Sisa Rindu di Purwokerto

Ilustrasi. (Photo by Raka; in frame: Laras and Eci)

Sebelas Desember. Aku kembali ke kota rantau dengan segala pucuk pikiran yang bermekaran. Kenangan-kenangan yang tinggal cukup lama di kepala kemudian melintas satu persatu.

Aku menghirup aroma bising Stasiun Pasar Senen dengan penuh sukacita. Belum ada yang berubah sejak terakhir kali aku berada di sana. Menempuh perjalanan panjang setelah mendarat dari Jambi. Stasiun ini selalu ramai, tidak kenal waktu. Aku bahkan masih ingat rasanya tertidur berbantalkan carrier yang tersandar di dinding. Kelelahan sekaligus menunggu pagi; menunggu kereta paling awal yang mengantar kami—tim pendakian Gunung Kerinci—kembali ke Purwokerto.

Aku sampai di stasiun sekitar setengah jam sebelum jam keberangkatan kereta. Menggendong daypack merah kesayanganku, aku berjalan cepat ke konter cetak tiket di ujung koridor. Memasuki meja pemeriksaan, ternyata keretaku sudah menunggu.

Kilasan demi kilasan membawaku kembali pada masa lalu; masa awal-awal ketika aku baru menjadi mahasiswi. Ibu di sebelahku banyak mengajakku bicara, namun pada akhirnya aku hanya menanggapi seadanya. Sebab, tujuan perjalananku hari itu sebenarnya untuk kilas balik. Suasana kereta yang penuh membuat pikiranku semakin tidak menentu. Sebentar-sebentar aku seperti orang bingung, tak tahu arah. Sedikit-sedikit pikiranku bertanya, "Apa sebenarnya yang akan kamu lakukan di Purwokerto?"

Aku tidak lagi menanggapi pertanyaan macam itu di otakku. Pikiranku teralih pada rombongan pendaki di kursi belakang yang akan menuju ke Surabaya—entah ke gunung mana. Rindu itu mendadak muncul. Rindu pada 12 jam di kereta saat akan mendaki Argopuro. Perjalanan di kereta yang sungguh hanya diisi dengan mengobrol, tidur, dan rasa lapar yang luar biasa.
---

Purwokerto dalam 4 tahun terakhir selalu menjadi tempat pulang; tempat meraih cita-cita; tempat menemukan kawan dan sahabat bahkan keluarga; tempat menemukan diri sendiri. Mungkin benar Purwokerto membuatku menjadi gadis baik yang suka mencari tantangan. Pulang malam karena rapat, mendaki gunung sampai ke luar pulau, turun goa dari ketinggian 30 meter, menjadi mandiri ketika sakit, belajar masak, itu semua pengalaman menakjubkan bagiku. Pengalaman pertama ketika jauh dari orangtua dan harus berusaha semampu diri.

Purwokerto dalam 4 tahun terakhir membuatku mengenal banyak orang, dari mulai orang yang super baik mau membantu apa saja sampai orang yang terjerat kasus yang sama sekali nggak ada di pikiranku. Tapi dari mereka, aku belajar bahwa manusia itu selalu punya dua jalan yang bisa dia pilih: mau jadi baik atau jadi buruk. Ketika seseorang memilih jalan buruk, kita sebagai teman harusnya memang memperingatkan, bukan malah pergi dan tidak peduli. Dari yang kemarin aku lihat, kami nggak sekalipun meninggalkan orang tersebut, malah kami bantu support dan "membawanya" ke jalan yang lurus-lurus aja.

Kedatanganku ke kota ini menjadi alasan untuk membebaskan diri dari gencatan pikiran yang semakin membabi buta. Aku nggak yakin bisa bertahan ketika ketakutan-ketakutan itu munxul kembali.

Apa yang membawamu kembali? Kebebasan.

Kota ini menyimpan banyak kebebasan yang aku inginkan. Suasana yang nyaman, tekanan hidup yang sedikit, orang-orang yang tidak berorientasi pada materi, dan aroma gunung Slamet menjadi semacam ketenangan tersendiri. Sampai di suatu malam, dua kakak senior mengajakku nongkrong di cafe. Loja de Cafe.

Me and Kak Ragil. Di seberang meja ada Mbak Leli yang nggak masuk frame.


