Sebuah Bingkisan Kayu yang Terdampar di Kamar



Yang terpenting dari segalanya adalah… keutuhan serta keamanan.

Ini kisah dua tahun lalu, dan kurasa ini kisah terbaik yang aku miliki. Entah bagaimana milikmu becerita.

Aku menatapnya dengan hati nelangsa. Si merah yang menemaniku berjuang di saat-saat terakhir masa putih abu-abu, kini tergeletak lemah. Ada sebagian hatiku yang ikut hilang, padam seperti layarnya yang gelap dan tak muncul gambar apapun. Memori, percakapan, hingga semua kenangan yang hidup di dalamnya, lenyap tanpa bekas. Ponsel ketiga di sepanjang hidupku telah wafat. Baterainya kini sudah lemah, tak bisa disetrum apapun lagi. Kutatap sekali lagi, ia sudah tak berdaya, geming di atas meja.


Kusebut ia “Si Merah” karena tubuhnya terbalut logam merah yang cerah. Merah darah yang aku suka. Bukan hanya menemani masa akhir putih-abu, tetapi ia menemani masa peralihanku menjadi mahasiswi di Kota Satria ini. Si Merah menyimpan banyak kenang yang aku sendiri sering lupa. Catatan kuliah, catatan utang, screenshot percakapanku dengan gebetan, atau segala hal tentang jadwal yang akan aku lakukan selanjutnya. Kini ia kedinginan karena tidak pernah aku sentuh lagi. Si Merah yang malang.

Ketika waktu berjalan, ia tetap berjalan, pun denganku.

Siang ketika Si Merah benar-benar tak mau menyala lagi, aku harus beralih mencari “teman” lain agar bisa tetap berhubungan dengan orang-orang dengan mudah. Mencari yang baru tak selalu mudah bagiku, rasanya aku harus memahaminya dengan baik supaya ia mau bertahan denganku selama mungkin. Hingga akhirnya aku bertanya pada salah seorang kakak kelasku di kampus, “HP-ku rusak, Kak. Bagusnya beli HP apa, ya?”

Ia menjawab dengan tawaran, “HPnya belum sampai ke Purwokerto, kalau mau bisa nitip temenku di Bekasi.” Aku segera mengiyakan karena melihat bodi silvernya di beberapa gambar di internet membuatku tertarik. Aku belum pernah memiliki ponsel Android sebelumnya, jadi tak masalah rasanya mencoba membelinya.
---

Ia datang ketika aku tak berada di kamar.

“Mbak Tiwi, ini ada paket datang,” ujar Bapak Kos yang tiba-tiba memanggilku ketika hendak membuka gerbang. Aku berjalan perlahan, mengambil bingkisan kayu tersebut dari meja dan segera membawanya ke kamar.

Kutatap sejenak kotak kayu itu. “JNE Express,” gumamku. Kiriman ini atas namaku, dikirim dengan menggunakan kotak kayu dan didalamnya ada sebuah kotak dibungkus kertas cokelat dan plastik pembungkus dari JNE. Aku menghela napas, lega. Itu paketku, ponsel baru yang dikirim dari Bekasi ke Purwokerto. Datang dengan keadaan baik, utuh, dan selamat mendarat di tanganku.

Aku bahagia sekaligus girang.
---

Kebahagiaanku tidak berhenti sampai di sana. Bulan lalu, aku sedang sibuk scroll instagram, online shop lebih tepatnya. Mataku seketika terhenti pada satu pengumuman yang membuatku lebih bahagia: JNE mengadakan HARBOKIR (Hari Bebas Ongkos Kirim) di tanggal 26-27 November karena sedang berulangtahun. Yeay! Siapa yang tidak senang mendapat ongkos kirim gratis? Meskipun Purwokerto tidak ada dalam daftar kota yang mendapat ongkos kirim gratis, rasanya tak masalah kalau aku mengirimkannya ke rumahku di Bogor saja.

Yang terpenting dari segalanya memang keutuhan dan keamanan. Sampai hari ini, aku seringkali mendapat kiriman dari JNE, baik buku-buku yang kubeli secara online hingga tabloid langganan yang rutin mampir ke rumah kosku setiap bulan. Tidak hanya itu, berkat JNE, ada satu kurir yang sudah hapal alamat rumahku dan selalu dia yang mengantar paket itu. Padahal tidak semua kurir penyedia jasa mau mengantar paket sampai ke rumahku. Cuma JNE, dan kurir yang satu itu… aku suka suaranya.



Purwokerto, menunggu kiriman datang.
8 Desember 2016. 13:27

Post a Comment

0 Comments