Menyaksikan Kematian


"Mbak, Zaki udah nggak ada."

Pagi itu saya sedang mandi ketika adik saya berteriak dari luar kamar mandi dan memberitahu saya kabar duka itu. Saya lantas refleks mengucap doa meski sedang berada di kamar mandi. Buru-buru saya selesaikan dan keluar rumah. Sudah sepi. Semua tetangga pergi ke rumah sakit dimana Zaki menghembuskan nafas terakhirnya.

Adik saya menangis. Saya hanya diam. Saya tidak ingin menangis, hanya saja perasaan saya sangat terpukul, sedih, dan bercampur dengan keterkejutan. Kematian itu datang tiba-tiba, tanpa aba-aba. Datang pada siapa saja, tanpa pandang usia. Saya tau ini takdir, tapi saya masih belum bisa terima.

Menghubungi mama ternyata sangat sulit karena beliau tidak membawa ponsel. Warung pun ditutup langsung. Ketika ada tetangga yang datang, adik saya langsung bertanya. Mereka masih di rumah sakit di perumahan seberang. Saya dan adik saya sempat ragu, pasalnya hari itu saya ada jadwal latihan setir mobil. Tapi ternyata semesta mendukung, latihan dimundurkan satu jam. Kami langsung meluncur ke rumah sakit.

Di depan IGD, sudah banyak orang. Saya masih diam, tidak menyangka bahwa hari itu Zaki pergi begitu saja. Ketika kami mau masuk, ada beberapa tetangga yang kam kenal. Mereka semua menenangkan ibunya Zaki. Matanya tertutup, kelelahan menangis. Duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari jenazah anaknya. Saya hanya diam memperhatikan. Berusaha tenang dan tidak menangis.

"Di sebelah sana, Mbak Iwi, kalo mau liat," ucap seorang ibu tetangga menyuruh kami melihat jenazah untuk terakhir kalinya.

Kami berjalan ke sebelah, membuka tirai dan menatap seorang anak kecil yang belum genap berusia satu tahun terbaring kaku. Diselimuti kain batik dengan wajah yang membiru. Saya... tidak sanggup. Air mata turun deras ketika menatap wajah mungilnya yang lucu. Teringat beberapa hari sebelumnya bibir mungil itu tertawa ketika saya mencoba bercanda dengannya. Kini, ia sudah pergi.

Zaki pergi...

Nggak ada lagi yang setiap sore memanggil saya ketika saya mengepel. Nggak ada lagi yang setiap siang saya sapa kalau dia nggak tidur siang. Nggak ada lagi anak laki-laki ganteng yang bisa saya akui jadi keponakan. Nggak ada lagi yang manggil saya "tante tiwi" dari rumah sebelah. Nggak ada...

Saat itu pula saya melihat ayahnya Zaki berdiri dexngan mata merah yang terluka. Anaknya pergi mendahuluinya. Mereka berdua—Ayah dan Ibunya Zaki sudah pasti sangat terpukul. Sudah pasti menjadi orang paling sedih saat itu. Sebab, mereka baru saja menjadi orang tua, baru merasakan rasanya punya anak pertama. Tapi, semiua sudah takdir.

Saya pun tidak tahu apa rencana Allah. Tidak pernah. Jika mungkin ini yang terbaik, semoga perginya Zaki di hari Jumat ini bisa membawa serta kedua orangtuanya untuk masuk surga. Untuk itu, saya mohon untuk semua yang membaca ini, mohon doakan Zaki agar tennag di sisi Allah. Aamiin.
---

Di hari yang sama, saya kembali disadarkan bahwa segalanya milik Allah. Anak adalah titipan Allah, kalau Allah minta kembali, ya kita sebagai manusia cuma bisa mengikhlaskan. Bukan berarti kita tidak baik menjaga anak, tapi semua sudah takdir.

Saya sadar, saya nggak pernah siap untuk ditinggalkan. Terlebih ditinggal orangtua. Saya nggak tau apa jadinya saya tanpa mereka. Tapi mendengar Zaki pergi begitu cepat pun bikin saya shock. Saya cuma bisa berdoa supaya Zaki baik-baik saja di sana.

Entahlah, saya sedih.

Cileungsi, 27 Juli 2018.

Post a Comment

0 Comments