Menyembunyikan Luka


Kusembunyikan baik-baik rinduku hari ini. Kalau bisa, ingin aku taruh di bawah kursi tamu saja. Supaya rindu itu tidak menguar dan berlari ke arahmu. Sebagaimana aku yang ingin tiba-tiba lari memelukmu. Aku ingin, tapi semua situasi melarangku, seakan berkata bahwa itu tidak mungkin. Seolah-olah di sekitarmu ada pagar besi, meskipun itu cuma teman-temanmu, bukan kekasih.

Kerumunan orang sedikit membuatku kehilangan oksigen. Mataku sibuk mencari yang lain, meski akhirnya tetap tertumbuk padamu yang berdiri di depan stand snack. Aku menyesal datang ke sana, tetapi juga lega. Rindu itu terbayarkan, Tuan.

Sementara gerimis di luar mulai rintik, aku bergeming menatap pasangan di bangku pelaminan yang sibuk berfoto dengan para tamu undangan. Aku lagi-lagi merasa menyesal ada di sana dan harus melihatmu lagi. Membuang kenang itu teramat susah, Tuan, apalagi hari ini keberadaanmu menambah daftar panjang kenangan yang aku buat tentang kamu.

Tahukah betapa canggungnya tingkahku
Kauberiku lagi senyuman mautmu

Sama. Masih sama seperti waktu-waktu yang habis dibakar rindu. Seorang temanmu datang menghampiri aku dan temanku, menyalamiku, seolah bertemu kembali dengan kenalan lama. Kamu pun turut mendekati, menyalamiku seperti yang lain, dengan tatap jenaka yang sama dan pertanyaan biasa, "Sehat?". Sesederhana itu kata tanya yang mampu meruntuhkan dinding pertahananku lagi. Hampir-hampir aku ingin menanyaimu kembali soal ayah dan ibumu, tetapi akhirnya kuurungkan. Aku kembali tersadar bahwa... kamu hanya basa-basi padaku, pada seorang adik angkatan di kampusmu.

Ketika kerumunan itu menyepi, kamu di sana. Duduk di lingkaran dalam teman seangkatanmu. Menertawakan banyak hal bersama mereka. Satu hal lagi yang aku benci hari ini adalah aku menyukai tawamu sejak dulu! Sialan memang. Aku tidak pernah bisa lupa hal-hal memorial semacam itu.

Melanjutkan langkah yang terhenti olehmu
Jiwaku tertinggal tapi tak kuhiraukan

Tuan, mengenggammu tentu saja bukan hal yang mungkin aku lakukan. Aku tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Semua orang tahu tentang aku-suka-kamu, sehingga sebisa mungkin mereka memberiku ruang untuk bisa bercengkrama denganmu sekalipun aku sedang tidak ingin. Termasuk soal foto bersama tadi, aku sesungguhnya tidak mau membuat daftar kenangan itu semakin panjang. Nyatanya aku belum bisa berdamai dengan posisimu di ruang hati itu.

Ketika ponselku kau genggam untuk mengabadikan foto kita dan beberapa teman, aku tahu dan sadar kembali, kamu enggan berfoto hanya berdua denganku. Aku paham, Tuan. Saat itu pula aku bisa bersikap biasa, sangat biasa meskipun jantungku tidak berdegup lebih cepat. Semua normal. Hanya sedikit nyeri, entah di bagian mana. Aku tidak gelisah dan masih bisa tersenyum di sisi kirimu ketika menghadap kamera.

Tuan, kamu adalah seorang yang aku kagumi hingga saat ini. Kalaupun aku jatuh hati, itu mungkin adalah sebuah kewajaran bahwa aku tahu hidupku tidak sedatar yang aku kira. Atau kalaupun kamu suka orang lain, aku juga pasti sadar bahwa hidupmu tetaplah hidupmu, aku tidak akan bisa mengintervensi. Tetapi Tuan, kadang-kadang aku ingin memaki sekaligus mencabik-cabik rindu yang telah amat jahat menyiksa pikiranku. Kalau sudah begini, aku enggan beranjak, aku enggan melepas genggaman itu. Tapi aku pikir terlalu jahat kalau aku terus-menerus menggantungkan harapan kepadamu karena hal itu tidak seharusnya berada di sana.

Aku tahu ini sudah keterlaluan, tapi entahlah, mungkin besok aku akan lupa. Atau kau mau mengajari aku caranya melupa?

Kamar Kos, sore dengan hujan deras.
7 Januari 2017.

Post a Comment

0 Comments