Being A Thinking Introvert


Apa kamu pernah merasa tidak mampu berbicara di depan orang banyak?
Apa kamu pernah merasa kesulitan ketika harus berbicara pada orang baru?
Apa kamu pernah merasa tidak ingin bicara apa-apa meski kamu sedang di keramaian atau sedang bersama orang lain?

Aku pernah, bahkan sering.
---

Bukan karena tidak ingin punya teman banyak, bukan juga karena merasa diri terlalu tinggi hingga tak ingin menyapa. Orang-orang yang melihat mungkin akan serta merta menganggap saya sombong, angkuh, dan pelit bicara. Enggan mengutarakan pendapat meski terlihat berpikir. Enggan membuka obrolan lebih dulu ketika bertemu. Enggan berinteraksi dan cenderung pasif menanggapi apa yang orang lain katakan semata-mata karena sebuah pemahaman yang berbeda di dalam pikiran.


Orang menyebut saya introvert.

"Generally, introverts are individuals who embrace solitude by spending time alone; process their thoughts in their head rather than talk them out; focus on depth and not superficiality; are less demonstrative emotionally and share personal data with a select few; prefer writing to talking; occasionally suffer from “people exhaustion” and need to retreat into aloneness in order to renew energy and clarity." (Dossey, 2016).

"Introvert: An individual in whom exists an exaggeration of the thought processes in relation to directly observable social behavior, with an accompanying tendency to withdraw from social contacts." (Freyd. M, 1924).


Menjadi introvert itu melelahkan.

Ketika orang-orang sibuk bercerita, saya cuma diam mendengarkan apa yang mereka ceritakan sambil kadang ikut tertawa. Menimpali sedikit-sedikit, tapi tak membagi apa yang saya punya. Bukan karena enggan, tapi rasanya seperti ada banyak pikiran menari-nari di kepala dan membuat saya menarik kembali kata-kata yang sudah di ujung lidah. Saya tidak jadi bercerita dan kembali diam seperti bukan siapa-siapa bagi mereka.

Menjadi anak rumahan yang pendiam adalah pilihan. Keluar rumah hanya untuk sekolah dan ke warung membuat saya aman sentosa. Bagaimana dengan tetangga? Tentu saja predikat pendiam dan pemalu melekat pada saya sejak kecil. Bahkan tampil di beberapa kali pentas agustusan di RT tidak membuat kepribadian saya berubah. Saya tetap menjadi orang yang terlalu takut untuk bicara, mengkritik, bahkan melakukan kesalahan. Bodohnya, saya mendekam di kubangan itu dengan rasa nyaman seakan terlindungi.

"Kamu mah di rumah terus, nggak pernah keluar." I have my own heaven. Karena ketika ada di luar ada kebingungan yang menyelimuti saya. Harus seperti apa menghadapi orang lain? Harus bagaimama berinteraksi dengan mereka? Bagaimana kalau saya salah bicara? Bagaimana kalau mereka nggak ngerti apa yang saya bicarakan? Pikiran-pikiran semacam itu seperti soal ujian yang harus saya jawab ketika menguatkan diri untuk berinteraksi dengan orang lain.


Mengamati dulu tentu lebih baik daripada harus berbicara kemudian salah.

Itu prinsip yang saya pegang sejauh ini. Tidak banyak bicara saat bertemu karena merasa harus lebih dulu mengenal siapa lawan bicara. Tentu itu tidak buruk, saya bisa "membaca" tipe seperti apa orang-orang yang saya temui. Sampai suatu hari ketika bertemu lagi, saya akan bisa mengimbanginya dengan aktif, bukan lagi sebagai pendengar setia sampai dianggap tidak ada.

Gerak-gerik seseorang bisa saya amati lebih dari satu kali. Bagaimana cara ia bicara, bagaimana cara ia menanggapi, sampai memberikan umpan agar saya bisa ikut terlibat. Pernah suatu hari saya mencoba nimbrung pada obrolan dua teman yang saya kenal dan karena saya tahu mengenai hal yang mereka bicarakan. Hasilnya, mereka malah bilang, "Apa sih, kenapa kamu malah ikut-ikut?" Tubuh saya kaku, mendapati respon semacam itu membuat pikiran saya semakin berantakan. Sejak itu, saya selalu diam ketika ada di sekitar dua teman tadi. Merasa tidak bicara apa-apa adalah hal yang tepat, ketimbang dianggap salah bicara.


Menjadi introvert itu tidak enak.

Jangan pikir saya tidak punya usaha untuk mengubah sifat ini, ya. Saya sungguh-sungguh sudah berusaha mengubahnya, meski hanya sedikit. Ketika dulu, saya sama sekali tidak ingin bicara dengan orang lain di telepon, saya tidak suka bertemu dengan orang-orang yang tidak saya kenal. Sampai suatu hari, keinginan untuk punya teman banyak menjadi salah satu motivasi di hidup saya. I knew what I did at that time. Saya membiasakan diri menyapa nyaris semua teman dari teman saya di sekolah. Saya membuka obrolan, saya berbicara banyak hal dengan topik yang sederhana sampai saya yakin orang tersebut bisa mengingat siapa saya. Fortunately, ini berhasil. Teman saya tidak cuma satu kelas, tapi meningkat hingga 2-3 kali lipat. Senang? Tentu.

