Untuk Calon Sarjana Sekaligus Mempelai Perempuan



Surat ini aku dedikasikan untuk sahabat tersayangku, Eka Nurwati.

Selamat mengarungi hari kelahiranmu. Selamat menjelajahi dunia dengan angka kembar sebagai usiamu yang baru di tahun ini. Selamat berjuang di masa-masa semester akhir, demi mewujudkan segenap cita yang kau angankan. Selamat meniti jalan panjang bersama seseorang yang menyematkan cincin di jari manismu. Selamat bahagia, semoga tidak bosan berteman dengan orang seperti aku.

Hai, Eka. Bersahabat denganmu adalah suatu takdir yang diberikan oleh Allah. Menjadi teman selama kurang lebih 9 tahun adalah suatu keajaiban nyata yang ada di dalam hidupku. Kamu teman sekaligus penasihat yang mumpuni dalam segala konflik yang pernah aku−mungkin juga kamu−hadapi di masa-masa sekolah. Kamu adalah orang yang selalu 'welcome' pada siapapun yang ingin mengenalmu. Punya teman banyak memang lebih baik daripada harus pinya satu musuh, kan? Kita pernah ada di posisi yang kurang tepat semasa SMP. Kamu ingat ketika aku dibully macam-macam di kelas dan kamu masih tetap duduk di sampingku, membisikkan sesuatu semacam, "Buktiin kalo kita enggak salah. Buktiin dengan prestasi." Kalimat itu seakan-akan jadi tumpuan baru untukku. Bukankah sahabat akan selalu ada dalam susah maupun senang? Kamu membuktikannya.

Berteman dengan siapapun itu menyenangkan. Aku tahu banyak orang diluar sana yang terkesan dengan sikapmu yang demikian, pun denganku. Kamu tetap bisa bersahabat dengan siapapun, termasuk ibu dari muridmu di sekolah. Berkaca darimu, aku selalu ingin belajar menjadi orang yang lebih terbuka wawasannya, lebih bisa berkawan dengan siapa saja yang aku temui, menyapa mereka dengan senyum sumringah, dan memberi mereka ruang bahwa aku juga mampu menjadikan mereka teman terbaik. Bagiku, kamu bukan sekadar teman yang hanya datang ketika ada maunya, tetapi hanya dengan mendengar ceritamu, aku bisa terkesan sekaligus mengambil poin-poin tentang sikap yang benar. Dalam artian, aku mengagumi caramu mengambil keputusan saat menghadapi masalah.

Menjadi anak perempuan pertama dalam keluarga tentu punya kadar suka dan duka yang berbeda. Aku dan kamu tahu itu sebab kita sama-sama anak perempuan pertama. Pikiran-pikiran untuk membahagiakan orangtua tentu selalu ada di benak kita. Bicara soal masa depan, biaya kuliah, pekerjaan, jodoh, kita tahu bahwa kita harus menghadapi itu lebih dulu sebelum adik-adik kita. Menjadi anak perempuan pertama di keluarga bukanlah suatu beban, kan? Hanya saja kepercayaan yang diletakkan di pundak kita masing-masing punya porsi besar dalam kehidupan kita, terlebih kamu. Aku tahu, segala bentuk keputusan di hidup ini pada akhirnya akan dibenturkan kembali pada keluarga kita. Keinginan kuat milik kita kadang harus mengalah demi kebahagiaan orang banyak.

Lagi, hal lain yang aku kagumi darimu adalah caramu menceritakan semua hal kepada ibumu. Pernah suatu kali aku berkunjung ke rumahmu dan ibumu banyak bercerita soal mantanmu. Aku hanya tertegun, aku belum bisa bercerita segamblang itu soal laki-laki yang aku suka pada mama. Karena aku merasa tidak terlalu penting membahas hal itu. Lain halnya denganmu yang selalu mendiskusikan apapun dengan kedua orangtuamu. Hanya saja, hari ini aku sudah mulai bisa bercerita banyak hal apapun itu kepada keluargaku.

Apa yang membuatmu tergerak menjadi guru di sekolah? Padahal murid-murid SD itu susah di atur, belum lagi beban mental untuk bisa menanamkan nilai moral pada mereka. Apa yang membuatmu merasa kalau menjadi guru adalah "passion"-mu? Silakan jawab.

Dari sekian banyak murid Sekolah Dasar yang sampai hari ini memanggilmu "Ibu Guru", aku tahu bahwa pekerjaan itu tidaklah mudah. Mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti dalam UUD 1945, adalah sebuah tanggung jawab besar yang sudah kau emban sejak lulus SMA. Gila, kadang aku tak habis pikir denganmu yang mau-maunya mengajar privat, mendaftar jadi guru les di bimbel, hingga melamar pekerjaan sebagai guru honorer di sekolah dekat rumahmu. Apa enaknya mengajar mereka yang bukan siapa-siapamu? Ya, aku tidak mengerti dimana letak bahagianya seorang guru ketika muridmu berhasil meraih cita-citanya kelak. Tapi, aku salut juga padamu yang masih giat ikut berbagai perlombaan untuk guru di tingkat kabupaten. Itu sungguh prestasi yang nyata bahkan sejak dulu di SMA. Semoga kelak anakmu nanti juga bangga punya ibu yang cerdas sepertimu.

Hai, Eka. Kini sebuah cincin melingkar di jari manismu. Apa rasanya? Setelah aku mendengar berbagai kisah soal masa lalu, soal rindu, soal pengkhianatan yang mampir di hidupmu. Kini, apa rasanya memakai cincin dari orang yang berjanji akan sehidup semati denganmu nanti?

Mendengar kabar bahagia itu tentu aku kembali bersyukur bahwa sahabatku yang satu ini akan benar-benar menemukan tambatan hatinya. Tidak lagi harus bermain-main di dalam area masa lalu yang menyakitkan, tidak harus terombang-ambing lagi di lautan. Aku tahu, kamu sudah berada di titik itu, selangkah lagi menuju pelaminan. Semoga aku bisa hadir di hari bahagiamu itu. Semoga lelaki ini bisa menuntunmu menjadi lebih baik lagi.

Untukmu yang kini berada di angka 22. Sebelum cita-cita bersama kekasihmu terwujud, maka wujudkanlah yang satu ini dulu: berdiri menggunakan toga, lulus dengan nilai yang baik, dan buat orangtua kita merasakan bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.

Untuk Eka, calon sarjana pendidikan sekaligus calon mempelai perempuan, aku dengan segala keegoisan yang pernah aku buat di masa lalu, turut mendoakanmu. Semoga kamu menjadi orang yang lebih baik lagi dan dapat menginspirasi orang banyak. Jadilah dewasa dan bisa mendewasakan orang lain. Tetap jadi sahabatku yang paling baik.

P.S. Mau dinyanyiin lagu Taylor Swift - 22 nggak? Karaokean yuk! Hahaha. Kangen!



With love,

Sahabatmu yang banyak mau.
Tiwi.

Purwokerto, 9 Februari 2017.

Post a Comment

0 Comments