Dear, (My) Journalist!


Untukmu, lelaki yang masih bergelut di dunia jurnalis.

Aku sudah cukup tahu kabarmu hari ini. Semoga tetap bahagia, ya. By the way, aku seringkali lupa kalau tanggal 9 Februari itu adalah Hari Pers Nasional. Ya, harimu dan kawan-kawan jurnalis. Jujur saja aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di hari tersebut. Mencari beritakah? Atau ikut sibuk mengabadikan momen Pilkada Jakarta? Semoga apa yang kaulakukan hari itu tetap bisa bermanfaat bagi semua orang ya, Kak.

Kemarin aku melihat salah satu foto temanmu, lho. Isinya ramai dan kamu ada di sana. Apakah itu secuil perayaan kalian terhadap Hari Pers Nasional? Rasanya bahagia ya bisa bersama teman-teman seperjuanganmu. Apalagi aku pernah mendengar bagaimana perjuanganmu untuk bisa sampai di posisi ini. Aku juga tahu berapa lama kau menunggu untuk bisa interview di kantor itu. Ya, setidaknya aku tahu bagaimana inginmu untuk menuruti passion. Dan sekarang kau di sana. "Masih berusaha dan berjuang," katamu.

Kak, sesungguhnya aku sudah cukup bahagia mendengar kabarmu secara langsung. Seperti biasa, kamu juga selalu menanyakan kabarku. Yup, itu basa-basi yang bagus, Kak. Tapi sudah cukup membuatku senang, terlebih kamu juga sempat bertanya soal skripsiku yang baru mau aku mulai. Terima kasih, lho. Aku merasa lebih bahagia dengan adanya pertanyaan itu.

Entah sebuah kebetulan atau tidak, aku selalu merasa sedang mengikuti jejakmu. Kini aku magang di kantor koran lokal tempatmu magang dulu. Dan perihal skripsiku, aku mengambil topik dengan teori yang sama dengan milikmu. Apa aku terlalu memikirkanmu hingga semua hal ini tampak seperti sebuah kebetulan yang disengaja? Lagi-lagi aku hanya ingin mencari keping yang terkait denganmu. Walaupun sekarang kamu di ibu kota.

Kak, sekarang pukul 4 dini hari ketika aku menulis ini. Aku tidak tahu apakah kamu sudah tidur atau masih di kantor atau malah di lapangan meliput kejadian yang tidak pernah terpikirkan olehmu. Aku tak berani menyapamu jam segini, meskipun tadi kau sempat berjanji akan memberitahuku soal buku referensi yang kaugunakan dalam skripsimu. Ya, aku masih menunggu. Mungkin nanti siang aku akan datang menyapamu lagi.

Well, aku sedang berpikir apakah di hari ulang tahunmu yang ke-25 nanti aku akan mengatakan semuanya atau tidak. Rasanya kalau perhitunganku benar soal: aku lulus bulan September dan sebulan setelahnya adalah ulang tahunmu, maka perihal mengatakan  ini tidak akan menjadi rumit. Aku hanya mengatakannya, kemudian selesai. Aku cuma ingin kamu tahu, walaupun rasanya kamu pasti sudah bisa menebaknya. Mungkin aku hanya ingin mengatakannya secara langsung, bukan lagi dengan hadiah-hadiah itu.

Kak, apakah rasa suka itu masih wajar kalau ternyata memang selama tiga tahun ini aku selalu kembali padamu. Menyukai orang yang sama sepanjang hari dan harus berkali-kali mengingkari kalau ternyata perasaanku tak terbalaskan. Entah akan jadi seperti apa rasanya kalau memang benar demikian. Tapi, aku masih berani berharap sebab aku belum pernah bicara langsung soal hal ini padamu. Ya, aku sungguh paham bahwa kamu masih ingin fokus bekerja. Pun denganku, Kak. Hanya saja, soal perasaan yang tak kunjung selesai ini juga membuatku harus berusaha memahami dan menerima kalau nantinya tak sesuai harapan.

Kak, sementara aku masih berjuang di kota kecil tempat kita menuntut ilmu, maukah kau berdiri di sana tanpa siapapun di sisimu? Ah, ini mungkin permintaan egois dariku. Tapi aku sungguh-sungguh ingin berharap kalau yang akan berdiri di sisimu adalah aku. Atau harapan sesederhana keberadaanmu yang berdiri di sisiku ketika aku mengenakan toga.

Hari terakhir kita bertemu adalah di pelaminan temanmu yang juga kakak kelasku. Semoga ada hari baik dimana Tuhan mengabulkan permintaanku. Semoga kau baik-baik di sana.


Sincerely,


Gadis yang merindumu hingga ke ibu kota.

Purwokerto, masih terjaga hingga menjelang subuh.
11 Februari 2017.

Post a Comment

0 Comments