Dua perempuan  yang merupakan kakak kelasku di kampus ini banyak memberiku pertanyaan macam dosen penguji, tapi versi santai. Aku bersyukur, sejak masuk kampus aku banyak menjalin relasi dengan kakak tingkat. Alasanku cuma satu waktu itu: aku ingin punya banyak teman. Dan, di sanalah aku berada, duduk bersama kakak tingkat yang bahkan dulunya nggak begitu aku kenal dekat. Mereka berdua orang yang punya passion dan percaya kalo hobi/passion itu bisa mereka kerjakan dengan senang hati.

Obrolan tentang pekerjaan sedikit banyak mengembalikan pikiranku pada kenyataan. Aku masih berada di garis awal, belum lagi melangkah kemana-mana. Aku masih jadi seorang pengangguran setelah memutuskan resign dini di kantor yang baru menerimaku kemarin. Ya, sebuah kesempatan yang aku lepas dengan berbagai alasan. Di titik itu, sampailah kami pada suatu pembahasan, "Tiw, si itu apa kabar?" Aku cuma cengengesan, mengerti arah pembicaraan mereka.

"Tidak tahu, Kak. Ehehehe," sembari kuseruput greentea frappe-ku.

Ada banyak alasan mengapa aku tidak ingin membahasnya lebih jauh. Pertama, aku tidak yakin untuk mengatakannya. Kedua, aku tidak yakin dengan diriku sendiri apakah aku masih akan menunggu orang yang sama atau tidak. Pada akhirnya, obrolan kami malam itu berisi hal-hal sederhana pengundang tawa dan membuat malamku lebih berwarna.
---

Tujuanku datang ke kota ini lagi adalah untuk menghadiri wisuda beberapa teman. Salah satunya Laras. Aku berusaha hadir di hari istimewanya sebab aku tidak hadir di kedua seminar dan hari ulang tahunnya. Jadi, aku akan ada di sana untuk sekali ini. Selain Laras, ada tiga orang teman yang tidak berhasil kutemui saat hari wisuda karena ramainya orang-orang membuatku kesulitan menemui mereka dan sampai tulisan ini dibuat aku tidak juga bertemu dengan mereka.

Kiri ke kanan: Aku, Ica, Laras, Eci (kurang hadirnya Caca supaya formasi lengkap).


Ada satu orang yang sebenarnya tidak kuniatkan untuk bertemu. Tetapi di akhir-akhir waktu ketika kami sedang menunggu Laras, orang itu muncul secara tak terduga. Ya, akhirnya aku menjabat tangannya dan bilang selamat atas wisudanya hari itu.

Kenangan yang membawaku pergi ke kota ini bukan hanya soal kenangan manis, meski hanya kenangan macam itu yang mau aku ingat. Aku tidak ingin membawa banyak kenangan buruk dari sana. Hidupku di sana sudah selesai, tapi rinduku masih tetap ada. Mungkin akan selesai sampai orang-orang yang aku kenal di sana sudah tidak ada lagi. Tapi bagiku, mengunjungi kota rantau adalah sebuah pengingat yang baik. Aku pernah berjuang seorang diri di sana, berusaha mencari sebanyak-banyaknya pengalaman, tapi ternyata itu semua belum cukup untuk bekal kehidupan pasca wisuda. Aku masih harus belajar, mengenal lebih banyak orang dan... berusaha menjadi lebih baik dan lebih berani untuk bersuara.

Aku cuma perlu diriku sendiri untuk bisa berani.

Cileungsi, merasa tak berdaya.
18 Desember 2017.

Post a Comment

5 Comments

  1. Ah baca ini bikin pengin ke purwokerto lagi nih.. Padahal baru balik dr sana kemarin.. Huhu

    ReplyDelete
  2. Ah baca ini bikin pengin ke purwokerto lagi nih.. Padahal baru balik dr sana kemarin.. Huhu

    ReplyDelete
  3. oh sdh lulus ya Wi? Aku lupaaa. hehe. Terus bergerak dan mencari dirimu sendiri ya Wi. Akan ada banyak keajaiban yg nanti tersibak kok asal kita tetep optimis \m/ semangat! welcome to the real 'jungle' ya :*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sudah mbak hehehe. Aamiin. Makasih mbak Pritaaaa :3

      Delete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?