Gorden Baru Untuk Ibu


Sejak hari dimana aku meninggalkan rumah lima tahun lalu, perasaan ingin kembali itu sedikit demi sedikit memudar. Aku menemukan kenyamananku di sini, di kota yang selalu digadang-gadang sebagai Kota Pelajar. Kerinduan itu selalu aku pendam. Sebab, rindu itu hanya sekadar rindu yang apabila tidak bertemu pun tidak apa-apa. Kata orang, rindu dan kangen itu berbeda. Kalau definisi kangen yang mereka bilang adalah bahwa kita harus bertemu dengan orang yang kita kangenin, tapi kalau rindu... tak bertemu pun tidak masalah.

"La, besok anterin gue ke toko gorden di Zaara, yuk!" Aku sempat terlonjak mendengar ucapan Sylvi yang masih berada di sebelahku. Piring siomaynya sudah setengah bersih.

Aku menyeruput es teh manis yang mulai tidak dingin lagi. "Dimana tuh?"

Sylvi menyentakkan sendoknya ke piring sembari menggerutu. "Lo udah lima tahun di sini, tapi nggak tahu toko kain Zaara yang terkenal itu? Parah, lo!'

"Gue kan bukan ibu-ibu yang demennya belanja kain bermeter-meter. Ngapain juga harus ke toko kain, sumpek-sumpekan, rebutan sama ibu-ibu yang selalu repot dan banyak mau setiap beli kain," sanggahku. Kali ini aku memilih menyendok siomay yang tadi sempat kuabaikan.

"Inget umur lo, La. Udah dua-enam masih gini-gini aja?"

"Lah, apa hubungannya umur gue sama belanja kain? Plis deh, Syl, gue nggak ada waktu buat mikirin belanja kain macem elo. Lagian kalo mau beli baju, gue lebih milih beli yang udah jadi. Lebih simpel."

"Iya, iya, terserah lo aja deh. Lo emang nggak pernah bisa didebat. Pokoknya lo temenin gue besok ke toko gorden Zaara jam 10!" Akhirnya Sylvi mengalah. Aku hanya mengangguk tanda setuju.

Kadang-kadang aku merasa kalau omongan Sylvi ada benarnya, tetapi aku lebih sering mengabaikan itu semua. Aku masih bisa hidup sendiri. Pekerjaanku di kantor travel juga cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Jadi, buat apa aku repot-repot memikirkan hal-hal yang dianggap kebanyakan perempuan itu penting? Ya, apalagi kalau bukan jodoh dan pernikahan? Aku masih belum ingin direpotkan dengan hal-hal demikian.
---

Kota Jogja semakin hari semakin panas, ditambah lagi wisatawan yang semakin sering datang kesini setiap akhir pekan. Rasanya aku ingin mengutuk jalanan pagi ini. Baru jam 9 pagi dan aku sudah berada di jalan menuju toko gorden Zaara yang disebut oleh Sylvi kemarin. Apa-apaan dia, padahal kami janjian jam 10 pagi.

"Syl, lo bener-bener deh, ya. Ini weekend dan lo udah nyuruh gue buat otw jam segini? Ampun deh gue punya temen kayak lo!" seruku.

Sylvi hanya cengengesan mendengar omelanku. "Ya, sorry, La. Gue cuma mau kita tepat waktu ke sana sebelum penuh sama ibu-ibu yang ngeborong."

"Huh! Lagian ngapain mesti weekend sih kesananya? Kan bisa hari lain," bantahku.

"Hari lain selain weekend kan lo kerja. Gue juga ogah kesana sendirian. Sekalian, kalo ada lo kan bisa bantuin bawa kain. Hehehe," ujarnya memelas.

Dugaan Sylvi meleset. Toko kain dan gorden yang dia bilang ini jauh lebih ramai daripada yang dibayangkannya. Mobil-mobil berjajar rapi di depan toko, ibu-ibu berdesakan di dalam toko, bertanya ini itu kepada pegawai, memilih motif kain, memilih jenis gorden. Bapak-bapak sibuk di dalam mobil, ngadem dengan AC mobil. Baru melihat dari luarnya saja aku sudah malas dan mendadak pusing.

"Syl! Lo gila kalo berani masuk ke dalem. Nggak liat itu ibu-ibu udah pada bejubel gitu? Gue ogah ah!" kataku.

Raut wajah Sylvi juga sama pucatnya seperti aku. Ia sebenarnya bukan orang yang tahan dengan situasi ramai, apalagi penuh orang dalam sebuah tempat begini. Ia menoleh ke arahku, seakan meminta kekuatan untuk bisa berjuang masuk ke dalam. Aku mengangguk, memberinya support dari luar. Adegan ini seperti cerita tentara yang mau berjuang ke medan perang saja. Kulihat Sylvi bergerak maju hingga ke teras toko, tetapi tiba-tiba ia berhenti dan berbalik ke arahku.

"La, please lo temenin gue ke dalem. Gue nggak sanggup sendirian. Demi nyokap gue, La. Udah nggak ada waktu lagi. Doi besok ulang tahun, masa gue nggak ngasih apa-apa..."

Deg. Nyokap. Ulang tahun. Hadiah.

