Sebelum Hujan Turun

Sumber: shutterstock.com (dengan sedikit editan)
Aku jatuh hati pada senja dan lautan sejak lama. Sebab, kedua hal itu serupa kenangan yang tak pernah mampu aku lupakan. Setiap hari. Potret momen yang sama akan aku singgahi lagi, hari ini. Membuka kembali rindu masa lampau yang sekuat hati ingin aku redam. Matamu, bibirmu, serta tawamu akan melengkapi dengan sempurna. Aku menghela nafas panjang, berdebat dengan pikiranku, memilih pergi sebelum kau datang atau... aku sudah terlambat untuk pergi rupanya.

Wajahmu lamat-lamat semakin terlihat jelas. Matahari yang baru tenggelam sepertiga masih mampu memantulkan sinarnya ke wajahmu.

Paduan kaus oblong dan celana pendek memang selalu pas di tubuhmu yang berisi. Mataku tiba-tiba saja terarah pada gambar di kausmu; The Beatles, grup band favoritmu sejak zaman kuliah dulu. Dari kejauhan, kau tersenyum kemudian melambaikan tangan ke arahku. Aku membalasnya.

Aku menyesap kelapa muda yang kupesan sejak tadi. Tempat ini, bangku yang kududuki saat ini tepat menghadap ke arah lautan. Memori itu menguar bersamaan denganmu yang duduk di hadapanku dengan santai.

"Hai," sapamu.

"Hai juga."

"Sudah lama?"

"Kira-kira 15 menit yang lalu."

"Kelapa muda berapaan di sini?" Wajahmu menyelidik.

"Sepuluh ribu. Itu karena aku pake susu. Kalo yang biasa mungkin delapan ribu." Aku nyaris tertawa mendengar pertanyaannya barusan.

"Oh, dulu kayaknya cuma lima ribu deh."

"Kamu pikir sekarang tahun berapa, hah? Orang ke toilet aja harus bayar sekarang. Hahaha." Aku menanggapinya dengan guyonan lama.

"Kamu nggak berubah." Kemudian kamu pergi ke arah si penjual kelapa muda. Meninggalkan aku dengan hati yang terusik kembali oleh perkataanmu.

"Aku nggak heran kenapa kamu begitu suka laut," ucapnya tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Apa, ya? Aku pikir lautan itu tenang dan bisa menenangkan. Dari dulu kamu paling suka kalau aku ajak ke pantai. Katamu denger suara ombak sama kena angin laut itu bikin terapi tersendiri buat pikiranmu yang lagi penat." Aku membisu. "Benar, kan?

"Iya."

"So, ada apa mengundang aku kemari? Aku yakin nggak cuma soal nostalgia yang mau kita bahas di sini."

Pesanan kelapa mudamu sudah datang. Diam-diam aku menggigit ujung sedotanku sendiri.

"Iya, ada hal penting yang sebenernya mau aku omongin. Mungkin nggak penting buatmu, sih."

"Dera, kamu pasti tahu kalau semua hal di dunia ini aku anggap penting, termasuk main game sekalipun. Hahaha."

"Iya, aku paham gimana parahnya kamu kalo udah main game. Sampe lupa makan, lupa tidur, lupa ngabarin aku juga. Hahaha."

Kemudian hening. Tersisa suara-suara burung camar menjelang malam. Matahari tersisa separuhnya.

"Ya, itu karena aku menganggap game juga bagian hal yang penting. Kalo soal nggak ngabarin kamu, ya aku minta maaf."

"Kerja dimana kamu sekarang?"

"Kayaknya aku udah pernah cerita deh. Masih di tempat yang sama."

Iya, aku sudah tahu semuanya tentangmu. Dan kenapa juga kau harus memotongku dengan kalimat itu? Tidak tahukah kau bahwa susah payah aku merangkai percakapan ini?

"Oh iya, ya. Nggak niat buat pindah?"

"Belum. Masih mau berjuang di sana. Lama-lama seru juga kerja di sana."

"Kenapa?"