Mendapat angin segar semacam itu, saya semakin meningkatkan motivasi saya sampai pada tahap bergabung ke komunitas online. Bertemu orang-orang baru dalam acara kopdar adalah pengalaman yang juga baru buat saya. Seperti apa saya waktu itu? Tentu diam saja, bicara sesedikit mungkin karena merasa bertemu orang yang tidak dikenal saja sudah luar biasa bagi saya. Perihal percakapan, itu nanti saja. Dan benar, banyak orang yang bilang saya cerewet di kolom chat, tapi tidak pada aslinya. Ya, bahkan ketika menulis ini pun saya bisa dengan lancar mentransfer kalimat di otak saya, tetapi sangat tidak mudah mengatakannya secara langsung. Karena rasanya berbeda. Saya nggak yakin seberapa besar perbedaannya, yang jelas saya merasa belum mampu.


Introvert bisa cerewet dengan orang yang tepat

Bukan hanya di chat, bukan hanya melalui tulisan, tapi benar-benar cerewet secara percakapan langsung. Kenapa bisa begitu? Bagi saya, berbagi itu penuh dengan rasa percaya. Ketika saya merasa lawan bicara saya bukan seseorang yang bisa saya percayai secara utuh, maka hasilnya akan jadi sama saja seperti respon saya kepada orang lain. Ketakutan tidak diterima akan sesuatu yang saya ucapkan bisa jadi memengaruhi tingkat kepercayaan saya pada orang lain. Sederhananya, kalau lawan bicara keliatan tidak menyakinkan  untuk bisa memahami saya, maka saya akan mengurungkan niat saya untuk cerita panjang lebar kepadanya. Itu sebabnya, ketika terlanjur mengatakan sesuatu, lalu lawan bicara bertanya "kenapa?" saya akan jawab, "Nggak, gajadi. Gapapa." Dan keinginan saya untuk bicara padanya berhenti sampai disitu.

Berbeda jauh ketika saya tau bahwa seseorang mengenal sifat saya yang demikian, bisa memakluminya tanpa harus mengintervensi apa yang harus saya lakukan dan katakan. Dengan sadar, saya akan cerita banyak hal tanpa berhenti, bertanya ini itu tanpa tahu tempat, tapi akan diam ketika saya tau sudah terlalu banyak mengeluarkan kata-kata. Orang-orang yang tepat memang orang-orang tertentu, bahkan keluarga saya tidak semua masuk dalam golongan orang yang tepat untuk saya tumpahi segala macam cerita di pikiran saya.

Saya nggak ingin ini jadi pembenaran ketika saya menjadi pendiam saat bertemu orang lain. Tapi saya cuma butuh waktu untuk mengamati dan di beberapa kondisi saya memang lebih memilih diam dan berkutat dengan pikiran saya sendiri daripada harus bicara basa-basi dengan orang lain. Kenapa? Saya merasa itu tidak penting buat saya. Egois memang, tapi saya juga tidak ingin malah dianggap setengah-setengah dalam merespon percakapan yang sudah susah payah kalian bangun dengan saya.

Terakhir dari saya, jangan terlalu berekspektasi pada saya ketika kamu cuma kenal saya melalui teks. Selain introvert, mungkin saya juga textovert.


Purwokerto,
Agustus 2018.
---

Sumber referensi:
Dossey, Larry. 2016. Introvert: A Defense. (The Journal of Sciece and Healing).
Freyd, M. 1924. Inteoverts and Extroverts. Psychological Review, 31 (1).

Post a Comment

6 Comments

  1. Wah wah wah terus terang gue gatau sih gue ini introvert atau ekstrovert atau... pervert. Tapi waktu itu seru2 aja kok. Main lagi yuuk tiw!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Awalnya gue juga gak tau bang. Tapi kecenderungan gue selalu pada introvert sih meskipun tetep bisa asik sama orang lain hahaha.

      Yuk bang ketemuan lagi. Kumpul2 kayak waktu itu. Udah lama juga ga ketemu wkwk

      Delete
  2. Waaahhh sama aku juga kayak begini niih...

    Dan itu beneran bikin lelaaahhh.... :'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kan kak. Setelah bisa ngobrol sana sini sama orang, terus kayak ngerasa capek sendiri ya :(

      Delete
  3. Being an introvert person itu melelahkan!!! Sama mbak... aku jugak :'( Seumur umur baru ketemu temen yang pas itu waktu kuliah, dan yang tadinya aku tertutup banget, sekarang jadi sedikit terbuka... eh malah curhat :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah bener banget kak. Kalo udah ketemu yang pas pasti bisa langsung nyambung dan cerita macam2 kayak semuanya blak2an gitu ya hehe

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?