa baik tersebut. Hanya saja, beberapa dari mereka tidak percaya kalau saya memang tidak punya pacar alias jomlo alias single. Apakah tampang saya ini memang tampang punya pacar? Hm.

Punya pacar atau enggak yang penting saya bisa main. Sama siapa aja nggak masalah.
---

Kesalahan-kesalahan yang terlanjur

Jadi perempuan single yang punya banyak kenalan teman laki-laki memang kadang susah. Gonta-ganti teman main, eh dihujat. Chatting sama si ini dan si itu, eh dinyinyirin. Kalau sudah begini kadang saya lebih milih nggak punya temen. Tapi susah nanti kalau mau main.

Punya teman laki-laki yang sudah punya pasangan bagi saya bukan suatu masalah. Toh, mereka masih tahu batasan dan logika untuk menjaga kewarasan serta menjaga perasaan pasangannya. Saya toh nggak punya niat merebut atau bagaimana ketika saya menjadi teman mereka. Tetapi lagi-lagi ada banyak mata dan banyak mulut yang siap melontarkan prasangka, tuduhan, cibiran, hingga hujatan sekalipun orang-orang tidak tahu apa gang terjadi antara saya dan teman laki-laki saya.

Penghakiman seperti itu yang terkadang membuat saya malas melanjutkan pertemanan. Merasa bersalah karena terlihat buruk di mata orang lain, tapi mau bagaimana lagi. Saya tetap melanjutkan pertemanan sebagaimana biasanya, meskipun nantinya tetap dinyinyirin.


Menjadi Titik Balik Kewarasan

September lalu adalah puncak kerumitan dalam situasi tersebut. Seperti yang sudah saya bilang, saya mungkin bisa pergi dengan siapa saja, baik dia sudah punya pasangan atau belum. Tapi kasus ini khusus untuk mereka yang punya pasangan. Saya merasa tidak apa-apa ketika pergi bersama mereka, selama mereka mau. Kalah mereka menolak, tentu saya juga tidak akan memaksa.

Dulu pernah saya suka dengan seseorang (sebut saya si A), saya belum tahu kalau dia punya pasangan. Bisa dibilang saya menganggap dia sebagai kakak. Secara otomatis, saya banyak meminta tolong padanya. Memintanya menemani saya kesana kemari dan mengobrol lama setiap kali kami bertemu. Perginya saya dengan si A tentu saja saya anggap biasa. Wajar, kan kalau teman pergi bersama?

Tapi lantas orang-orang menganggap saya sedang di-pdkt-in si A. Sampai beberapa orang yang kenal si A bilang, "Kamu jangan suka sama si A, anggap kakak aja dia mah." Saya cuma bisa bengong mendengar kalimat Itu. Sampai suatu hari, saya tahu kalau si A sudah punya pasangan. Saya masih menyukainya saat itu, tapi cukuo tau diri untuk tidak bertindak nekat. Saya masih punya kewarasan untuk bisa mengontrol perilaku saya.

Nah, apa yang saya lakukan kemudian? Saya tetap menemuinya ketika dia mengajak saya bertemu. Ya, saya pikir apa salahnya bertemu teman? Toh, saya dan dia tidak berbuat yang aneh-aneh. Tetapi salah seorang teman lainnya bilang pada saya, "Jangan dilanjutin. Yang kayak gitu nggak sehat."

Ya, mungkin orang lain yang melihat akan menganggap saya seperti bibit pelakor. Padahal, I don't do something wrong at all. Saya cuma berteman dan menerima ajakan bertemu ketika saya luang.

Lalu, teman perempuan saya bilang, "well, meskipun dia maupun pacarnya mungkin ngga mempermasalahkan lingkup pertemanan masing2 tapi kan kita sbg outsider mencegah terjadinya hal yg diinginkan".

Saya banyak-banyak menyadarkan diri. Berpikir sedemikian rupa untuk tidak berlaku terlalu jauh dan memperburuk bahkan mempermalukan diri saya sendiri. Sehingga saya banyak mengurangi komunikasi saya dengan teman lelaki yang sudah memiliki pasangan. Demi kemaslahatan umat. Bisa dibilang saya nggak ingin mengambil kebahagiaan orang lain buat jadi kebahagiaan saya. Apalagi tanpa izin. Meskipun kita sudah melakukannya sejak dalam pikiran.

Jadi, saya butuh mewaraskan diri.


Kamar, 2 Oktober 2018.
03:47.

Post a Comment

4 Comments

  1. Saya juga punya teman cewe, dan kami sama sekali tidak mempermasalahkan perasaan dalam pertemanan kami. Ada yang bilang bullshit lah! Saya jawab aja,"whatever." Kami adalah dua orang yang sama2 tahu diri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo di kasusnya mas, saya juga punga teman cowok yang sampe sekarang adem-adem aja. Padahal udah sering diledekin dari SMP. Cuma ya kami emang cuma sahabatan aja.

      Delete
  2. Aduh, kalau soal kerjaan, saya juga merasakan. Saya sudah setahun nggak ngantor, kerjanya remote dan tetangga dan keluarga menganggap saya nggak punya kerjaan. Untungnya saya sudah bisa bodo amat, yang penting saya kerja halal dan cukup dan bisa ngasih orangtua dan adik dan ponakan.

    Nah, soal kewarasan dalam urusan asmara. Kayaknya saya udah masuk kategori nggak waras. Muehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya mas. Sayapun udah mulai bodo amat. Cuma kasihan jbu saya kalo ibu2 lain pada banggain anaknya kerja di sana sini. :(

      Hahaha gak waras itu wajar, yang penting ada kemauan untuk kembali waras :)

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?