Percakapan Singkat di Dalam Mobil

Sumber: google.com (dengan editan pribadi)

Apakah kamu pernah merasa takut ketika bertemu dengan orang baru? Perasaan takut ditipu, dicelakai, dan dimanfaatkan? Semacam ketakutan yang muncul tiba-tiba karena kamu tidak mengenal orang ini? Aku pernah.


Malam hampir larut ketika ular besi yang membawaku ke kota Semarang berhenti di stasiun. Kepergianku ke kota ini dengan suatu tujuan, suatu undangan yang harus kuhadiri. Sesegera mungkin aku mengabari seseorang yang berjanji menjemputku. Sampai akhirnya pertemuan yang baru pertama kali itu terjadi. Seorang pria yang mengaku berusia 30 tahun itu nyatanya tidak terlihat seperti 30 tahun di dalam pandanganku. Ia melambaikam tangannya ke arahku dengan keyakinan yang tepat bahwa aku adalah orang yang mencarinya malam itu.

Aku sempat bertanya dalam hati, "Kenapa dia begitu yakin melambaikan tangan padaku padahal kami sama sekali belum pernah bertemu. Oh, mungkin karena cuma aku, perempuan dengan ransel yang berdiri di depan minimarket yang sebelumnya aku sebutkan."

Aku mengikutinya berjalan, bicara seadanya, basa-basi seperti biasa jika bertemu orang baru. Bicara soal pintu kedatangan, soal pemain musik yang ada di stasiun, dan soal jam tidurnya.

"Aku biasanya jam 8 udah tidur, lho. Ini demi jemput kamu aja jadi jam segini masih melek. Padahal udah ngantuk banget," ujarnya.

Aku hanya bilang, "Oh gitu, ya," dengan menambahkan kata 'sorry' sepelan mungkin.

Sebagian pikiranku agak khawatir, sebab aku lupa mengingatkan orang ini untuk membawa helm. Tidak lucu juga kalau kami harus kena tilang malam-malam hanya karena tidak memakai helm. Sampai di parkiran aku sempat sedikit kaget bahwa yang ia bawa bukan kendaraan roda dua, melainkan roda empat. Aku terbiasa pergi dengan motor, dijemput dengan motor, bukan dengan mobil. Kupikir ia juga akan menjemputku dengan motor. Begitulah aku terbiasa duduk di jok belakang, bukan di kursi di samping supir.

Hening dan dingin yang menyapa tidak lantas membuat aku ketakutan. Aku masih bisa menikmati suasana kota Semarang saat malam. Sampai ia memecah sunyi itu dengan kalimat.

"Aku biasanya naik sepeda kalau ada acara bloger gitu. Ini karena bawa tamu aja jadinya pake mobil. Biasanya aku malas bawa mobil," ujarnya lagi. Dari sini aku tau, logatnya bukan logat orang Jawa seperti yang aku kenal. Dan alasannya membawa mobil adalah karena ia tidak bisa mengendarai motor. Berkebalikan denganku.

"Oh begitu ya," lagi-lagi aku kebingungan harus merespon apa.

"Kamu kenapa tiba-tiba memutuskan menginap di rumahku?" tanyanya tiba-tiba.

Aku diam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. "Karena aku nggak kenal siapa-siapa di sini. Saudaraku belum balik, temanku jauh kosannya." Kemudian aku merutuki jawabanku. Itu jawaban yang mengundang kejahatan, bodoh. Kalau orang ini jahat dan mengambil kesempatan bagaimana? Tapi, aku sudah terlanjur bicara dan ucapanku tak bisa ditarik kembali.

"Kamu nggak takut? Nginap di rumah orang yang baru dikenal, laki-laki pula," katanya.

Aku merinding. Bukan karena AC mobil yang terlalu dingin. Aku sudah memperhatikan ini baik-baik, kemungkinan terburuk yang aku hadapi ketika memutuskan untuk menginap di rumahnya.

Kujawab pertanyaannya dengan santai, "Aku berusaha positif thinking aja." Yap, itu prinsipku sedari dulu. Ketika aku pergi kemanapun, aku cuma perlu positif thinking kepada semesta. Aku yakin, lebih banyak orang baik daripada orang jahat yang akan kutemui.

"Dulu aku juga pernah main ke Bogor, nginap di rumah teman cewek. Temanku langsung nawarin juga, yaudah kami nginap di sana. Padahal ada orangtuanya." Dari ceritanya, ia terlihat membuatku cukup percaya padanya bahwa ia pernah melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan saat itu.

Ia diam. Aku tak berani menoleh ke arahnya. Lantas ia bertanya, "Kamu anak pertama?" Mendapat pertanyaan semacam itu, aku merasa aneh. Kuiyakan pertanyaannya. "Pantes. Anak pertama itu nggak mau dikekang, mandiri, dan suka berpetualang."

"Oh gitu ya," jawabanku masih sama karena lagi-lagi aku kebingungan merespon omongannya. "Masnya anak keberapa?" Kuputuskan untuk bertanya balik.

"Pertama juga. Makanya aku tau," jawabnya kilat.
---

Ia bicara banyak hal, aku menimpalinya dengan canggung. Jelas, responku dalam percakapan bisa dibilang buruk. Sampai ia harus mengaku, "Aku banyak bicara, ya? Tapi aku emang suka ngomong sih."

Kujawab dengan pelan, "Aku aslinya pendiam sih. Bingung aja mau ngobrolin apa."

"Ya, ngobrol apa aja lah. Ada temanku yang pendiam kayak kamu, tapi dia sekalinya ngomong di depan orang berhasil. Dulu dia pendiam banget."

"Oh, gitu ya."

Ketika percakapan di dalam mobil itu terhenti karena kami sudah sampai di rumahnya yang bisa kubilang cukup besar, aku bertanya, "Perumahan disini mahal, Mas?"

"Ya, lumayan. Aku tinggal sama keluargaku. Laki-laki semua. Orangtua kami di Samarinda." Oh, jadi ini alasan kenapa logat yang kudengar bukan seperti logat orang Jawa. "Orang sana kalau punya rumah ya besar-besar. Jadi keliatan kayak orang kaya, padahal mah enggak."

"Kamu orang pertama yang kubawa ke rumahku yang ini. Dulu pas belum pindah aku juga sering bawa teman-teman bloger nginep di rumah. Kalo di rumah yang ini belum pernah, karena nggak enak juga sama yang punya rumah," tuturnya.

"Hm, gitu. Terus kenapa nawarin aku nginep di rumah?"

"Ya, nggak apa-apa sih sebenernya."

Ada ketakutan lagi yang terselip di pikiran, tapi seperti yang aku bilang, aku percaya kalau orang ini baik dan mau membantuku. Sejujurnya, aku sempat diperingatkan oleh temanku agar selalu hati-hati karena kita tidak tau mana yang baik dengan tulus, mana yang hanya kedok. Aku sungguh paham mengenai hal itu, tapi lagi-lagi aku hanya butuh percaya pada diriku sendiri dan orang lain bahwa orang yang kutemui adalah orang baik. Titik. Sebisa mungkin aku menjauhkan pikiran buruk ketika aku berpergian seorang diri.

Alhamdulillah, sampai hari ini aku sehat dan baik-baik saja tanpa kurang suatu apapun.

Purwokerto, lagi part time masih sempet nulis.
28 Maret 2017. 20:08.

Post a Comment

0 Comments