Ada perasaan aneh ketika mendengar kalimat Sylvi barusan. Aku teringat ibu. Tiba-tiba saja wajahnya melintas di pikiranku. Mengapa harus di saat melankolis seperti ini wajah kuyu ibu hadir menggangguku? Kenapa bukan wajahnya yang keras dan tega mengusirku, kenapa? Kutepis segala emosi yang bergejolak dalam dada. Kugamit tangan Sylvi memasuki toko yang penuh dengan pembeli itu.

Aku membiarkan Sylvi memilih motif gorden sesuai kesukaan ibunya. Diam-diam aku melirik kain gorden berwarna ungu muda yang menarik. Warnanya begitu kalem dan menenangkan. Seakan-akan warna itu punya daya magis yang membuatku teringat lagi pada satu orang: ibu. Ibu suka warna ungu. Hampir semua perabotan rumah, mulai dari sofa, vas bunga, taplak, lemari, hingga gorden di rumah dominan berwarna ungu. Entah alasan apa yang membuat ibu menobatkan ungu sebagai warma favoritnya.

Sebab, memori tetaplah memori. Seberapa kuat kita menyangkal, maka hal itulah yang akan muncul lebih dominan.

Sejak hari dimana aku meninggalkan rumah lima tahun lalu, aku tidak pernah lagi menghubungi ibu. Raut marahnyalah yang terakhir kali aku lihat dan masih terekam jelas di pikiranku. Teganya ibu kepadaku saat itu. Bahkan hingga hari ini ibu tidak menghubungiku sekalipun dan aku sungguh enggan untuk menghubunginya. Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu, Bu, sampai tega mengusirku hanya karena aku memiliki hubungan dengan Dimas? Mungkin ibu akan puas apabila mendengar hubunganku dengan Dimas sudah hancur.

"Jangan anggap aku sama seperti Ibu hanya karena rumah tangga ibu dan ayah berantakan!" Itu yang aku ucapkan sesaat sebelum ibu menamparku dan mengusirku dari rumah.

"La!"

"La!" Lamunanku buyar oleh tepukan keras di pundakku. Ternyata suara ibu dan anak gadis di depan mataku menyihirku pada keharmonisan hubungan ibu dan anak. "Bengong aja lu, tiati kesambet setan penagih utang." Aku menoleh ke arah Sylvi, masih bengong. "Gue udah nih. Yuk balik! Gue tau lo laper dan aus, abis ini gue traktir deh."

Aku mengangguk kemudian berjalan keluar toko. Berusaha meninggalkan keping-keping memori tentang ibu di dalam toko itu. Meskipun pikiranku masih pada kain gorden ungu muda bermotif bunga Lavender.
---

Apa yang membuatmu paling menyesal di dunia ini? Kehilangankah? Atau keterpurukan hidupmu sendiri? Aku pernah ingat nasihat ibu sewaktu aku SD dulu, ia memberiku crayon warna ungu untuk mewarnai bunga yant kugambar hari itu. Aku kebingungan.

"Kenapa bunganya enggak warma merah aja, Bu?"

"Ungu itu nggak cuma sekadar warna, Sayang, tapi ungu punya filosofinya sendiri. Warna ungu ini sama saja seperti arti namamu. Lila artinya ungu muda. Ibu kasih kamu nama itu dengan banyak harapan, supaya kamu tumbuh menjadi anak yang punya empati tinggi, pendirian dan harga diri yang kuat, dan menjadi gadis yang bijak dalam segala hal."

Diam-diam aku tersenyum mengingat percakapan kecil dengan ibu. Harapan-harapan yang disematkan dalam namaku dan... dominasi warna ungu di rumah tiba-tiba saja membuatku rindu. Aku rindu dan ingin bertemu.

Aku tahu akan ada saatnya pertemuan itu membuatku luluh kembali. Kuperhatikan baik-baik wajah ibu yang semakin kuyu, tak berdaya, bahkan mungkin nyaris tak bernyawa. Sementara waktu terus bergulir, cairan infus menetes setiap detiknya dan masuk ke tubuh ibu melalui selang itu. Aku tahu, rumah yang kurindukan dulu sudah tidak ada lagi, tapi ibu yang kurindukan masih ada di sini. Dengan segala bentuk kelemahan yang dimilikinya saat ini. Keegoisanku yang membuat ibu marah, padahal ibu selalu bilang kalau aku harus jadi gadis yang bijaksana dan empati.

"Bu, aku sudah tahu semua soal Dimas, ibunya, dan ayah. Aku kini tahu alasan ibu dulu melarangku. Aku mengerti sekarang, Bu. Aku minta maaf..." Kugenggam tangan ibu dengan erat dan berharap ibu mau membuka mata dan melihat apa yang kubawa untuknya. "Bu, ini gorden untuk rumah kontrakan kita yang baru. Warnanya ungu. Warna kesukaan ibu, kan?" Aku berusaha tersenyum, meski aku tak bisa menahan tangisku juga.

Bu, bangun... Ibu harus tahu kalau aku pulang. Air mataku menderas ketika monitor jantung ibu menunjukkan garis lurus panjang tanpa henti.[]

Kamar Kos, sedang rindu rumah.
28 Januari 2017.

Post a Comment

2 Comments

Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?