"Kamu tahu kan kalo aku sekarang ada di divisi tindak kriminal? Ya, semua hal yang berbentuk kriminal kayak pembunuhan, perampokan, dan pembantaiam sekalipun harus aku liput."

"Serem juga, ya."

"Serem sih, iya, tapi lama-lama hidupku kayak di film thriller. Hahaha. Setiap hari kerjaannya ngeliput orang abis dibunuh. Belum lagi kalo aku tiba-tiba disuruh nanya-nanya ke polisi soal kasus itu."

"Kamu betah di sana?"

"Ya, dibetah-betahinlah. Lagian aku baru setahun juga di sana. Aku yakin kamu masih inget berapa lama aku nganggur demi bisa kerja di tempat itu. Sekarang aku mikirnya lebih realistis aja, soalnya nyari kerja itu nggak gampang kayak yang aku pikirin dulu."

"Iya, kamu bener. Oh iya, orangtuamu apa kabar?"

"Sehat, alhamdulillah. Kapan itu ibu nanyain kamu, tapi aku lupa ngasih tau kamu soalnya lagi sibuk liputan. Ya, kamu tahulah kalau aku kerja malem, pasti siangnya buat tidur kalo lagi nggak ada deadline."

"Hm, gitu ya. Salam buat ibu, ya."

"Iya, aku juga udah bilang ke ibu kalau kamu baik-baik aja, mungkin lagi sibuk di kantornya, jadi nggak sempet main."

"Terus ibu percaya?"

"Harus dong. Masa ibunya nggak percaya sama anak sendiri."

"Kamu bohong aja ibu percaya, apalagi kamu nggak bohong. Tapi bener sih, bulan kemaren aku lagi sibuk-sibuknya di kantor. Edit lima naskah yang mau diterbitin."

"Sekarang lagi santai dong, ya? Bisa jalan-jalan ke sini soalnya."

"Aku sengaja minta libur."

"Oh."

Hening kembali mengapit keberadaan kami. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya. Awan kelabu tiba-tiba saja berdatangan.

"Tam, kamu sudah punya pacar lagi?"

Kamu bergeming. Aku pun.

"Belum."

Tik.
Tik.
Tik.

Matahari tersisa segaris di ujung cakrawala. Lebur dengan lautan yang birunya gelap sama seperti langit. Awan-awan kelabu berarak di atas pantai. Menyisakan gigil yang menakutkan. Aku belum ingin mengakhirinya.

Rindu ini belum tuntas. Kupaksakan menatap matamu, menangkap selama mungkin potret wajahmu untuk kusimpan di kotak terdalamku.

"Aku harus oergi sekarang, Tama."

"Tunggu dulu." Aku hendak beranjak sampai kamu menarik tanganku, meraba jemariku, dan juga cincin di jari manisku. "Dera...?"

Aku mengangguk lemah. Menghindari tatapmu yang mematikan. "Aku harus pergi, Tama."

Aku berlari menembus rintik yang menderas. Membawa secuil kenangan yang menganga kembali. Aku tidak perlu memberitahumu apapun karena aku yakin kamu tahu bahwa aku tidak pernah mampu membahas hal ini denganmu. Hari ini aku tahu bahwa rindu itu tidak akan pernah habis meski sudah kutebas berkali-kali.

Lamat-lama kudengar alunan lagu yang membuatku semakin berat meninggalkanmu.

Waktu hujan turun di sudut gelap matamu
Begitu derasnya, tlah kucoba bertahan

Tak akan kuhalangi walau ku tak ingin kau pergi
Kan kubangun rumah ini walau tanpa dirimu
(Sheila On 7 - Hujan Turun)
---

Kamar Kos, menjelang angka 11.
21 Januari 2017.

Post a Comment

4 Comments

  1. Lain kali, kalo ketemu mau lama, jangan ketemu di pinggir pantai wi.
    Tapi ketemu di kafe senja tuh, mau hujan badai sekalipun, akan aman-aman saja karena ada atap yang setiap melindungi dan menemani tiap rindu yang tak sempat diutarakan sejak dulu...~

    ReplyDelete
  2. Wah ceritanya seru mbak, lanjutkan :D

    ReplyDelete

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?